Segala kebenaran ingin diketahui, dinyatakan, dan juga dibenarkan. Namun, kebenaran itu sendiri tidak perlu hal itu (dibenarkan), karena ia—sendiri—yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku.
Identitas Buku
- Judul Buku: Alam Pikiran Yunani
- Pengarang: Mohammad Hatta
- Penerbit: Tintamas, Jakarta
- Tanggal Terbit: 1982
- ISBN: -
- Tebal Halaman: xxviii+192
- Lebar:
- Panjang:
ALAM PIKIRAN YUNANI
oleh Mohammad Hatta
Kata Sambutan oleh Miriam Budiardjo
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT. Tintamas Indonesia, anggota IKAPI, Jakarta 1980
Daftar Isi "Alam Pikiran Yunani"
Pengantar Penerbit (ix)
Kata Sambutan: Miriam Budiardjo (xi)
Pengantar Kalam: Mohammad Hatta (xiii)
Pengantar Cetakan Ketujuh: Mohammad Hatta (xi)
Motto (xi)
Pendahuluan (xi)
I. Filosofi Alam (5)
- Thales (5)
- Anaximandros (9)
- Anaximenes (12)
II. Filosofi Herakleitos (15)
III. Filosofi Elea (19)
- Xenophanes (19)
- Parmenides (21)
- Zeno (24)
- Melissos (26)
IV. Pythagoras dan pengikutnya (29)
V. Filosofi Alam lagi (34)
- Empedokles (35)
- Anaxagoras (38)
- Leukippos (43)
- Demokritos (44)
_______________
Pengantar Kata: Mohammad Hatta (xix)
Pengantar Cetakan Kelima: Mohammad Hatta (xx)
Motto (xxiii)
VI. Sofisme (53)
- Protagoras (64)
- Gorgias (66)
- Hippias (68)
- Prodikos (69)
VII. Filosofi Klasik (72)
- Sokraters (73)
- a. Metode Sokraters (80)
- b. Etik Sokraters (83)
- c. Murid-murid Sokraters (84)
- Plato (87)
- a. Buah tangan Plato (80)
- b. Tentang Idea (83)
- c. Etik Plato (84)
- d. Negara Ideal (84)
- Aristoteles (115)
- a. Pandangan Aristoteles (80)
- b. Logika (83)
- c. Metafisika (84)
- d. Filosofi Alam (84)
- e. Etik Aristoteles (80)
- f. Negara (83)
_______________
Pengantar Kata (xxv)
Motto (xxv)
VIII. Helen—Romana (139)
- I. Masa Etik (142)
- A. Sekolah Epokuros (143)
- 1) Logika (143)
- 2) Fisika (145)
- 3) Etik (147)
- B. Sekolah Stoa (148)
- 1) Logika (149)
- 2) Fisika (150)
- 3) Etik (152)
- 3) Negara dan Masyarakat (154)
- C. Sekolah Skeptis (156)
- 1) Sekolah Skeptis Pyrrhon (156)
- 2) Sekolah Skeptis Akademia (158)
- II. Masa Religi (160)
- A. Aliran Neo—Pythagoras (161)
- B. Philon Alexandreia (163)
- C. Plotinos (165)
- 1) Pokok Ajaran Plotinos (166)
- 2) Ajaran tentang jiwa (170)
- 3) Ajaran Hidup dan Moral (174)
IX. Akhir Kata (176)
Index (177)
_______________
Pengantar Penerbit
Awalnya buku ini terdiri dari tiga jilid. Lalu, atas persetujuan Mohammad Hatta, buku ini dicetak ulang menjadi satu buku dengan Kata Sambutan Prof. Miriam Budiardjo.
Jakarta, April 1980
Penerbit
Kata Sambutan (Miriam Budiardjo)
Jilid-jilid (sebelum menjadi buku) "Alam Pikiran Yunani" telah digunakan sebagai bahan bacaan dalam mata kuliah Pemikiran Politik Barat yang diajar Miriam di Departemen Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Indonesia. Sebuah kebanggaan bagi beliau, karena ditunjuk sebagai orang yang mengisi kata sambutan untuk buku ini.
Melihat realitas sekarang, Miriam menilai bahwa dalam kehidupan politik—di mana pun dan di masa apapun—manusia selalu menghadapi berbagai masalah yang pada hakekatnya sama. Miriam menambahkan (sepakat dengan pendapat Plato) bahwa pendidikan dalam membina generasi muda agar menjadi manusia yang baik dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab itu sangat penting (terutama untuk negara). Agar tujuan itu bisa tercapai, Miriam merekomendasikan buku ini untuk dibaca dan diamalkan. Karena buku ini berisi banyak ilmu yang dapat memperluas pengetahuan.
Jakarta, 1 Juni 1980
Miriam Budiardjo
Pengantar Kalam (Mohammad Hatta)
Mungkin banyak yang bertanya, mengapa Mohammad Hatta—yang bukan seorang filsuf, dan bukan seorang pakar dalam hal itu—menulis persoalan ini. Alasannya karena saat diasingkan di Boven Digul (Papua Selatan), Mohammad Hatta mengalami banyak hal, terutama kesadaran akan pentingnya belajar filsafat—sekalipun orang itu sudah berpengetahuan atau berpengalaman. Filsafat, kata Mohammad Hatta, meluaskan pandangan dan mempertajam pikiran. Dengan filsafat juga, Mohammad Hatta memperdalam ilmu ekonominya. Selain itu, berfilsafat dapat meredakan overthinking dan menenangkan pikiran, termasuk pikiran Mohammad Hatta ketika masa pengasingan di Boven Digul. Filsafat membawa manusia hidup di dalam dunia pikiran dan nurani yang murni, yang dapat membebaskan diri dari gangguan hidup sehari-hari. Dengan pertimbangan itu, Mohammad Hatta menyusun buku ini.
Neira, Mei 1941
Mohammad Hatta
Motto
Wahrheiten wollen erkannt und festgestelld, eben bewahrheitet sein; die Wahrheit selbst bedarf dessen nicht, sondern sie ist es, die allein bewaehrt, was orgend als wahr erkannt sein und gelten soll.
Paul Natorp
(Individuum und Gemeinschaft)
Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak perlu akan itu, karena ialah yang menunjukkan, apa yang diakui benar dan harus berlaku.
Pendahuluan
Setiap bangsa memiliki kisah dan dongeng, yang berasal dari peristiwa sehari-hari, yang diceritakan oleh orang-orang yang suka bercerita. Salah satunya adalah peristiwa yang berasal dari kejadian alam yang mengerikan dan mengejutkan, yang—kemudian—menyebabkan masyarakat menganggap alam dipenuhi dewa-dewa, roh, dan makhluk gaib dengan berbagai nama. Seiring berjalannya waktu, fantasi tersebut berkembang menjadi ide-ide yang membentuk peradaban manusia.
Fantasi itu tak ada batasnya. Ia tak terikat pada realitas (fisik, indrawi), dan keberadaannya tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Pada hakekatnya, fantasi menjadi sumber perasaan yang indah-indah dan muasalnya suatu seni. Hal ini karena fantasi dapat membuat manusia keluar dari realitas, dan dapat menyatukan rohnya (manusia) dengan alam sekitarnya, yang kemudian membuat mereka (manusia) merasa menjadi bagian dari alam. Fantasi yang mencapai titik tersebut disebut dengan ekstase¹.
¹ Ekstase adalah kondisi perasaan yang sangat intens, biasanya dalam konteks kebahagiaan atau kesenangan yang sangat besar. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman spiritual atau emosional yang mendalam dan penuh kegembiraan.
Manusia yang mengalami fantasi biasanya tidak tertarik untuk mengulik lebih dalam fantasinya. Karena bagi mereka, fantasi itu sumber kebahagiaan dan kenyamanan. Akan tetapi, ada beberapa manusia—yang kritis—yang tertarik dan penasaran akan kebenaran fantasi tersebut. Dari sinilah muncul keinginan untuk menemukan kebenaran di balik suatu fantasi.
Dongeng dan takhyul—yang turun-tumurun dari nenek moyang—akan membentuk suatu adat dan kebiasaan hidup masyarakatnya. Mereka (dongeng & takhyul) terus berkembang mengikuti zaman, dikarenakan—pada—setiap generasi selalu memiliki pengetahuan baru (aktuil). Fenomena itu melahirkan aneka peradaban bangsa yang—kemudian—disebut "kultur", yang akan menjadi panduan generasi berikutnya dalam menjalani hidup. Selain itu, dongeng, takhyul, dan adat istiadat juga mempengaruhi cara orang memeluk agamanya.
Ketika agama datang pada suatu masyarakat, selalu saja masyarakat itu—telah—menganut kepercayaan lama, yang tak mudah untuk dihapuskan. Itulah sebabnya agama sering tercampur dengan tradisi yang lebih dulu ada. Maka pernyataan bahwa "cara seseorang memahami agamanya banyak dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya" adalah tepat.
Di masa lampau, bangsa Yunani juga memiliki dongeng dan takhyul. Tetapi, uniknya dari mereka adalah adanya keinginan untuk mengulik kebenaran dongeng dan takhyul tersebut, yang semata-mata mencari pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri, tanpa mencari keuntungan darinya. Rasa penasaran adalah motif utama mereka. Berkaitan dengan rahasia alam misalnya, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran mereka, seperti: dari mana alam ini berasal, seperti apa, bagaimana perkembangannya, dan apa tujuannya. Begitulah sikap para pemikir bangsa Yunani. Selama berabad-abad, alam yang besar ini menjadi fokus dan pertanyaan mereka. Namun di samping pertanyaan tentang alam besar—yang berada di luar diri mereka—mereka juga menyadari akan adanya alam kecil yang terdapat di dalam diri manusia, yang tak dapat dilihat dengan mata, tetapi dapat dirasakan. Pertanyaan seputar alam kecil itu muncul: apa ujud lahirku, apa kewajiban hidupku, bagaimana sikap yang seharusnya kuambil, dan di mana kubisa menemukan kebahagiaan.
Orang Yunani Kuno belum memisahkan ilmu menjadi berbagai cabang—ilmu—sebagaimana masa sekarang. Bagi orang Yunani Kuno, pertanyaan-pertanyaan di atas adalah satu persoalaan, yang akan menjadi satu kebenaran. Fenomena 'satu' itu dikenal dengan istilah "philosophia"—filsafat—yang berarti "cinta akan pengetahuan". Maka disimpulkan bahwa "philosophia" (atau filsafat) adalah pemikiran universal, yang bebas dan tidak dibatasi. Sebagaimana kata Windelband, bahwa filsafat adalah merentangkan pemikiran sejauh mungkin mengenai suatu keadaan atau hal yang nyata.
Di sinilah letak perbedaan antara filsafat dan ilmu khusus. Ilmu khusus membatasi dirinya pada wilayah yang dapat diamati, yaitu ilmu empiris, dengan menghadapi pertanyaan "bagaimana" dan "apa penyebabnya". Sedangkan filsafat mengajukan pertanyaan "apa itu", "darimana", dan "kemana". Dalam filsafat tak mencari penyelesaian sebab-akibat sebagaimana ilmu khusus. Dalam filsafat orang mencari tahu tentang hakikat suatu objek atau masalah, dari asal-usulnya, hingga tujuannya.
Filsafat memandang alam sebagai kesatuan yang utuh. Mereka mencari pengetahuan yang komprehensif tentang alam dan kehidupan, tanpa mencapai pemahaman yang definitif.
Filsafat terkenal karena mendalami persoalan-persoalan secara mendalam. Mereka tidak puas hanya melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja. Sering kali, mereka bertanya apakah apa yang tampak nyata ini adalah sesuatu yang sejati, atau hanya bayangan dari sesuatu yang lebih mendasar. Beberapa filsuf menganggap dunia yang tampak (indrawi) ini sebagai representasi dari dunia yang sejati. Filsafat sering kali mempertimbangkan dua dunia: dunia yang fana dan dunia yang abadi. Dunia yang fana dianggap sebagai sementara, sedangkan dunia yang abadi dianggap sebagai hakikat yang lebih mendalam.
Catatan:
Kultur (kultur dengan ejaan Indonesia atau kebudayaan dengan ejaan yang disempurnakan) mengacu pada keseluruhan pola perilaku, pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, kebiasaan, dan segala sesuatu yang lain yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ini mencakup segala aspek dari kehidupan manusia yang bersifat sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui pembelajaran, bukan melalui warisan genetik. Kultur tidak hanya mencakup praktik-praktik fisik atau manifestasi material seperti bahasa, pakaian, dan makanan, tetapi juga mencakup aspek-aspek abstrak seperti nilai-nilai, norma-norma, dan sistem kepercayaan yang membentuk identitas suatu kelompok atau masyarakat. Dengan demikian, kultur atau kebudayaan adalah salah satu komponen kunci dalam memahami dan menjelaskan perilaku manusia dan dinamika sosial.
*
Perbedaan antara adat istiadat, tradisi, dan budaya dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Adat Istiadat: Merupakan aturan atau norma-norma yang mengatur perilaku dan tata cara dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat. Adat istiadat bersifat lokal dan sering kali diwariskan secara turun-temurun. Contohnya adalah cara berpakaian, upacara adat, tata cara pernikahan, dan lain sebagainya.
- Tradisi: Merujuk pada kebiasaan atau praktik-praktik yang dijalankan oleh suatu kelompok atau masyarakat dari generasi ke generasi. Tradisi mencakup ritual, perayaan, atau aktivitas yang memiliki makna budaya dan sering kali dilakukan secara berulang. Contohnya adalah perayaan hari raya, festival budaya, atau ritual keagamaan.
- Budaya: Lebih luas cakupannya, budaya mencakup segala aspek kehidupan suatu masyarakat, termasuk adat istiadat, tradisi, bahasa, seni, musik, arsitektur, nilai-nilai, sistem kepercayaan, dan lain-lain. Budaya mencerminkan cara hidup suatu kelompok atau masyarakat yang berkembang dari interaksi sosial, sejarah, dan lingkungan mereka.
Dengan demikian, adat istiadat adalah bagian dari tradisi yang lebih luas, sedangkan tradisi adalah bagian dari budaya yang lebih komprehensif. Budaya mencakup semua aspek yang membentuk identitas dan cara hidup suatu kelompok atau masyarakat.
Prof. Dr. Miriam Budiardjo (20 November 1923–8 Januari 2007) adalah pakar ilmu politik dan diplomat Indonesia. Ia adalah mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 1993–1998. Miriam adalah istri Ali Budiardjo, seorang tokoh perjuangan Indonesia. Miriam adalah salah satu pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), dan menjabat sebagai Dekan pada periode 1974–1979. Dia adalah wanita pertama yang menjabat sebagai diplomat untuk Indonesia, yang dia wakili di beberapa negara termasuk di India dan Amerika Serikat. (id.wikipedia.org)
Paul Natorp (1854-1924) adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai salah satu pendiri dari Sekolah Marburg. Dia adalah murid dari Hermann Cohen dan salah satu tokoh utama dalam aliran neokantianisme. Natorp terkenal karena kontribusinya dalam epistemologi, filsafat pendidikan, dan estetika. Salah satu karyanya yang terkenal adalah "Sozialpädagogik", di mana dia mengembangkan gagasan-gagasan tentang pendidikan sebagai landasan bagi pembentukan individu dalam masyarakat.
Wilhelm Windelband (1848-1915) adalah seorang filsuf Jerman yang terkenal karena kontribusinya terhadap sejarah filsafat dan epistemologi. Dia adalah salah satu tokoh utama dari aliran Neo-Kantianisme dan juga dikenal sebagai pendiri Sekolah Baden, sebuah aliran dalam filsafat Jerman yang menekankan pentingnya metodologi dalam pemikiran filosofis. Karya utama Windelband adalah "History of Philosophy" (1892), di mana dia memberikan tinjauan komprehensif tentang perkembangan pemikiran filosofis dari zaman kuno hingga modern.
I. Filosofi Alam
Awal mulanya, filosofi Yunani tidak lahir di Yunani, melainkan di Asia Minor², di daerah perantauan bangsa Yunani. Faktor geografis membuat bangsa Yunani terpaksa merantau ke luar daerah, terutama ke Asia Minor. Di Yunani sendiri tanahnya kurang subur, berbukit-bukit, dan penuh dengan teluk yang menjorok jauh ke dalam daratan.
² Asia Minor adalah istilah geografis yang merujuk pada bagian barat daya Asia yang sekarang menjadi bagian dari Turki. Daerah ini dikenal sebagai Anatolia dan merupakan salah satu wilayah yang paling kaya dalam sejarah dan arkeologi. Asia Minor telah menjadi rumah bagi banyak peradaban kuno, termasuk bangsa Hittite, Lydian, Phrygian, dan Romawi, serta memainkan peran penting dalam perkembangan budaya dan sejarah Eropa dan Asia.
Hampir seluruh perantau Yunani menjadi seorang saudagar. Di samping mencari nafkah, kemakmuran tersebut memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan seni dan pikirannya. Maka lahirlah literatur dan filosofi Yunani di daerah perantauan, terutama di kota Miletos di Asia Minor. Puncaknya pada abad ke-6 SM, di mana filsuf-filsuf Yunani pertama, seperti: Thales, Anaximandros, dan Anaximenes muncul. Mereka disebut sebagai filsuf alam karena pusat pemikiran mereka mengenai asal mula alam semesta.
1. Thales
Tidak diketahui pasti tanggal kelahiran Thales. Banyak orang menyebut masa hidupnya dari tahun 625-545 SM. Thales adalah salah satu dari tujuh orang bijak yang terkenal dalam cerita-cerita lama Yunani—enam lainnya adalah Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Menurut cerita, Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Ia juga seorang ahli politik yang terkenal di Miletos.
Thales juga mempelajari matematika (ilmu pasti) dan astronomi (ilmu bintang). Ada cerita yang mengatakan bahwa Thales menggunakan kepintarannya untuk menjadi seorang peramal (ahli-nujum). Pernah dia meramalkan akan datangnya gerhana matahari. Dan benar saja gerhana matahari terjadi di tahun 585 SM. Hal itu menunjukkan bahwa Thales mengetahui matematika Babilonia yang terkenal.
Meskipun dianggap sebagai bapak filsafat Yunani, Thales tak pernah menulis. Filsafatnya diajarkan secara lisan, dan dikembangkan oleh murid-muridnya secara lisan juga. Baru, kemudian, Aristoteles yang menuliskannya.
Menurut keterangan dari Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales adalah "semuanya itu air". Air adalah sumber dan dasar segala sesuatu. Semua berasal dari air dan kembali ke air. Dan dalam menjawab pertanyaan tentang asal mula alam, Thales menggunakan akalnya, bukan dengan takhyul atau kepercayaan umum pada zamannya.
Berdasarkan pengalaman sehari-hari, Thales menyimpulkan bahwa air adalah sumber kehidupan. Sebagai contoh di Mesir: Thales melihat bahwa kehidupan rakyat Mesir sangat bergantung pada sungai Nil. Siapa yang dapat menyuburkan tanah kalau bukan karena sungai Nil, sehingga Mesir dapat didiami manusia.
Sebagai seorang pelaut, Thales juga mengagumi laut. Menurutnya, laut dapat memusnahkan dan dapat menghidupkan. Laut dapat menyebarkan benih ke seluruh dunia, yang—kemudian—menjadi dasar kehidupan.
"Laut menumbangkan pohon. Bibit dan buah pohon itu terhanyut dan laut membawanya ke pantai—tanah—lain. Bibit dan buah itu tumbuh dan menjadi pohon jenis baru di sana."
Air—yang tidak bekeputusan itu—berpengaruh besar atas pikiran dan pandangan Thales tentang alam, setelah apa yang ia alami dalam pengalamannya. Maka, bagi Thales, air adalah unsur utama alam.
"Semuanya ini air" = "semuanya itu satu"
Selain menganggap air itu adalah penyebab utama segala yang ada, Thales juga menganggap bahwa air adalah penyebab akhir segala yang telah ada. "Air adalah asal dan akhir segala sesuatu." Air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) alam.
Thales adalah revolusioner. Ketika mayoritas masyarakat Miletos masih dipenuhi pandangan takhyul, Thales muncul dengan pikirannya tentang segala sesuatu, segala yang ada, itu berasal dari satu unsur (air). Thales membuka pemahaman baru tentang alam dan membebaskan akal dari belenggu takhyul dan dongeng.
Bagi Thales, tidak ada perbedaan antara "hidup" dan "mati", karena semuanya satu. Thales memiliki kepercayaan animisme. Ia percaya bahwa semua benda memiliki jiwa. Benda-benda bisa berubah, bergerak, muncul, dan hilang karena kodrat mereka sendiri.
Demikian filosofi pertama Yunani, bahwa semuanya berasal dari air dan kembali ke air.
Ilustrasi Thales:
2. Anaximandros atau Anaximander
Anaximandros adalah murid Thales, yang berusia lima belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi meninggal dua tahun lebih dulu (610-547 SM). Sebagai filsuf, ia lebih hebat dari Thales. Ia menguasai astronomi dan geografi.
Anaximandros menulis pemikirannya dengan jelas, sehingga karya-karyanya dianggap sebagai buku filosofi tertua. Seperti Thales, Anaximandros mencari "asal segala sesuatu". Ia tak menerima begitu saja ajaran Thales. Ia sepakat jika asal segala sesuatu itu satu, tetapi bukan air, melainkan sesuatu yang tak terbatas dan selalu bekerja tanpa henti. "Karena kejadian ini tak terbatas, maka asalnya juga harus tak berkeputusan³."
³ Maksudnya adalah: Anaximandros berpendapat bahwa asal dari segala sesuatu itu mestinya adalah sesuatu yang tidak terbatas dan terus-menerus aktif. Mengapa demikian, karena alam semesta ini tidak terbatas, maka sumbernya juga harus tidak terbatas, tak terdefinisikan dan selalu bergerak.
Anaximandros menyebut asal dari alam semesta dengan istilah "Apeiron". Apeiron tak bisa digambarkan dan tak mirip dengan apapun yang terlihat di dunia ini. Karena, menurut Anaximandros, semua yang terlihat dan dapat dirasakan dengan pancaindra, memiliki akhir dan terbatas. Oleh karena itu, Anaximandros menekankan bahwa asal mula yang tidak terbatas dan tanpa akhir, mestinya tak berasal dari benda yang memiliki akhir. Apa yang dimaksud dengan konsep Apeiron adalah "yang tak terbatas" dan "yang tak terdefinisikan".
Segala yang terlihat dan dirasakan akan dibatasi oleh lawannya: yang panas dibatasi oleh yang dingin, yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang dibatasi oleh yang gelap. Semua yang memiliki batasan tak bisa memberi sifat kepada yang tidak terbatas.
Segala yang terlihat dan dirasakan akan memiliki akhir. Mereka muncul, hidup, mati, dan lenyap. Segala yang memiliki akhir terus-menerus berubah, dari satu bentuk ke bentuk lain: yang cair menjadi beku dan sebaliknya, yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semuanya berasal dari Apeiron dan kembali ke Apeiron.
Anaximandros berpendapat bahwa pada awalnya, bumi sepenuhnya tertutup air. Sehingga makhluk pertama yang muncul adalah hewan air. Mulanya hewan darat mirip seperti ikan. Lalu mereka berevolusi dan berbentuk seperti yang sekarang.
Anaximandros juga berpendapat bahwa manusia pertama kali berasal dari hewan yang menyerupai ikan. Ia melihat bahwa bayi yang baru lahir memerlukan bantuan bertahun-tahun (tak berdaya), tak bisa langsung mandiri. Sedangkan pada awal kehidupan makhluk harus bisa mandiri sejak lahir, seperti hewan yang menyerupai ikan.⁴
⁴ Tentang asal usul manusia. Anaximandros berpendapat bahwa manusia pertama berevolusi dari makhluk mirip ikan karena bentuk manusia sekarang tak dapat mandiri segera setelah lahir, memerlukan perawatan panjang. Pada awal kehidupan, makhluk harus mandiri seperti ikan. Agar tetap eksis atau tidak punah.
Anaximandros adalah pemikir jenius pada masanya. Dia menjelaskan isi pikirannya dengan metode berpikir yang teratur, seperti dengan metode ilmu pengetahuan sekarang—yang bekerja dengan alat pemikiran yang lebih sempurna.
Ilustrasi Anaximandros:
3. Anaximenes
Anaximenes hidup dari tahun 585-528 SM. Dia adalah guru terakhir dari filosofi alam yang berkembang di Miletos, karena tak lama setelah ia meninggal, pada tahun 494 SM, kota Miletos ditaklukan oleh Persia. Banyak pemikir melarikan diri, sehingga kebesaran Miletos sebagai pusat filsafat alam harus berakhir.
Anaximenes adalah murid Anaximandros, sehingga pandangannya tentang alam hampir mirip dengan gurunya. Ia sepakat bahwa asal mula "segala sesuatu" adalah satu dan tak terbatas. Tetapi ada satu hal yang Anaximenes tak setuju dengan gurunya, bahwa asal mula itu tak bisa dilihat atau digambarkan. Menurutnya, asal mula itu "satu" dari yang ada dan tampak, yakni udara. Udara itulah yang "satu" dan tak terbatas. Mengenai ini, Anaximenes berpikiran sama dengan Thales, bahwa asal mula haruslah sesuatu yang ada (ujud) dan terlihat. Mereka hanya berbeda materi, Thales beranggapan "satu" itu adalah air, sedangkan Anaximenes beranggapan "satu" itu adalah udara.
Jika tak ada udara, tidak akan ada yang hidup. Pandangan ini mungkin dipengaruhi oleh salah satu ajaran Anaximandros, bahwa: "jiwa itu serupa dengan udara". Anaximenes menganalogikannya dengan, "Sebagaimana jiwa manusia yang menyatukan raga, udara juga mengikat dunia ini menjadi satu."
"Alam besar (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos) pada dasarnya serupa."
Bagi Anaximenes, jiwa menyatukan tubuh manusia dan menjaga agar tubuh tak bercerai-berai. Ketika jiwa keluar dari tubuh, maka tubuh akan mati dan bagian-bagiannya mulai terpisah. Begitu juga dengan alam besar, ia ada (eksis) karena udara, yang menjadi dasar kehidupannya. Tanpa udara, semuanya akan hancur.
Ini pertama kalinya, istilah jiwa disinggung ke dalam pandangan filosofi. Tetapi, Anaximenes tak melanjutkan pikirannya soal kehidupan jiwa, karena berada di luar topik filosofi alam, yang mencari penyebab utama dari alam semesta.
Soal "jiwa"—yang berkaitan dengan perasaan manusia—baru menjadi penting kemudian, terutama ketika Aristoteles yang memulainya. Dari situ, lahirlah cabang ilmu baru yang disebut psikologi.
Menurut Anaximenes, udara adalah materi. Meskipun dasar "segala sesuatu" dianggapnya materi, Anaximenes tetap membedakan "yang hidup" dengan "yang mati". Tubuh mati karena jiwa keluar, maka yang mati tidak berjiwa. Anaximenes berbeda pendapat dengan Thales yang menganggap benda mati juga berjiwa. Anaximenes terlepas dari pandangan animisme.
Anaximenes mengemukakan persoalan baru yang tidak ada pada Thales dan Anaximandros. Ketiganya percaya ada asal mula yang menjadi pokok segala sesuatu. Namun, Anaximenes maju selangkah lagi dengan pertanyaan, "Gerakan apa yang menyebabkan alam yang beragam ini muncul dari asal mula yang satu itu?"
Sebagai ahli ilmu alam, Anaximenes mencari jawabannya dengan mengamati pengalaman. Menurutnya, semuanya terjadi dari udara. Jika udara diam saja, tidak akan ada yang lahir dengan berbagai macam bentuk. Karena gerakan udara adalah penyebab segala sesuatu. Udara bisa jarang atau padat. Jika udara jarang, terjadilah api. Jika udara padat, terjadilah angin dan awan. Jika semakin padat, turunlah hujan. Dari air menjadi tanah, dan tanah yang sangat padat menjadi batu.
Metode Anaximenes menunjukkan pemikiran yang lebih maju, tapi pandangannya tentang bentuk alam kurang maju dibandingkan Anaximandros. Menurut Anaximenes, dunia ini datar seperti meja bundar dan ditopang oleh udara di bawahnya. Udara yang mengangkatnya tidak punya ruang untuk bergerak, jadi bumi tetap di tempatnya.
Matahari, bulan, dan bintang lahir dari bumi. Uap yang keluar dari bumi naik ke atas, menjadi jarang, dan berubah menjadi api. Api ini menjadi matahari, bulan, dan bintang. Ada juga bintang yang mirip dengan bumi. Bintang-bintang beredar di atas bumi, bukan mengelilingi bumi dari atas ke bawah, tetapi seperti "topi berputar di atas kepala". Bintang-bintang bisa hilang dan muncul disebabkan jarak edarannya. Jika tidak terlihat, berarti bintang itu jauh dari bumi.
Demikian tentang Anaximenes, filsuf alam terakhir dari Miletos.
Ilustrasi Anaximenes:
II. Filosofi Herakleitos
Herakleitos lahir di kota Ephesos, di Asia Minor, sekitar 540-480 SM. Banyak karangannya yang sulit dipahami sehingga ia sering dipanggil "Herakleitos yang gelap", "Obscure Philosopher", atau "The Obscure Sage of Ephesus".
Meskipun Herakleitos memiliki (banyak) pandangan yang berbeda dengan para filsuf sebelumnya, namun ada juga pandangan yang dipengaruhi oleh filsuf Miletos, yakni tentang "satu" unsur utama yang menjadi dasar alam ("segala sesuatu"), tapi berbeda materi, yakni api. Bagi Herakleitos, api adalah anasir⁵. Bukan air sebagaimana Thales. Juga bukan udara sebagaimana Anaximenes.
⁵ Anasir adalah unsur atau elemen dasar yang membentuk sesuatu.
Api lebih penting daripada air dan udara, karena api mudah bergerak dan berubah bentuk. Api membakar segalanya, mengubahnya menjadi api, dan akhirnya menjadi abu. Semua berubah menjadi api, dan api berubah menjadi segalanya. Ini terlihat pada panas matahari yang penting untuk kehidupan manusia (vitamin D), hewan, dan tumbuhan (fotosintesis).
Walaupun Herakleitos melihat api sebagai elemen dasar, tetapi pandangannya tak semata-mata terikat pada makrokosmos (alam besar), sebagaimana para filsuf Miletos. Herakleitos melihat api sebagai simbol perubahan. Api yang selalu bergerak menunjukkan bahwa tidak ada yang tetap. Yang ada hanyalah pergerakkan terus-menerus. Tidak ada yang benar-benar "ada" (being), melainkan semuanya "menjadi" (becoming) atau berubah.
Being:
- Mengacu pada sesuatu yang tetap dan tidak berubah.
- Menekankan keadaan yang stabil dan permanen.
Becoming:
- Menunjukkan proses perubahan dan perkembangan.
- Menekankan dinamika dan transformasi.
"Being" dan "becoming" adalah konsep yang menggambarkan dua pandangan tentang keberadaan. Dalam filsafat, "being" sering terkait dengan ide tentang eksistensi yang tetap, sedangkan "becoming" menyoroti kenyataan bahwa segala sesuatu selalu berubah.
Segala kejadian di dunia ini mirip dengan api, yang terus berubah dan memperbarui dirinya. "Segala permulaan adalah mula daripada akhir." "Segala hidup mula daripada mati." Tidak ada yang tetap di dunia ini—semuanya berlalu. "Panta rei" yang berarti semuanya mengalir.
"Segala permulaan adalah mula daripada akhir" berarti bahwa setiap awal berasal dari sebuah akhir. Ini mencerminkan siklus alami di mana sesuatu yang berakhir memungkinkan sesuatu yang baru untuk dimulai. Konsep ini menyoroti hubungan antara akhir dan permulaan dalam proses perubahan yang terus-menerus.
"Segala hidup mula daripada mati" berarti bahwa kehidupan dimulai dari kematian. Ini menggambarkan siklus alam, di mana kematian memberikan ruang atau unsur bagi kehidupan baru untuk muncul. Dalam filsafat, ini mencerminkan pandangan bahwa perubahan dan transisi adalah bagian dari proses alam yang berkelanjutan.
Penghidupan dan kemajuan dunia dibaratkan seperti air mengalir. Seperti kita yang tak pernah mandi dengan air yang sama dua kali. Air itu terlihat sama, sama-sama bermateri air, tetapi sebenarnya sudah berubah, sudah bukan air yang pertama. Air yang baru mengganti air yang lama. Begitu juga dengan "sesuatu", ia tak tetap seperti semula. Ia akan berubah seiring waktu.
Dunia adalah tempat pergerakkan terus-menerus, di mana yang baru akan mengalahkan yang lama. Dunia ini adalah arena perjuangan antara dua kekuatan yang bertentangan, dan perjuangan itu adalah tanda kehidupan. Tanpa perjuangan, tidak akan ada kemajuan. Semua yang sementara adalah bagian dari gerakan besar. "Perjuangan adalah sumber segalanya, penguasa segalanya."
Akan tetapi, sumber perubahan diatur oleh hukum universal, yang disebut logos—logos berarti "pikiran yang benar" (logika). Logos adalah panduan dasar (norma) tindakan manusia. Memahani logos adalah tugas penting bagi akal manusia, dan siapa yang memahaminya akan dianggap cerdik dan bijaksana. Bagi Herakleitos, berpikir adalah sumber kebahagiaan.
Siapa yang memahami hukum dunia, pasti akan bertindak sesuai hukum itu. Sebagaima dunia—yang diatur oleh logos, tindakan seseorang akan diatur oleh akalnya (rasio). Hukum di alam semesta (makrokosmos) sama dengan hukum di alam kita (mikrokosmos). Hukum itu ialah logos.
Makrokosmos:
- Mengacu pada alam semesta yang luas.
- Menyentuh aspek-aspek seperti planet, bintang, dan galaksi.
- Menunjukkan keteraturan dan hukum yang mengatur keseluruhan alam.
Mikrokosmos:
- Merujuk pada dunia kecil atau individu.
- Fokus pada manusia, kehidupan, dan entitas kecil lainnya.
- Menunjukkan bagaimana unsur-unsur besar tercermin dalam kehidupan individu.
Makrokosmos dan mikrokosmos adalah konsep yang menggambarkan hubungan antara alam semesta dan individu. Hubungan antara keduanya menggambarkan bagaimana struktur dan prinsip yang sama dapat ditemukan pada tingkat besar dan kecil.
Jika kita memahami pandangan Herakleitos dan membandingkannya dengan Thales, Anaximandros, dan Anaximenes, terlihat bahwa tujuan filosofi telah berubah. Herakleitos membawa kontribusi besar dengan memperkenalkan konsep dunia pikiran yang disebut "logos." Konsep ini masih menjadi perhatian filosofi hingga masa kini.
Herakleitos memandang logos sebagai inti alam. Untuk memahaminya, orang harus melepaskan anggapan bahwa kebenaran sejati bisa dipahami hanya melalui pengalaman. Hal ini karena pengalaman sangat terbatas dan tidak sepenuhnya mencerminkan kebenaran.
Logos itu kekal selamanya. Menurut Herakleitos, tidak perlu mencari asal mula "segala sesuatu" sebagaimana para filsuf alam. Logoslah yang berkuasa dan tak perlu dipertanyakan lagi. Dunia ini tidak diciptakan oleh siapa pun dan selalu ada. Ia seperti api yang terus hidup, yang terus-menerus menyala dan padam⁶. Dunia berputar tanpa awal dan akhir, selalu berubah karena tak ada kekuatan di luar yang bisa menghentikannya. Dunia bergerak terus, mengandung hukum atau logosnya sendiri, sehingga kemajuan terjadi secara teratur.
⁶ Seperti api yang selalu hidup, yang terus-menerus menyala dan padam. Ini berarti bahwa logos bersifat dinamis dan selalu berubah, tetapi tetap ada secara abadi.
Herakleitos berpendapat bahwa kejadian alam mirip dengan pandangan Anaximenes, meski berbeda dalam deskripsinya. Singkatnya, ada dua jenis uap yang naik dari bumi: satu jernih dan satu keruh. Uap jernih menyebabkan api dan membentuk bintang-bintang, sementara uap keruh menghasilkan kelembapan⁷.
⁷ Uap keruh menghasilkan kelembapan artinya uap yang tidak jernih menyebabkan terbentuknya elemen basah atau lembap, seperti air atau awan, dalam proses alam.
Begitu juga dengan jiwa, ia selalu berada dalam proses perubahan. Jiwa berasal dari uap basah. Semakin tinggi jiwa naik dari uap basah, semakin dekat ia ke keadaan yang kering dan jernih—yang berarti semakin baik. Sebaliknya, jiwa yang tetap dalam keadaan basah, ia seperti jiwa pemabuk, yang tak tahu arah atau tujuannya.
Demikian pokok-pokok filosofi Herakleitos, si "Obscure Philosopher".
Ilustrasi Herakleitos: