Sesekali ke Angkringan

Tidak ada komentar

“Sesekali ke Angkringan”

Angkringan adalah tempat makan sederhana dengan gerobak kayu, yang menghidangkan aneka ragam makanan di tengahnya. Tempe, tahu, nasi kucing adalah mayoritas hidangan yang selalu menjadi menu favorit. Bentuk meja makannya yang kecil, membuat para pengunjung yang mulanya tidak saling kenal menjadi akrab karena mereka membahas suatu topik yang sama. Pernikahan, ekonomi, politik, dan agama adalah topik yang sering diutarakan. Apa yang disajikan tak hanya nasi kucing dan gorengan, realitas kehidupan mereka juga ada di sana.

Tak perlu teori verstehen Max Weber, tak perlu teori kapitalis Adam Smith, juga tak perlu teori kelas sosial Karl Marx. Segalanya yang ada di meja itu adalah realitas para pengunjungnya, yang senyatanya adalah kisah hidup mereka. Kisah yang tak mungkin sampai di istana negara.

Kisah yang pengunjungnya sendiri tak pernah berani ceritakan kepada teman maupun keluarganya. Hanya kepada orang-orang asing ini, ia berani bercerita. Tak ada beban akan rasa malu karena memang tidak saling kenal satu sama lain. Maka di sini adalah kisah yang sesungguhnya kisah. Kisah yang tak mungkin sampai di istana negara.

Tidak ada topeng di wajah mereka. Di sini mereka menjadi dirinya sendiri. Yang kalau Nietzsche bilang bahwa sosok seperti itu adalah sosok yang dirindukan oleh jiwanya yang tertinggi. Yakni sosok yang ingin mengeluh, yang meluap-luap ingin keluar. Hanya di angkringan saja mereka keluar. Hanya di angkringan saja sosok itu mau didengarkan. Istana negara? Mustahil mereka mendengarkan.

Sesekali makanlah di angkringan. Akan ada banyak penghidupan yang tak dituliskan di buku sekolah, atau diajarkan oleh guru, maupun dikisahkan oleh orang tua. Tak perlu turun ke jalanan. Cukup dengan memesan es teh manis dan menyicip gorengan saja, kita bisa merasakan kisah mereka. Namun hanya telinga-telinga yang tajam yang mampu mencernanya. Telinga-telinga yang seperti orang-orang istana takkan mampu memahaminya. Apalagi telinga-telinga biasa yang berlagak kaya, berlagak bagian dari istana. Telinga yang penuh kotoran, karena di dalamnya hanya mendengarkan kotoran-kotoran penguasa. Neraka untuk kalian yang bertelinga kotor.

Maka makanlah di angkringan dan rasakan hangatnya arang beserta kisah orang-orang. Selagi telingamu masih suci. Demikian sabda Reza.


Sukoharjo,

13 Desember 2022

Komentar