How to Have a Good Sex: Pesan untuk Para Lelaki (Pendapat Simone de Beauvoir)

Tidak ada komentar

How to Have a Good Sex: Pesan untuk Para Lelaki (Pendapat Simone de Beauvoir)

'Seks' dalam sudut pandang masyarakat di Indonesia, sampai tulisan ini ditulis (2023), masih terdengar tabu. Padahal kelak manusia akan menjalaninya: memiliki pasangan sah, lalu berhubungan badan. Secara agama juga dianjurkan untuk bersenggama dengan pasangan sah, sebagaimana dalam firman Allah¹:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya: "Dan bergaullah (bercampur, bersetubuh) dengan mereka (istri) menurut cara yang patut."

¹QS An-Nisa (4) ayat 19.

Pada ayat tersebut terdapat kalimat yang perlu ditekankan, yakni "menurut cara yang patut". Lantas, seperti apa yang dimaksud 'patut' tersebut?

Tulisan ini berusaha menjawabnya, namun tidak dengan sudut pandang fikih Islam. Tulisan ini hanya terbatas pada pandangan yang Simone de Beauvoir berikan dalam bukunya, Second Sex.

Simone menjelaskan 'inisiasi seksual' dalam pandangan feminisme eksistensialisme, yakni perempuan dipandang hanya sebagai objek,² bukan subjek, ketika berhubungan seksual. Artinya keberadaan perempuan dalam berhubungan seksual hanya dianggap sebagai pemuas nafsu laki-laki (dianggap sebagai objek, atau kata Simone "sosok yang lain"). Bukan sebagai subjek yang juga mencari kepuasan. Itulah kenapa perempuan sulit mencapai klimaksnya, karena sejak awal persetubuhan; atau niat persetubuhan, secara psikis ia hanya dianggap sebagai alat pemuas nafsu. Di bawah akan dijelaskan lebih lanjut bahwa klimaks perempuan tak soal memberikan stimulasi pada klitoris, namun ada dorongan moral (psikis) yang akan membuat mereka cepat mengalami orgasme.

²Simone de Beauvoir, "Second Sex", (Yogyakarta: Narasi, 2016), hlm. 156.


Beberapa pendapat Simone yang menebalkan perempuan hanya sebagai objek, tanpa memiliki peranan yang sama dalam persetubuhan adalah sebagai berikut:

Dalam pandangan biologis, Simone menunjuk hewan sebagai analoginya yang meyakinkan bahwa laki-laki sangat dominan dalam persetubuhan. Pada kebanyakan hewan, pejantan memiliki peran yang agresif, sedangkan betina pasrah menyerahkan diri. Artinya, betina dapat diambil kapan saja, hanya ketika si jantan dalam keadaan ereksi. Sama seperti hewan, pada kebanyakan manusia, persetubuhan tidak akan terjadi tanpa adanya hasrat dari laki-laki. Dan persetubuhan akan berhenti ketika laki-laki mengalami orgasme, ketika sperma keluar membuahi sel telur. Di sisi lain, pembuahan bukan berarti kepuasan untuk perempuan, karena pembuahan dapat terjadi tanpa adanya kenikmatan yang dirasakan perempuan.³

³Ibid., hlm. 147.


Dalam pandangan biologis (lagi), Simone melihat dari alat kelamin masing-masing. Alat kelamin laki-laki digambarkan timbul, seperti jempol, mudah dilihat. Sedangkan milik perempuan misterius, ke dalam. Bahkan perempuan sendiri, yang memilikinya, tak dapat mengenali alat kelaminnya. "Terlalu rahasia", kata Simone.

Karena tak mengenali organ seksualnya sendiri, perempuan jadi tak mengenali juga gairahnya. Jika laki-laki ketika mengalami klimaks digambarkan dengan keluarnya sperma. Perempuan tak tau, apakah dia sudah mengalami klimaksnya atau belum. Sama seperti organ seksualnya, terlalu rahasia.⁴

Ibid., hlm. 164.


Gairah seks perempuan bersifat menunggu, karena gairah seks mereka berupa tekanan-tekanan halus pada dinding organ kemaluannya. Dan tekanan-tekanan itu didapat dari laki-laki yang menyetubuhinya. Secara praktik biologis persetubuhan, perempuan menerima kepasifannya. Dan seharusnya, secara psikis mereka tak lagi mengalami kepasifan. Kepasifan tersebut membuat perempuan tak hanya berkonflik dengan laki-laki saja, tetapi juga harus berkonflik dengan dirinya sendiri.⁵ Dirinya yang misterius, dirinya yang terlalu rahasia.

Ibid., hlm. 165.
Fakta lain tentang organ seksual perempuan adalah, bahwa organ seksual mereka memiliki pengaruh besar dalam psikis mereka. Hal ini Simone lihat ketika perempuan mengalami menstruasi. Mereka harus mengalami nyeri di perut setiap bulan. Hormonnya menjadi tidak seimbang dan menyebabkan ketidakstabilan saraf dan vasomotor. Mudah gugup, dan menjadi emosional. Kontrol pusat-pusat saraf pada sistem-sistem periferal dan simpatetik tak lagi terjaga. Hal ini mengganggu aktivitasnya atau malah aktivitasnya tak bisa dilakukan sama sekali. (Simone, "Second Sex..., hlm. 87)


Dalam pandangan sosiologis, sejak zaman dulu perempuan mengalami ketidaksetaraan terkait persoalan perselingkuhan. Misalnya seorang laki-laki dari kalangan atas melakukan perselingkuhan (persetubuhan) dengan seorang perempuan dari kalangan bawah (kebanyakan kepada pembantunya sendiri). Laki-laki tersebut takkan kehilangan martabatnya. Masyarakat menoleransinya karena dianggap bukan sesuatu yang terlalu menyimpang.

Akan berbeda jika seorang perempuan dari kalangan atas melakukan perselingkuhan (persetubuhan) dengan seorang laki-laki dari kalangan bawah (bisa jadi sopir atau tukang kebunnya), perempuan tersebut akan kehilangan martabatnya. Hal ini karena sejak zaman dulu perempuan selalu ditempatkan sebagai pihak yang selalu suci. Sedangkan laki-laki selalu memiliki kebebasan seksual. Perempuan hanya milik (properti) suami atau kekasihnya.⁶ Ketidakadilan ini masih berlaku hingga sekarang.

Ibid., hlm. 148.


Ada kalimat menarik yang dikutip Simone dari seorang tokoh yang bernama Balzac. "Dalam permainan cinta, terlepas dari bagaimana jiwanya, perempuan bagaikan senar gitar yang akan memberikan rahasianya hanya kepada seseorang yang tahu memainkannya." Kata 'memainkan' memiliki pengertian keaktifan pada pihak laki-laki. Dan perempuan hanya bisa pasif, karena mereka adalah objek yang 'dimainkan'.⁷

Ibid., hlm. 164.


Dari pandangan-pandangan di atas, baik secara biologis maupun sosiologis, Simone berusaha mengatakan bahwa selama ini, dalam persetubuhan, perempuan selalu mengalah dari laki-laki. Perempuan selalu berhasil memuaskan, tapi tak pernah dipuaskan. Persetubuhan selalu selesai setelah laki-laki ejakulasi.

Dari masalah tersebut, Simone berusaha memberikan solusi kepada laki-laki mengenai cara yang 'patut' dalam menyetubuhi perempuan, yakni:

Ketika inisiasi seksual dilakukan, lakukan dengan cara yang lembut, tidak kasar karena dikontrol oleh nafsu. Inisiasi seksual juga dilakukan tanpa prosedur, tidak diniatkan untuk melakukan persetubuhan, karena persetubuhan nanti akan terjadi secara naluriah. Dengan demikian perempuan secara perlahan-lahan akan dapat belajar mengatasi rasa rendah dirinya, mengenali pasangannya, dan menikmati permainan cintanya. Persetubuhan diawali melalui cumbuan, necking dan petting. Dengan cara ini perempuan tidak mengalami konflik dengan pasangannya (dipaksa, tergesa-gesa). Dan mereka mampu mengatasi konflik terhadap dirinya sendiri. Seperti tokoh Vinca dalam "Blé en herbe" karya Colette, setelah perawannya diambil oleh Phil, ia tak merasa dirinya direnggut. Sebaliknya, ia bangga telah membuang keperawanannya. Phil melakukan persetubuhan dengan lembut, sehingga ia tidak mengalami kejutan yang berlebihan.⁸

Ibid., hlm. 169-170.


Lakukan penetrasi dengan sopan, dan niatkan persetubuhan sebagai bentuk mengekspresikan cinta. Hal ini dikarenakan perempuan mengharapkan belaian dan sentuhan lembut pada bibir dan buah dadanya⁸. Jika persetubuhan diniatkan untuk memenuhi nafsu, durasi persetubuhan akan berlangsung singkat. Padahal ritme orgasme perempuan lebih lambat daripada laki-laki.⁹ Penting juga dipahami, bahwa tubuh perempuan bersifat psikosomatis¹⁰, yang apabila dari awal laki-laki tidak kasar juga tidak meniatkan melakukan persetubuhan, perempuan takkan mengalami tekanan moral yang dapat menghalangi perasaan seks mereka. Sehingga orgasme perempuan berlangsung lebih cepat dari biasanya.¹¹

Ibid., hlm. 160.
Ibid., hlm. 175.
¹⁰Psikosomatis merupakan hubungan antara pemikiran atau psikis yang bisa mempengaruhi kondisi tubuh atau sebaliknya, sebagai contoh ketika kita mengalami sakit lambung atau maag jika sudah ditelaah atau sudah melakukan pemeriksaan tapi ternyata hasilnya normal disitulah adanya interelasi antara psikis dengan tubuh. (sardjito.co.id)
¹¹Ibid., hlm. 172.


Setelah persetubuhan selesai, jangan langsung menarik diri. Entah untuk merokok, mandi, ataupun tidur. Perempuan ingin berlama-lama dalam hubungan romantis ini. Dan hindari mempertanyakan kepada mereka tentang kepuasan. Misalnya, apakah kamu sudah keluar? Atau, apakah kamu sudah puas? Pertanyaan-pertanyaan itu mengubah gambaran persetubuhan, yang mulanya tindakan cinta, menjadi kegiatan mekanis.¹² Perempuan menjadi sensitif, karena merasa pemuasan itu sesuatu yang dipaksakan. Awalnya perempuan memiliki rasa kecewa oleh egoisme laki-laki karena persetubuhan hanya bermaksud untuk memuaskan diri mereka (laki-laki) sendiri. Namun, perempuan juga akan tersinggung bila laki-laki terlalu jelas berusaha memberinya kenikmatan. Simone mengutip kalimat seorang tokoh yang bernama Stekel: "berusaha membuat yang lain (perempuan) merasakan kenikmatan berarti berusaha mendominasi yang lain (perempuan)."¹³ Sebagaimana yang dikemukakan di atas, perempuan tak ingin didominasi secara terang-terangan. Maka, jangan pernah mempertanyakan kepuasan kepada mereka. Jika ingin memuaskan mereka, lakukan secara tersirat. Jangan ditunjukkan secara eksplisit.

¹²Ibid., hlm. 179-180.
¹³Ibid., hlm. 172-173.


Hindari juga upaya memuaskan perempuan dengan jari atau alat mainan sejenisnya. Bagi perempuan, tangan atau alat mainan adalah instrumen yang tidak dapat ikut merasakan kenikmatan yang diberikannya. Kata Simone, "perempuan ingin mencapai orgasme setelah merasakan menjadi perempuan normal, cara lain tidak akan memuaskan kebutuhan moralnya.¹⁴ Memuaskan dengan tangan terlihat berdampak pada kepuasan biologis perempuan, tapi tidak batin mereka. Karena kenikmatan seksual perempuan tidak selalu berpusat pada organ genital, melainkan menyebar ke seluruh tubuh.¹⁵

¹⁴Ibid.
¹⁵Ibid., hlm. 177-178.


Kembali mengutip ucapan dari Stekel, "perempuan akan menyerahkan dirinya dengan senang hati ketika dirinya merasa pasangannya tidak bermaksud mengalahkannya."¹⁶ Lalu pendapat Simone sendiri, "Seorang kekasih yang bersikap baik dan menghormati, penuh cinta, dan sensitif justru yang paling dapat mengubah perempuan 'bekas' sekalipun menjadi istri atau kekasih yang bahagia; jika laki-laki ini dapat membebaskan rendah dirinya, perempuan tersebut akan menyerahkan dirinya dengan senang hati."¹⁷ Klimaks perempuan adalah urusan mereka sendiri. Selama persetubuhan adalah wujud dari tindakan cinta, klimaks mereka akan datang dengan sendirinya tanpa perlu upaya berlebihan dari laki-laki. Laki-laki hanya perlu perlakukan mereka dengan patut, sebagai sesosok yang utuh, sebagai subjek yang bersama-sama saling mencintai.

¹⁶Ibid., hlm. 172-173.
¹⁷Ibid., hlm. 174.


Kesimpulan

Dalam kaitannya berhubungan seksual yang patut, Simone memberikan beberapa solusi, yakni:

  1. Diawali dengan tanpa adanya niatan untuk bersetubuh.
  2. Penetrasi dilakukan dengan lembut, agar perempuan mampu mengatasi konfliknya.
  3. Setelah ejakulasi, jangan langsung pergi meninggalkan perempuan. Temani mereka, puaskan batinnya dengan tindakan-tindakan romantis.
  4. Hindari mempertanyakan persoalan kepuasan persetubuhan.
  5. Jangan pernah memasukkan (memuaskan) organ seksual perempuan dengan tubuh lain selain penis. Hindari juga penggunaan alat pemuas. Organ seksual perempuan hanya berhak dimasuki kelamin laki-laki.

Perempuan itu memang membingungkan. Dalam persetubuhan mereka ingin mencapai klimaks, tapi juga tak ingin ditanyakan, apakah sudah orgasme atau belum. Mereka ingin persetubuhan terjadi secara alami dan lembut. Tidak direncanakan atau diniatkan sejak awal. Tak ingin didominasi, dan tak ingin organ seksualnya dipuaskan dengan objek lain selain organ seksual laki-laki. Bagi mereka, tujuan dari persetubuhan sendiri ialah melampiaskan 'cinta', bukan sekadar pemuas nafsu yang kasar. Atau sekadar pembuahan untuk berkembang biak, melanjutkan keturunan. Persetubuhan adalah wujud untuk mengekspresikan 'cinta' secara jasmani dengan cara yang patut dan setara. Setara karena keduanya adalah subjek yang saling mencintai. Maka persetubuhan, idealnya bagi kedua subjek, adalah sesuatu yang sakral dan tak sembarangan.

Demikian pendapat Simone de Beauvoir tentang bagaimana persetubuhan yang patut dengan pendekatan feminisme eksistensialisme.

How to Have a Good Sex: Pesan untuk Para Lelaki (Pendapat Simone de Beauvoir)

*Ilustrasi dari: Rembrandt Rabelais (Instagram: @rembrandtrabelais)

Komentar