Kududuk tepat di depan tungku. Bukan karena sedang kedinginan, karena sekarang masih siang. Matahari masih bersemangat menyengat bumi. Kududuk di depan tungku karena tak ingin mengganggu pengunjung lain yang ingin menyicip gorengan.
Kubuka laptopku sambil menyeruput es teh manis yang baru saja disajikan. Belum dingin memang, tapi tetap terasa segar. Tak salah ku mengukuhkan angkringan ini sebagai angkringan terbaik. Kualitas minumannya terjaga, selalu nikmat dan sesuai selera.
Seperti yang pernah kunyatakan dalam tulisan "Sesekali ke Angkringan", angkringan adalah tempat dimana orang-orang melampiaskan keresahannya, kegelisahannya, dan keingintahuannya. Apa yang disajikan tak hanya nasi kucing dan gorengan, tapi juga persoalan-persoalan masyarakat. Berbagai macam diutarakan, termasuk isu-isu politis yang terjadi di sekitar mereka. Mirip seperti ghibah, karena mereka juga membicarakan suatu kelompok tertentu berdasarkan informasi yang mereka dapatkan, yang—mungkin dan lebih sering—bersumber dari satu sisi saja. Hal ini membuat diskusi menjadi tak seimbang. Akan lebih tak seimbang lagi jika pihak yang lain ikut membenarkan informasi yang berasal dari satu sisi tersebut. Ini sudah bukan lagi sebuah diskusi, tapi upaya menyudutkan pihak 'terduga'.
Jam makan siang telah habis. Beberapa orang kembali ke kantornya masing-masing. Angkringan mulai sepi. Tersisa kami tiga orang: aku, pedagang, dan pengunjung berkopiah. Aku asik dengan laptopku, dua orang lainnya sibuk membicarakan sesuatu. Awalnya ku tak memedulikan apa yang mereka bicarakan. Tetapi ketika mereka mulai membicarakan persoalan masjid, kucoba ikut memahami duduk perkaranya—alias menguping. Akhir-akhir ini masjid dekat rumah ramai dibicarakan karena adanya perubahan manajemen. Semua orang tahu bahwa perubahan itu atas dasar keinginan Ahli Waris Pewakaf.
***
Ahli Waris bukan warga asli, juga tak berdomisili di sini. Beliau orang Jakarta, tinggal dan bekerja di sana. Pada suatu saat, beliau memiliki kesempatan untuk berkunjung ke sini. Termasuk mendatangi kajian yang diadakan masjid. Mulanya Ahli Waris senang, karena masjid memiliki agenda bagus. Namun ekspresinya berubah seketika setelah melihat jamaah-jamaahnya berbeda dari belasan tahun lalu. Ia ingat betul wajah-wajah jamaah dulu, jamaah yang mayoritas berasal dari masyarakat sekitar. Di kajian ini, ia tak mengenali satu orang pun. "Mana pak X? Mana pak Y?", batinnya sambil mencari sosok mereka berdua dalam jamaah.
*X dan Y adalah dua sosok yang dulu ditunjuk menjadi Nazhir.
Ahli Waris bergegas pergi, berkunjung ke rumah X yang tak jauh dari masjid. X menjelaskan kronologinya, bahwa ia dan Y dikeluarkan oleh sosok A yang sekarang menjadi Takmir masjid. A merubah segala manajemen masjid. X dikeluarkan, Y dikeluarkan, dan pengurus-pengurus lama juga dikeluarkan. Mereka dikeluarkan secara formal—yakni dengan surat pemberhentian. Kini A menguasai masjid. Sisi baiknya, bangunan masjid berubah menjadi megah. Lebih baik dari versi sebelumnya. Namun A memakmurkan masjid tanpa mengikutsertakan warga sekitar. Termasuk X dan Y, yang ditunjuk oleh ayah Ahli Waris sebagai Nazhir—justru dipecat. Mengetahui hal itu, walaupun masjid tampak elegan, Ahli Waris tetap berupaya merombak masjid yang diwakafkan ayahnya. Karena ayahnya sudah berwasiat, bahwa masjid yang diwakafkan harus mengikutsertakan masyarakat.
Ahli Waris mencoba melakukan pendekatan dengan A. Namun pendekatan itu gagal. A merasa memiliki legalitas secara hukum. Sertifikat masjid sudah atas namanya. Ahli Waris kaget mendengarnya. Karena selama ini dia tak pernah merasa diberitahu akan adanya pergantian nama Sertifikat Masjid. Tanpa pikir panjang, Ahli Waris menunjuk penasehat hukum dan menyuruhnya melakukan verifikasi mengenai kebenaran tersebut ke Kantor Urusan Agama (KUA adalah badan yang berwenang mengeluarkan sertifikat masjid). Setelah ditelusuri, memang benar sertifikat masjid sudah beralih nama. Pihak penasehat hukum Ahli Waris kemudian mempertanyakan keabsahannya. Ada pelanggaran hukum di sana, karena pihak Ahli Waris tak diikutsertakan dalam peralihan tersebut. Kantor Urusan Agama melakukan cross check, ternyata memang benar, mereka kecolongan. Ada indikasi pelanggaran hukum. V, sebagai mantan Kepala Kantor Urusan Agama setempat, mengakui kesalahannya dan menyatakan peralihan nama sertifikat masjid atas nama A batal demi hukum. Lantas pihak Ahli Waris mengatakan kebenaran ini kepada A. Jika A masih kekeuh mempertahankan sertifikat ilegal tersebut, maka Ahli Waris akan menyelesaikannya dengan cara hukum—yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Pihak yang tergugat adalah A sebagai Takmir lama yang mengajukan pendaftaran, dan V sebagai mantan Kepala Kantor Urusan Agama setempat yang menandatangani sertifikat tidak sah tersebut.
A hanya diam, tak menanggapi. Diamnya A bagi Ahli Waris adalah bentuk kebenaran bahwa sertifikat masjid yang beralih nama tersebut tidak legal. Tanpa pikir panjang, Ahli Waris mengajak pengurus-pengurus terdahulu dan warga sekitar untuk mengadakan pertemuan, untuk membentuk manajemen baru masjid. Pertemuan itu menghasilkan putusan Takmir baru. Y kembali ditunjuk sebagai ketua Takmir setelah beberapa orang kandidat yang ditunjuk menolak jabatan itu. Y adalah opsi terakhir. Selain ketua, juga diputuskan beberapa jabatan lainnya, seperti: sekertaris, bendahara, dan sebagainya.
Di penghujung rapat terdapat perdebatan yang cukup panjang. Beberapa warga sekitar yang juga merupakan salah satu jamaah pada masa Takmir A beranggapan bahwa hasil putusan pertemuan ini kurang etis. Seharusnya A juga ikut diikutsertakan dalam pertemuan. Bagi jamaah ini, A telah melakukan perombakan besar untuk masjid. Masjid mungkin takkan sebesar dan semegah ini jika bukan karena A. Ahli Waris menerima kritik dan saran tersebut. Namun tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi untuk pembentukan Takmir baru. Pertemuan berakhir, Takmir baru terbentuk. Keesokannya Ahli Waris bertemu dengan A, mencoba mengajaknya bergabung dalam Takmir baru. Namun A menolak. Ahli Waris tak memaksa, dan yang terpenting usulan-usulan rapat semalam sudah beliau maksimalkan.
Sebelum pengukuhan Takmir baru, Y dan warga sekitar membersihkan masjid dan melakukan audit inventaris masjid. Diketahui sistem keuangan Takmir lama kurang begitu transparan. Juga buku keuangan masjid yang lama tak diberikan kepada pengurus baru. Hal ini menimbulkan beberapa fitnah, dan tak kutulis dalam postingan ini. Tapi ada rumor yang menarik, A dan kakaknya—selanjutnya disebut B—berkunjung ke rumah salah satu pengurus baru dan memarahinya karena menganggap melakukan provokasi. Mulanya B melakukan fitnah kepada ormas M—karena ormas M adalah anggota baru yang bekerja sama dengan Takmir baru atas dasar permintaan Ahli Waris. B menganggap ormas M memiliki kepentingan. Namun B tak dapat membuktikannya dan meminta maaf kepada salah satu tokoh perwakilan dari ormas M. B mencari kambing hitam lain, yakni salah satu anggota dari pengurus baru. Rumor ini tak tersebar luas, hanya orang-orang internal saja yang mengetahuinya.
Sambil berjalannya waktu hingga pengukuhan tiba, Takmir baru—yang telah memiliki wewenang atas masjid—mulai menjalankan program kerjanya. Mereka mencetak jadwal sementara muadzin dan imam solat. Kajian diliburkan sementara waktu, sampai pengukuhan dilaksanakan. Mulanya masjid versi Takmir lama bekerja sama dengan lembaga U—atas ajakan dari A—untuk mengisi imam dan kajian. Lantas Takmir baru berusaha merangkulnya kembali, namun ditolak oleh tokoh-tokoh yang mengisi kajian dari lembaga U. Tokoh-tokoh dari lembaga U tak bisa sembarangan menerima ajakan tersebut, karena mereka bekerja di bawah payung lembaga U. Jika ingin mengundang tokoh-tokoh dari lembaga U, Takmir baru wajib bersurat secara resmi dan diedarkan pada kantor pusat lembaga U. Karena yang berhak menentukan tokoh siapa yang akan mengisi di masjid ini adalah pimpinan dari lembaga U. Tokoh-tokoh dari lembaga U tak memiliki wewenang dan hanya mentaati perintah dari pimpinan.
Bagi P—orang yang ditunjuk Ahli Waris sebagai ketua Dewan Kesejahteraan Masjid—penolakan tokoh-tokoh dari lembaga U secara personal kepada P adalah representasi dari penolakan lembaga U untuk mengisi kajian lagi di masjid ini. Pada rapat berikutnya—rapat mendekati pengukuhan Takmir—Y mengeluhkan sikap Ahli Waris dan P kepada lembaga U yang tak sama sebagaimana sikap mereka kepada ormas M. Ahli Waris dan P terlalu sopan kepada ormas M, namun tidak melakukan hal yang sama kepada lembaga U. Pada rapat pertama, perwakilan dari ormas M diikutsertakan dalam rapat. Sedangkan dari pihak lembaga U tidak. Y selaku ketua Takmir baru dan beberapa masyarakat sekitar tidak menyukai sikap pilih kasih tersebut. Lembaga U perlu diajak kembali dengan cara yang resmi sesuai etika mereka. Karena mereka sudah terlebih dulu hadir mengisi kajian di sini dan meramaikan jamaah. Kalau tidak dikehendaki demikian, Y selaku ketua Takmir baru, akan mengundurkan diri malam itu juga. "Ini persoalan etika, terlepas nanti lembaga U menolak atau tak membalas surat tersebut, yang paling penting kita sudah mengajak mereka lagi. Yakni dengan cara yang mereka hendaki. Janganlah membeda-bedakan. Kita sama-sama ingin memakmurkan masjid. Dan baiknya dengan cara yang etis," ujar Y. P mengiyakan apa kemauan Y dan warga sekitar.
Keluh kesah warga dan Y membuat rapat menjadi menjadi segar dan hidup. Semua orang yang ada di dalam rapat tak tegang mendengarkan perbedaan tersebut. Malah senang karena menikmati diskusi ini. Tujuan semua orang yang ada di sini bukan untuk memuaskan kepentingan pribadi, tapi mutlak untuk kepentingan masjid, demi memakmurkan masjid.
Rapat ditutup. Semua bersalaman satu sama lain. Aku pun juga menyalami mereka satu-persatu. Aku ikut hadir dalam setiap rapat karena menggantikan almarhum ayah. Memandang cara orang-orang ini menyelesaikan perbedaan pendapat membuat pikiranku tumbuh.
***
Penjual dan pengunjung berkopiah membela Takmir lama dan sedikit menyudutkan Takmir baru tanpa mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Amarah yang dilakukan A dan B dinilai sebagai sesuatu yang wajar karena keduanya adalah orang yang membesarkan masjid hingga semegah sekarang. Bagi penjual dan pengunjung berkopiah amarah itu dianggap sebagai bentuk kecintaan A dan B. Aku menahan diri untuk menjelaskan pendapat lain dari perspektifku: bahwa Takmir baru tak seradikal yang mereka kira. Aku memilih diam dan mendengarkan pendapat mereka, karena—mungkin—di mata dua orang itu aku masih terlalu muda untuk ikut serta dalam obrolan tersebut.
Sebagaimana definisi di atas, angkringan adalah tempat dimana orang-orang melampiaskan keresahannya, kegelisahannya, dan keingintahuannya. Penjual dan pengunjung berkopiah adalah wujud dari melampiaskan resah dan gelisahnya. Sedangkan aku representasi dari berusaha ingin tahu, sejauh mana gosip ini melenceng jauh. Maka benar, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Karena dosanya mengalir tiada hentinya hingga kiamat tiba.
Tulisan ini ditulis berdasarkan sudut pandang Takmir baru dan Ahli Waris. Sulit untuk mendapatkan sudut pandang A. Apalagi aku diikutsertakan dalam keanggotaan Takmir baru. Yang ada justru menimbulkan keributan. Walaupun demikian, aku tak ingin menghendaki perselisihan. A terbukti bersalah secara hukum, tapi Ahli Waris dan P tak bisa berbuat semena-mena meski mereka benar. Bagiku yang paling baik adalah berada di tengah-tengah. Sebagaimana ucapan Itakura Katsushige: "Apa boleh berbuat sesukanya kalau benar? Persimpangan jalan akan selalu ada dalam hati. Yang paling baik adalah di tengah-tengah." (Shoshidai Itakura Katsushige: komik Vagabond)
Bagiku—sekali lagi—yang paling baik adalah berada di tengah-tengah.
Tokoh:
- A: ketua Takmir lama, warga sekitar (berbeda RW), belum menikah sampai sekarang.
- B: kakak Takmir lama, warga sekitar (berbeda RW), ikut membantu kepengurusan Takmir lama.
- P: ketua Dewan Kesejahteraan Masjid, ditunjuk Ahli Waris, bukan warga sekitar, penghubung (komunikator) Ahli Waris dengan Takmir baru dan warga sekitar.
- X: Nazhir yang ditunjuk ayah Ahli Waris, warga sekitar.
- Y: Nazhir yang ditunjuk ayah Ahli Waris, ketua Takmir baru, mantan ketua Takmir terdahulu sebelum Takmir lama, warga sekitar.
- V: mantan kepala Kantor Urusan Agama setempat, yang menandatangani sertifikat ilegal.
- Ormas M: ormas yang ditunjuk Ahli Waris untuk mengisi kajian di masjid pasca pengukuhan.
- Lembaga U: lembaga yang sudah lama mengisi kajian di masjid sejak Takmir A memimpin.
- Takmir lama: dipimpin A dan dibantu B.
- Takmir baru: dipimpin Y dan dibantu warga sekitar, mendapat dukungan dari Ahli Waris.
- Takmir terdahulu: Takmir sebelum Takmir lama, beranggotakan Y dan A dan warga sekitar.
- Kantor Urusan Agama: badan yang berwenang mengeluarkan sertifikat masjid.
Kronologi Singkat A Menguasai Masjid:
Banyak marbot masjid yang keluar karena sibuk dengan keluarga baru mereka—menikah. Mulanya A ditunjuk untuk menjadi marbot baru. A telah mengabdi cukup lama. Sehingga Y mempercayainya untuk menjadi Ketua Takmir. Ketika secara legal menjadi Takmir, A mengeluarkan orang-orang lama, termasuk Y dan X. Warga sekitar yang mulanya jamaah tetap di masjid tersebut mulai beralih ke masjid lain. Mereka merasa dipermalukan A, yakni dengan memecat pengurus lama secara bersamaan. Warga sekitar tak ingin memperkeruh suasana dan lebih memilih berlapang dada. A menguasai masjid selama belasan tahun.
Ilustrasi oleh: Soli (Twitter: @solisolsoli)