Tak Ada Harapan dari Anak Kedua

Tidak ada komentar

Tak Ada Harapan dari Anak Kedua

Pak Firman memiliki empat orang anak. Masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri, kecuali si nomor dua. Anak sulung pandai berolahraga. Namun karakter spesialnya bukan itu. Anak sulung mampu berpikir kritis, cepat menanggapi masalah, dan tak memiliki rasa takut. Hasil pertimbangannya memang tidak matang. Tapi kecepatannya dalam bertindak patut diapresiasi. Berulang kali ia jatuh, berulang kali pula ia bangkit. Seringnya jatuh-naik, membuat si sulung jadi lebih berpengalaman. Dia yang kemudian memutuskan permasalahan keluarga. Menggantikan sosok pak Firman yang telah tiada.

Anak ketiga rajin belajar. Belum diketahui dia menonjol dalam bidang apa. Tapi kemampuan otaknya dalam hal mengingat sangat menakjubkan. Dia seorang hafiz Quran. Perkara agama dia paling unggul diantara anak-anak pak Firman lainnya. "Daya ingatnya kuat," kata pak Firman. Dia satu-satunya anak perempuan, maka patut diistimewakan. Tapi bebannya sangat berat. Keluarga besar pak Firman menaruh harapan tinggi padanya, agar kelak menjadi seorang dokter. Pak Firman telah tiada, harapan itu semakin membebaninya, karena tekanan dari adik-adik pak Firman.

Si bungsu memiliki fisik yang lentur. Dia cakap dalam bidang olahraga. Refleknya juga bagus. Dia tak bisa banyak hal selain kedua itu. Logikanya kurang, daya ingatnya kurang, dan keputusannya cenderung asal-asalan. Walaupun begitu, kemampuan fisiknya tak bisa diremehkan. Dia memang anak terakhir, tapi tenaganya yang paling besar diantara anak-anak pak Firman. Mungkin suatu saat dia akan menjadi seorang atletis. Tapi pak Firman telah tiada sebelum kesempatan itu tiba.

Anak kedua tak memiliki apa-apa, tapi bisa melakukan banyak hal. Hanya bisa, tapi tak ahli, dan tak menguasai. Dia bisa berolahraga, tapi sekadar bisa, dan tak terlalu atletis. Dia pandai mengingat, tapi mudah terdistraksi. Dia juga paham soal isu sosial, politik, dan budaya, tapi tak tahu cara menyikapinya. Dia suka menulis, sedikit bisa menggambar, tapi tak memiliki jiwa seni. Dia bisa belajar banyak hal, tapi tak ada satupun yang benar-benar dia kuasai.

Anak kedua tak memiliki sesuatu yang spesial. Hanya suka membaca untuk memuaskan rasa penasarannya. Namun waktu tak pernah mampu memuaskannya. Kalau pun rasa penasaran itu telah terpuaskan, sesuatu itu tak memiliki nilai ekonomi. Bahkan ditukar dengan sebungkus permen pun tak bisa. Anak kedua seperti seorang samurai yang sedang mencari nama di masa industri. Memaksakan kejayaan pedang, di saat ratusan pistol diproduksi. Terkenal pun tidak, mati bodoh iya. Tapi anak kedua masih suka membaca, tak peduli takdirnya seperti apa. Sudah kebal dia disebut bodoh dan suka membuang-buang waktu. Tak ada tempat di telinga anak kedua untuk ucapan-ucapan semacam itu. Kecuali kalimat yang keluar dari mulut pak Firman, kalimat terakhir sebelum pak Firman tiada, "Selesaikan skripsimu, jangan buang-buang waktu." Anak kedua menangis di depan jasad pak Firman. Ia malu, karena pak Firman pergi disaat ia belum jadi apa-apa.

Pak Firman pergi di saat anak kedua tak memiliki harapan apapun untuk dibanggakan. Waktu ia habiskan untuk masa muda yang sia-sia. Penyesalan datang beserta badai hitam di belakangnya. Tapi buku mengajarinya banyak hal, termasuk bersikap pada sebuah kegagalan, dan bertindak pada saat keadaan yang paling sulit datang. Buku menuntun keteguhan hati si anak kedua. Buku menunjukkan cara bagaimana menyikapi orang yang dicintai pergi. Buku membuat anak kedua cepat bangkit dari kesedihan.

Anak kedua tak memiliki bakat apa-apa. Tapi anak kedua adalah anak yang memiliki empati lebih besar daripada ketiga anak pak Firman lainnya. Apakah bisa hal semacam itu disebut sebagai sebuah keunggulan?

Anak kedua tak tau potensi apa yang terdapat dalam tubuhnya. Ia hanya memiliki moral, mengandalkan etika, yang sudah ada sejak ia kecil, dan berkembang setelah ia membaca buku. Apakah itu layak untuk dibanggakan?

Tak ada harapan dari anak kedua, karena ia lari dari kekangan yang bernama 'impian'. Tapi kepergian pak Firman melahirkan impian baru yang bernama 'menafkahi'. Dulu, anak kedua hidup tak bergantung pak Firman. Dia hidup mandiri dan tak memiliki tekanan apapun. Sekarang pak Firman telah tiada, meninggalkan ibu dan dua adiknya. Anak kedua ingin mereka bertiga hidup lebih dari cukup. Inilah impian baru anak kedua yang bernama 'menafkahi'. Peran baru ini tak ia anggap sebagai beban, karena ia sudah membaca buku. Tak ada harapan dari anak kedua, tapi ia siap menjadi punggung keluarga.


Sukoharjo, 21 September 2023

Tak Ada Harapan dari Anak Kedua


Komentar