Ciuman pertamaku di bibir, terjadi ketika aku masih di sekolah menengah pertama. Ciuman yang penuh nafsu, tergesa-gesa, dan asal-asalan. Tak tau tempat, tak estetik, dan tak ada seninya sama sekali. Menggebu-gebu. Aku lupa, apakah aku merasakan kenikmatannya. Atau hanya perasaan lega karena menuruti nafsu.
*
Ketika di sekolah menengah atas, aku dan teman-temanku berakhir pekan di sebuah tempat di Sarangan, Magetan, Jawa Timur. Tempatnya bagus tapi terlalu umum, sehingga ramai sekali wisatawan lokal maupun manca berkunjung. Kami memutuskan menuju tempat wisata lain, yakni sebuah air terjun yang lokasinya berdekatan dengan Sarangan. Adalah Air Terjun "Tirtosari" namanya. Kami tidak diperkenankan menggunakan kendaraan ketika menuju ke lokasi. Karena jalur menuju air terjun adalah jalur setapak, dan berjalan kaki adalah satu-satunya cara.
Karena wajib berjalan kaki, tempat wisata ini cenderung sepi wisatawan. Begini lebih cocok denganku, yang tak menyukai keramaian. Di Sarangan, bukannya healing malah bisa jadi pening karena banyaknya manusia. Tapi tidak untuk air terjun ini. Di sini sejuk dan tenang. Hanya tersisa suara gemricik air yang mengalir. Juga suara air terjun yang deras. Aku jadi tak sabar melihat air terjunnya.
Ketika sampai di sebuah tempat makan, teman-temanku memilih istirahat terlebih dahulu, sambil menyantap sate kelinci khas Tawangmangu. Aku yang tak bernafsu memakan hewan imut itu, lebih memilih minum sebentar dan menuntaskan rasa penasaranku terhadap bentuk air terjun ini. Butuh dua menit atau sekitar lima puluh meter lagi untuk menuju air terjun. Aku naik sendirian dengan tak sabar. Melangkahkan kaki demi kaki dengan pandangan senantiasa ke arah air terjun, bukan anak tangga. Tak sabar ingin melihat seperti apa sumber berisik yang kudengar sejak dari bawah tadi.
Empat anak tangga lagi kuakan sampai menuju puncak air terjun. Ketika kaki kanan menginjak tangga kedua, kulihat sepasang kekasih bercumbu di samping air terjun. Tempat mereka becumbu teduh, karena pohon-pohon dan semak-semak mengitarinya. Kesannya romantis. Posisi mereka berdiri. Si perempuan menggenggam sisi samping baju si pria dengan pasrah. Sedangkan si pria meremas-remas pinggul si perempuan. Lalu tangan kanannya beralih meremas payudara si perempuan. Bibir mereka masih beradu lama. Aku mematung dengan posisi yang masih sama, yakni kaki kanan menepak anak tangga kedua, sedangkan kaki kiri masih tertinggal di anak tangga ketiga. Kupandangi momen itu tanpa mengedipkan mata.
Aku pernah mencium perempuan dengan nafsu dan menggebu-gebu. Melihat pasangan ini, apakah ciumanku waktu itu juga terlihat seperti ini. Geli kalau dilihat. Malah agak sedikit menjijikkan. Apakah aku menjijikkan bagi dedaunan yang menyaksikanku bercumbu dulu. Apakah cicak di gubuk waktu itu memicingkan matanya karena najis melihatku beradu bibir lama. Aku sendiri jijik melihat pasangan ini. Terlebih, si perempuan masih mengenakan hijabnya. Aku belum pernah berciuman dengan perempuan berhijab, jadi aku tak tau sensasinya. Namun, hanya dengan melihat mereka saja, aku kehilangan nafsu erotisku. Bercumbu dengan perempuan masih berhijab? Aku takkan pernah melakukannya. Bahkan hanya membayangkannya saja, aku tak bisa merasakan nafsu dan seninya. Mual rasanya.
Aku berbalik, kembali menuju ke tempat teman-temanku beristirahat. Cara berciuman pasangan tadi terekam jelas di kepala. Tak seperti di film-film, mereka tak estetik sama sekali. Apakah dulu kujuga begitu? Sialan. Aku ikut terlihat buruk. Entah ada yang pernah melihatku bercumbu atau tidak, sekalipun hanya seekor cicak, rasanya tetap buruk. Aku jadi jijik dengan masa laluku.
Sejak saat itu tak pernah kubercumbu dengan penuh nafsu. Ciuman menjadi terasa nikmat dan lebih erotis jika dilakukan dengan perlahan-lahan.
Juga tak pernah kubercumbu dengan perempuan yang masih mengenakan hijabnya. Aku hanya akan menciumnya jika dia melepaskan hijab. Selain dilihat tak cocok, juga karena hijab mengandung simbol keagamaan, dan itu dapat merusak suasana.
Tak akan pernah terjadi padaku bercumbu dengan perempuan yang masih mengenakan hijab. Tak menarik. Tak sesuai dengan etikaku. Tak masuk dalam imajinasi erotisku.
Sama halnya dengan manusia normal, aku juga memiliki nafsu. Tapi kulampiaskan nafsuku dengan seni bercumbu yang lebih bermoral. Tak kupaksakan keadaan untuk memenuhi nafsuku. Justru dengan menahannya, bayangan-bayangan erotis dapat meracau dengan indah. Membentuk imajinasi panjang, yang dapat dituangkan dalam lukisan-lukisan di dalam pikiran. Ketika waktunya tiba (bertemu kekasih), bercumbu menjadi lebih dari sekadar nafsu. Tapi juga perasaan rindu, kesal, sedih, bahagia, dan segalanya yang telah tertahan selama ini.
Bercumbu adalah pernyataan 'cinta' kepada seorang kekasih, dalam suasana tepat, tempat yang tepat, dan yang paling penting: perasaan yang tepat kepada orang yang tepat. Berciuman 'yang tepat' rasanya seolah-olah jiwa keluar dari tubuh, menyaksikan raga beradu bibir dengan bibir kekasih. Jiwa menyaksikannya puas, karena raga bercumbu dengan seni yang indah, bersama subjek yang indah.
- Lukisan oleh Brightgeneric (Instagram: @brightgeneric)