Beberapa hari terakhir nafsu datang lagi. Bukan. Malah beberapa minggu terakhir. Ia menguasaiku. Membuatku seperti seekor keledai yang selalu jatuh di tempat yang sama. Kupikir mudah melawannya. Tapi semakin lama semakin terasa berat. Bisikan-bisikannya semakin kuat. Dia berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dari apa yang pertama kali kutemui. Aku terlalu meremehkannya. Barangkali Tuhan mengujiku untuk menjadi lebih hebat lagi.
"Tapi Tuhan, bukankah aku terlalu muda untuk melalui ini. Hamba mohon ampun karena selalu mengeluh kepada Engkau Yang Maha Tahu Segalanya dan Maha Bijaksana. Hanya saja Tuhan, hamba selalu terjebak dalam masalah yang sama. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Mohon mudahkanlah jalan pikiran hamba. Mudahkanlah hamba di dunia. Mudahkanlah hamba menjadi seorang muslim yang berakhlak dan berbudi luhur. Jauhkan godaan nafsu pada hidup hamba. Butakan mata hamba pada hal-hal yang demikian. Karena hamba adalah hamba yang lemah. Yang masih mencari makna akan hidupnya. Yang masih belajar banyak. Mohon mudahkanlah, Ya Tuhan."
Aku melampiaskan nafsu dengan mendistraksi pikiranku ke hal lain, yakni ke dalam sebuah tulisan. Pikiranku adalah aku. Maka aku yang harus menguasainya. Takkan kubiarkan nafsu menggerogotiku. Menghilangkan kewibawaanku di depan sukma-sukmaku yang lain. Takkan kubiarkan dia memimpinku, menyuruhku melakukan hal menjijikan—masturbasi.
Di dunia ini perempuan begitu cantik dan seksi. Tak ada yang kurang dari ciptaan-Nya. Namun kecantikan itu bisa membawaku ke tempat kekal yang kelam. Tempat itu adalah penyesalan. Penyesalan itu adalah neraka. Aku tak ingin berada di sana. Aku tak ingin kekal di neraka.
Tetapi godaan neraka—dibantu dengan makhluknya, setan—pandai merayuku. Ia penuh tipu daya. "Perintah Tuhan 'kah?" Bukan. Tuhan dalam kitabnya, menunjukkan kecantikan yang lain. Kecantikan yang bisa dirasakan oleh siapa saja. Termasuk mereka yang tak sempurna dalam fisik. Dan mereka yang tak memiliki kemewahan di dunia—yakni mereka yang terlahir dari keluarga miskin. Kecantikan itu hanya dimengerti oleh jiwa-jiwa yang dirahmati-Nya.
Malam berganti pagi. Kuraih gelas yang berisi penuh air putih. Suara tegukan dari dalam kerongkongan terdengar jelas. Batukku sedikit terobati. Kuletakkan gelas di depan cermin. Dalam keadaan remang-remang kulihat cermin itu. Kupandangi sosokku. Apakah patut sosok ini dikuasai nafsu. Kulihat dengan cermat. Bertanya lagi, apakah patut dikuasai nafsu.
Nafsu, nafsu, nafsu. Apakah ia bisa dipuaskan. Akankah dia akan berhenti mengganggu jika kubiarkan dia keluar, melampiaskan apa yang selama ini kucoba tahan. Terkadang terpikirkan ingin menjadi seperti hewan. Mereka diperbolehkan mengekspresikan nafsunya. Tanpa perlu ijab. Tanpa perlu sosok penghulu. Dan tanpa perlu para saksi.
Kutatap mataku lekat-lekat. Sosok telanjang terlihat dari bola mataku—menjijikkan. Wajahnya sepertiku. Atau itu memang aku—menjijikkan. Kubiarkan dia berbuat semauanya, termasuk bermasturbasi—menjijikkan. Apakah ini yang Tuhan lihat pada hambanya, hamba yang sedang masturbasi—menjijikkan. Apakah ini yang Rasul lihat pada umatnya, umat yang sedang masturbasi—menjijikkan. Apakah ini yang almarhum Papa lihat pada anaknya, anak yang sedang masturbasi—memalukan.
Kududuk di sebuah kursi. Kusandarkan kepala pada punggung kursi yang berbalut busa. Kupandangi langit-langit kamar. Kurasakan perasaan lega karena berhasil mengatasi nafsu. "Perjuangan ini sulit, Ya Tuhan. Sangat sulit. Apakah di masa sekarang banyak yang berhasil mengalahkannya (nafsu) secara permanen?" tanyaku kepada-Nya. Dan Dia tak memberikan jawaban. Atau memang tak ada jawaban.