Hindia bilang, "Pindah berkala rumah ke rumah. Berharap bisa berujung indah. Walau akhirnya harus berpisah." Sedangkan versiku adalah, "Pindah dari pekarangan ke pekarangan lain. Berharap berujung rumah. Tapi berbuntut asing." Tahun ini banyak tempat yang kukunjungi. Ada beberapa sosok yang hampir kujadikan rumah. Sudah kusiapkan cicilannya. Tapi tak ada satupun yang dapat kutetapkan sebagai rumah karena beberapa alasan.
Ada rumah yang mana masyarakat di sekitarnya tak cocok untukku yang sedikit introvert. Ada rumah yang sangat indah, namun biaya kreditnya begitu mahal, tak cocok dengan kantongku sekarang. Ada juga yang sedang direnovasi karena pemilik lamanya telah menghancurkan beberapa sudut rumah. Sehingga membutuhkan waktu untuk menjadi rumah 'baru' yang layak dihuni.
Olin, Shendya, Ara, Aya, Afa, Ara (2), Ella, Tiara, Desy, Vava, Anggi, Indry, Luthfi, Ratih, Anisa, Afa (2), Arum, Indy, Difa, Saskya, Oca, dan beberapa orang lainnya—tapi tak sedekat seperti mereka-mereka yang telah kusebutkan di atas—adalah orang-orang yang pernah kusinggahi walau sebentar. Walau hanya duduk di pekarangan mereka. Walau hanya saling menyapa dari balik pagar mereka.
Tahun ini adalah tahun pertama aku mengenal aplikasi dating. Semua nama yang kusebutkan di atas kukenal dari aplikasi itu. Menariknya adalah, walaupun mereka memiliki karakter yang berbeda-beda—bentuk rumah yang tak sama, tata letak ruangnya berbeda, jenis perabotannya berlainan, dan luasnya beragam—ada satu sisi yang sama-sama mereka miliki, yang selalu ada pada pribadi para perempuan yang kukenal ini. Suatu aturan dasar tak tertulis dan wajib dituruti jika memasuki wilayah mereka, yakni berkabar secara quantity.
Berkabar dengan kuantitas adalah hal yang jarang kuimplementasikan ke dalam sebuah hubungan. Aku dan mantanku menyimpan kejadian-kejadian fundamental yang terjadi diantara pagi dan sore. Lantas malamnya kami ceritakan apa yang telah kami alami tadi. Begitulah kualitas hubungan yang kuatur untukku dan untuk mantanku. Nyaman untukku, juga mungkin nyaman untuk mantanku.
Setelah mengenal para perempuan ini baru kurasakan bahwa berkabar secara kuantitas adalah unsur esensial dari sebuah hubungan. Sekalipun masih dalam fase pendekatan dan belum berpacaran. Rupanya perempuan-perempuan ini menyukai kuantitas daripada kualitas. Mereka suka dihubungi setiap saat walau singkat. Daripada sekali, tapi quality. Maka, alasan utama mengapa aku belum bisa menjadikan salah satu dari mereka sebagai tempatku tinggal adalah keenggananku berkomitmen untuk berkabar secara kuantitas.
Bukan berarti aku menolak melakukannya. Ketika dengan Shendya dan Vava, kucoba berkabar secara quantity. Beberapa hari masih kubisa memaksakan diri. Selang beberapa minggu, intensitasku berkabar menurun. Karena aku harus melakukan dua hal: berkabar secara kuantitas, juga berkabar secara kualitas. Ternyata jika semakin lama kita dekat dengan perempuan yang sedang kita kejar, maka tuntutan mereka kepada kita akan semakin bertambah. Ekspetasi yang mereka berikan semakin tinggi. Misalnya tiap malam kuusahakan menemani Vava, mendengarkan ceritanya. Di sisi lain juga harus berpamitan dengannya setiap saat, setiap kali aku berpindah tempat, maupun setiap kali aku berganti aktivitas. Aku tak bisa memaksakan diriku untuk melakukan hal semacam itu setiap hari. Kecuali jika hanya melakukan salah satu diantara dua opsi itu.¹
¹Kupikir—dengan pernah memaksakan diriku untuk berubah menjadi seperti yang perempuan-perempuan ini inginkan—dengan aku sudah berupaya untuk berkomitmen, aku akan berhasil memiliki mereka. Rupanya mereka lebih kompleks. Dan upayaku berujung gagal.
Sulit memang, memulai lagi hubungan baru dengan sosok yang baru. Tapi kurasai keseruan pada proses itu. Membuatku menjadi lebih mengerti soal perempuan. Membantuku mengetahui bagaimana cara seharusnya bersikap jika kelak aku menjadi seorang suami untuk istriku dan ayah untuk anak-anak gadisku.
Dari sekian nama, adalah Shendya, Olin, Anggi, dan Oca yang ingin kutetapkan sebagai rumah. Aku dan mereka berempat memiliki hubungan yang cukup intens (menurutku).
*
Olin seusia denganku. Dia adalah orang pertama yang kukenal sejak aku bermain dating apps di pekan pertama. Pribadinya menarik, open minded, good listener, dan easy going. Dari sekian perempuan yang kukenal dia adalah orang yang tak terlalu mempermasalahkan intensitas berkabar. Baginya, berkabar memang perlu. Tapi, dalam implementasinya tak perlu bertele-tele. Cukup singkat dan jelas. Konklusinya: Olin tetap butuh sebuah kabar. "Even if it's just a short text." katanya.
Bagiku dia mendekati sosok perempuan yang aku impikan. Kita memiliki pemikiran yang hampir sama, mungkin karena usia kami yang juga sama. Dia sosok yang mandiri, yang menurutku itu perlu dimiliki oleh perempuan jaman sekarang. Dan sisi yang sangat kusukai darinya adalah kreativitasnya dalam membuat lirik. Aku suka lagu-lagu yang dibuatnya. Catchy walau dibuat dalam bahasa Inggris. "Perseid" adalah karyanya yang paling aku sukai.
"Perseid itu salah satu nama hujan meteor dari rasi bintang Perseus. Perseid ini ngegambarin klimaks (perempuan). Kenapa hujan meteor? Karena hujan meteor itu takes time buat terjadi, tapi sekalinya jatuh langsung banyak (repetitif) dan bener-bener muasin mata karena saking bagusnya. So that means the climax might takes times, but she's not just coming once but repeatedly and it tasted great." jelasnya setelah kukatakan kepadanya bahwa dari lagu-lagu yang ia buat, aku paling suka dengan "Perseid".
"Lagu ini lebih tentang giving pleasure dan living fantasy-nya perempuan." jelas Olin lagi. Kurasa karena aku suka hal-hal yang intim, bergairah, dan dirty seperti lagu Pee Wee Gaskins, "Clandestine", sehingga "Perseid" menjadi karya yang paling kusukai.
Diurutan kedua ada "Daisy". Aku suka part, "Under the moonlight, when u hold me tight. Trust on me, then write our story." Pemilihan diksinya jenius dan catchy. Pada saat pertama kali mendengarkan lagu ini, kesan awalnya terasa seperti pengalaman sendiri yang diiramakan. Mungkin karena pada saat itu aku sedang berusaha mendekati Eno' (perempuan yang kusuka waktu SMA). Sedangkan Eno' memiliki trust issue terhadapku. "Trust on me, then write our story" adalah lirik yang mewakili harapanku. Walaupun pada akhirnya gagal mendekati Eno'.
"I Miss U(s)" berada di urutan ketiga. Dan "As Long As It's You" berada di urutan terakhir. Bukan berarti kedua karya Olin ini jelek. Keduanya bagus. Tapi pada waktu itu tak relate kudengarkan, karena aku sedang tak bersedih. Kedua lagu ini cocok bagi mereka yang masih berharap pada masa lalunya.
Aku dan Olin tak seperti dua lawan jenis yang sedang mencoba menjadi sepasang kekasih. Lebih seperti dua sosok sahabat yang lama tak berjumpa. Sekalinya berjumpa obrolan kami tak pernah habis. Selalu ada hal yang ingin kami ceritakan. Tentang apa saja yang pernah kami lalui, dan apa saja yang sedang kami alami.
Olin sudah seperti saudariku sendiri. Walaupun awalnya kumemiliki rasa kepadanya, dan mengagumi caranya berekspresi. Perlahan-lahan kusadari bahwa kenyamanan ini tak bisa dialihkan menjadi perasaan cinta. Antara aku dan dia tak memiliki ketertarikan yang sama. Angsur-berangsur, topik yang kami punya semakin habis. Dan hubungan kami berujung asing.
*
"Panggil aku Shendya aja." pintanya ketika kukunjungi kosnya untuk yang kali pertama. "Duduk dulu, ya." dia menuntunku ke ruang tunggu. Shendya masuk ke dalam kamar, mempersiapkan diri. Kudengar beberapa perempuan berbisik-bisik, penasaran dan curiga. Bagi mereka sosok Shendya seperti perempuan polos dan lugu. Seperti adik paling kecil yang sering mereka manja. Dan si bungsu itu sekarang membawa seorang laki-laki ke dalam rumah mereka. Rasa khawatir mereka kumaklumi. Malah tak kupedulikan. Penyebabnya adalah kecantikkan Shendya yang melampaui ekspetasiku. Dia keluar dari kamar dengan tampilan yang anggun. Kupandangi dia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Diantara seluruh bagian tubuhnya, bulu matanyalah yang paling mencuri perhatianku. Lentik tanpa extension.
Kugenggam tangannya, memandunya menuju pintu bioskop. Kami sampai terlalu cepat sebagaimana yang dijadwalkan. Maka kami duduk di samping pintu, menunggu sambil bercerita lebih intens tentang personal kami masing-masing.
Shendya adalah orang asing pertama yang pernah kutemui secara langsung. Ketika hendak menjemputnya kualami kegelisahan yang begitu hebat. Perutku mual, dan jantungku berdetak sangat cepat. Rasanya ingin membatalkan pertemuan ini. Tetapi, ketika kami duduk bersebelahan di samping pintu bioskop, aku sanggup melawan rasa takut itu. Jika tidak kulawan rasa takutku, takkan kulihat pemandangan secantik ini. Terutama bulu matanya, sangat kentara jika dilihat dari samping. Dia seperti sesosok bidadari, dan kami terlihat seperti sepasang kekasih.
Antara aku dan Shendya memiliki kesukaan yang sama. Kami suka membaca buku, menonton film, dan jogging di waktu senggang. Aku suka pribadinya yang sehat, yang lebih suka mengonsumsi air putih.
Beberapa kali kuhabiskan waktu senggangku bersama Shendya. Menghabiskan sisa malam di tengah kota Solo, berlibur di Jogja, dan berbincang ditelepon hingga pagi buta. Aku rasakan cinta menguasai diriku. Hingga lupa bagaimana caranya membaca buku dan lebih gemar membaca tingkah Shendya.
Seiring berjalannya waktu, kedekatanku dengan Shendya mulai diuji. Pekerjaanku semakin bertambah banyak karena kakak telah mengajukan pinjaman kredit atas namaku untuk bisnis yang sedang kami bangun. Sehingga waktuku untuk Shendya menjadi berkurang. Ketika aku memiliki waktu luang (yang waktu itu jarang kumiliki), aku meminta Shendya untuk menemaniku. Kami memilih sebuah coffee shop yang penuh dengan buku-buku sebagai tempat kencan kami. Shendya sangat antusias, karena tempat itu termasuk wish listnya. Hal menyebalkan dimulai ketika aku sedang memesan kopi, sedangkan Shendya sedang menerima telepon dari sahabatnya (perempuan). Dia meminta izin kepadaku bahwa sahabatnya ingin datang ke tempat yang sama dengan kami. Jawaban jujurku adalah enggan. Karena hari ini adalah satu-satunya waktu luang yang kupunya, dan aku ingin menghabiskannya hanya dengan Shendya seorang tanpa ada yang mengintervensi kemesraan kami. Selain itu aku bukan seorang ekstrovert yang mudah bergaul dengan siapa saja yang tak kukenal. Shendya tau hal itu, karena aku pernah menceritakannya. Namun, karena ini adalah permintaan dari bidadari secantik dia, maka kuiyakan kemauannya. Walau dengan perasaan kesal.
"Lagi sibuk, ya", "Masih sibuk", "Aku pengen cerita, tapi takut ganggu kamu." Beberapa kali Shendya menodongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama soal waktu untuknya. Sedangkan aku seketika berubah menjadi labil, menarik-ulur Shendya sesuka hati. Aku sadari bahwa ini adalah salahku, bukan Shendya. Normal bahwa setiap perempuan selalu menginginkan perhatian dari kekasihnya. Sedangkan Shendya hanya kuperhatikan di awal saja. Tapi mau bagaimana lagi. Aku juga memiliki prioritas yang harus kulakukan. Toh sekalinya aku memiliki waktu luang, sering habis bersama sahabat-sahabatnya. Kucoba memakluminya karena Shendya berkepribadian ekstrovert. Sedangkan aku berkebalikannya.
Lambat laun, aku dan Shendya tak berkomunikasi lagi sebagaimana biasanya. Kami berdua mulai menjarak dan menjadi asing. Setelah apa yang kujalani dengan dirinya, kurasakan dunia 'lain' yang candu. Setiap hari dunia itu selalu berisi kebahagiaan. Dan bahagia bersamanya adalah candu yang paling hebat yang sulit diobati. Sayang, tak bisa kupertahankan bahagia itu untuk selamanya. Sifat ekstrovert Shendya tak bisa kuimbangi. Dia adalah rumah yang masyarakat disekitarnya terlalu perhatian, terlalu akrab, dan terlalu berisik. Sedangkan aku menginginkan rumah yang nyaman untukku membaca buku, menonton film, dan beristirahat.
Setelah bersama Shendya, kuberi jeda kepada perasaanku untuk beristirahat. Karena (sekali lagi) Shendya adalah candu yang paling hebat yang sulit diobati.
*
Setelah beberapa kali dekat dengan perempuan lain dan belajar dari sikap-sikap mereka, aku bersepakat dengan diriku sendiri untuk tidak gegabah memilih rumah dan memasuki pekarangannya. Aku berusaha menahan diri untuk tak bersegera menjadikan salah satu dari mereka sebagai rumah. Berkomunikasi secukupnya, tidak intens dan tidak padat. Agar mereka tau bahwa memang begini kepribadianku yang tak menyukai berkabar secara kuantitas. Sehingga takkan ada lagi yang berekspetasi tinggi terhadapku.
Adalah Anggi dan Oca, dua perempuan terakhir yang sedang kujajaki rumput halaman rumah mereka. Kedua orang ini hampir sama, mereka terbuka terhadap orang lain yang memasuki pekarangannya. Mereka berdua ramah dan seru. Ketika kumintai pendapat agen properti (temanku) mengenai kedua rumah ini, ia bilang kredit untuk kedua rumah itu tinggi. "Rumah seelegan itu harus dirawat dengan baik dan rutin. Tak murah." katanya. "Aku tau kau bisa mendiaminya, tapi tidak dengan keadaanmu sekarang." jawabnya setelah kutanya apakah sosok sepertiku pantas mendiami rumah itu.
Antara aku dan Anggi; dan aku dan Oca, masih menjalin komunikasi dengan baik hingga sekarang. Tidak intens memang, tapi begini lebih nyaman untukku. Juga mungkin untuk mereka berdua. Aku perlu waktu untuk memantaskan diri untuk mendiami salah satu dari kedua rumah itu. Soal 'kepantasan' membuatku menjadi lebih bersemangat lagi dalam bekerja.
*
Ada lagi satu rumah yang sedari awal sudah terlihat kelam. Difa tak pernah absen membalas pesanku tapi selalu menjawabnya dengan singkat. 'Dry text' kalau kata milenial.
Kubuka pagar rumahnya. Pagar itu berwarna oren semi berkarat. Walaupun kubuka pelan, engsel pagar itu masih mengeluarkan bunyi, "Kreeeeeeekkk." Pekarangannya dipenuhi daun kering berguguran. Tak terawat sama sekali.
Kududuk di teras menanti Difa yang sedang mengambil air putih untukku. Kukatakan kepadanya bahwa aku seorang penulis ulung. Aku datang untuk mewawancarainya. Difa mengangguk, mau. Jika dia keberatan, dia boleh tak menjawab pertanyaanku. Dia mengangguk lagi, paham. Kucoba mewawancarainya dengan serileks mungkin dan senyaman mungkin. Hingga akhirnya dia berbicara banyak.
Kusimpulkan bahwa Difa adalah rumah yang pernah dihancurkan oleh pemilik lamanya. Bekas reruntuhannya masih ada. Tempatnya masih sama. Difa belum sempat membersihkannya. Karena dia belum ingin membiarkan orang lain mengisi rumahnya. Sehingga dia tak perlu bersegera (dengan lelah) memunguti reruntuhan itu. Dia mengalami trust issue. Perlu waktu untuk memulihkannya. Perlu waktu untuk merenovasi bangunannya.
Kupandangi rumah itu dari luar dengan seksama. Menarik memang. Nyaman memang. Tapi pemiliknya belum ingin orang lain menghuninya. Tak kupaksakan Difa demi keegoisanku. Kubiarkan dirinya datang kepadaku ketika dia mau. Aku terbuka untuknya selama aku masih single.
*
Tahun ini tak ada rumah untukku. Hanya bergelandangan kesana-kemari, berusaha mencari tempat yang 'tepat', yang sesuai dengan kehendakku. Mustahil mungkin, tapi kemustahilan itu tak ada salahnya dijalani. Aku tak ingin mengambil resiko lebih, dan aku ingin berhati-hati dalam menentukan pilihan. Apalagi ini mengenai rumah untukku pulang, untukku tinggal.
Jika dipikir-pikir lagi, kegagalan-kegagalanku memiliki rumah di tahun ini disebabkan oleh diriku sendiri. Pertama-tama karena ketidaksiapanku berkomitmen. Kedua karena ketidakmauanku berkompromi. Ketiga karena ketidakberanianku beresiko. Dan keempat karena rumah yang kuinginkan terlalu jauh dari kapasitasku. Baik kapasitas finansial, waktu, dan fisik.
Setelah berkontemplasi, kulihat pribadiku di tahun ini begitu menyedihkan. Aku dipenuhi kepalsuan. Di dalam kamarku ada begitu banyak topeng. Mereka berserakan dimana-mana; di bawah ranjang, di atas lemari, dan di balik pintu. Kuambil topeng itu satu-persatu, dan membuangnya ke dalam kantung plastik hitam. Topeng-topeng itu ada untuk mengesani pemilik-pemilik rumah. Aku jijik jika mengingatnya kembali. Kuharap di tahun yang akan datang tak ada topeng untuk kukenakan lagi. Juga kuberharap dapat memiliki rumah, apapun bentuk dan isinya, yang sesuai dengan kapasitasku.
Sukoharjo, 31 Desember 2023
Tulisan yang sangat menarik buat dibacaaaa, ceritaanya relate dan bisa membawa pembaca ke suasana aslinyaaaa🤩🤩🤩
Terima kasih pak sudah rela mampir 🤩