Angin berhembus kencang, daun-daun berguguran pelan. Di Minggu pagi ini kupergunakan waktuku untuk singgah di tempat yang nyaman. Selain untuk menyegarkan badan dari pekerjaan, tempat ini juga kupergunakan untuk mencurahkan perasaan. Sebuah tempat yang benar-benar sempurna. Sepi, asri, dan nyaman di hati. Tetapi dari semua alasan itu, alasan terbesar ku kesini karena ku rindu Ibu. "Anakmu rindu padamu, Ibu. Apakah kau baik-baik saja? Sehat-sehat saja?"
“Ujang. Ini bungannya.”
“Terima kasih, sayang. Maaf Ibu, aku mengambil sebuah keputusan tanpa berdiskusi denganmu. Aku dan Nindy, kami akan menikah minggu depan. Maaf baru memberitahukannya sekarang. Aku harap ibu senang.”
***
When you were young enoughDoing all that fun kid stuffDid you think of what you’d be?Marco Polo in the poolKickball games behind the schoolPlaying tag and hide ‘n seekWhen you grow up, what kind of boy will you be?Oh, what will you be?Drawing pictures with some chalkRaindrops wash it from the walkSummer days it never endsSpin the bottle on the groundWatch it turning round and roundMaybe he will be my friendWhen you grow up, what kind of boy will you be?Oh, what will you be?Will you write a book or invent a machine?Will you be an astronaut or will you sail the sea?When you grow up, what kind of person will you be?Oh the things you’ll be happy*jrengjrenggggg
Semua tamu bertepuk keras, terharu dan kagum. Gadis di sampingnya tak kuasa menahan air mata. Membayangkan nyanyian itu dinyanyikan oleh Ibunda Ujang saat Ujang masih kecil. Ia terus-menerus melekatkan tisu pada pipinya. Sebegitu dalamnya cinta Ujang kepada Ibunya membuat air matanya tak sanggup berhenti. Sedangkan Ujang, wajahnya justru terlihat rileks. Ia menikmati nyanyiannya. Memainkannya dengan perasaan yang begitu dalam. Semua tamu merasakan itu. Mereka juga seperti Nindy, membayangkan Ibunda Ujang menyanyikan lagu itu sebelum Ujang tertidur dalam nyenyaknya malam. Membayangkan masa kecil Ujang.
“Jujur saja, saat aku masih kecil, lagu ini tidak begitu aku mengerti. Saat Ibu bernyanyi, saat itu juga aku berhenti bergerak. Mataku terpejam, pikiranku melayang-layang pelan. Bukan membayangkan menjadi apa aku di masa depan. Melainkan terlelap dalam suasana malam.”
“Baru sekarang aku benar-benar paham. Lagu ini bermakna besar. Menjadi apa aku di masa depan. Bukan mengenai profesi, tapi apakah aku bahagia hidup di dunia ini, apakah aku bahagia dilahirkan, Ibu memastikannya dengan lagu ini. Aku masih kecil, dan belum mengerti. Seandainya dulu aku sudah memahami, Ibu sudah kupeluk erat pasti.”
Ujang tersenyum, dan masih memain-mainkan gitarnya. Melodinya yang lembut dan melow membuat hati siapapun yang mendengarnya merasakan rasa yang begitu dalam. Apalagi ditambah dengan curhatan Ujang tentang masa kecilnya.
“Sewaktu aku kecil, harus kuakui aku adalah anak yang bandel. Setelah pulang sekolah, kalau enggak ke warnet, ya ke rental playstation. Menghabiskan waktu di sana, bermain-main dengan teman-teman. Lupa waktu, dan lupa membantu Ibu. Sore masih kelayapan. Kalau enggak main bola ya nonton orang dewasa main bola. Kalau tidak keduanya, ya hanya bermain gitar di pos ronda.
Pulang di saat matahari sudah tenggelam. Bukannya marah, Ibu justru mempersilahkan aku makan. Aneh bukan? Sama, aku juga berpikiran seperti itu. Tidak seperti Ibu-Ibu tetangga. Anak pulang langsung ditendang. Baru ada di depan pintu sudah dipukul sapu. Belum juga mengucapkan salam, sudah lebam-lebam tuh badan. Banyak temen-temen yang iri, mengharapkan seorang Ibu seperti Ibuku. Bagi mereka, beliau seperti Ibu peri.
Ada alasan mengapa Ibu seperti itu. Aku adalah anak yang besar tanpa seorang bapak. Ibu tau aku kesepian. Ketika bapak sudah tidak ada kabar lagi, aku menyendiri. Karena bagaimanapun, di dalam keramaian aku merasa sepi. Tidak ada kegiatan yang spesial untuk mengisi hari-hari lagi. Melihat tetangga bahagia dengan kedua orangtuanya, aku merasa iri. Menjadi rindu dengan masa lalu. Maka dari itu Ibu tidak berusaha keras kepadaku. Tidak mengekangku. Mulailah lagu ini bersenandung di kepalaku.
Suara Ibu begitu merdu. Jika Ibu bersenandung sekarang, mungkin aku begitu malu. Bagaimana tidak? Dia memikirkan kebahagiaanku, dan aku tidak peka. Bermain kesana-kemari, berusaha mencari jati diri. Berusaha melupakan bapak hari ini, lagi dan lagi. Begitu terus yang terjadi. Tanpa menyadari, bahwa Ibu juga kehilangan seorang suami. Tanpa menyadari bahwa orang yang sebenarnya paling tersakiti adalah Ibu sendiri. Beliau merelakan hatinya untukku. Menguatkanku tanpa disadari bahwa dirinyalah yang paling goyah. Beliau tahan air matanya. Menyekat air mataku di pipi. Menyanyikan lagu ini. Menjagaku malam ini. Membesarkanku hingga sekarang ini.
Pernahkah kalian mendengar sebuah kata, ‘Ibuku adalah seorang pembohong besar.’ Jika sudah, pasti kalian sudah memahami bahwa bohong tak selalu bermakna negatif. Ibu bilang tidak lapar, mempersilahkan kita makan. Ibu bilang tidak suka, menyuruh kita mengambilnya saja. Ambilah, makanlah. Sekarang aku tak iri melihat tetangga bahagia bersama kedua orangtua mereka. Aku iri, kenapa Ibu bisa melakukan hal seperti itu. Seolah-olah beliau memang seorang peri.”
When you were young enoughDoing all that fun kid stuffDid you think of what you’d be?
“Aku tidak tau masa depanku akan menjadi seperti apa. Ketika usiaku bertambah, ketika aku pulang dari rutinitas, ada sebuah gitar di depan pintu. Ada surat di dalamnya. Sekilas kubaca, ku langsung tertawa. Tentu saja aku bahagia. Mendapat kado istimewa dari Ibu peri adalah momen berharga. Kali ini apa yang beliau relakan? Apakah uang makan selama sebulan? Bukan hanya itu, isi pesan dari surat itu sungguh membuatku malu. Tebak apa yang beliau bilang ‘Semoga dari gitar ini membuatmu sedikit betah di sini, menemani Ibumu. Juga jangan malu bawa gadis itu.’
Gadis itu adalah Nindy, yang sekarang ada di sisiku ini. Ibu diam-diam memperhatikan kami. Dan mulai dari saat itu, entah kenapa, aku, Ibu, dan Nindy, kami semua bisa terbuka, tertawa bersama di beranda. Pada saat itu juga, kumerasa masa depan mulai datang. Tak menyangka dari gitar yang beliau kasih, gitar yang aku mainkan sekarang, bisa memberikan beberapa pendapatan. Menghasilkan cukup banyak uang. Gitar yang dibeli dari uang makan bisa balik modal dalam sebulan. Entah ini termasuk kebetulan atau bukan, yang jelas ini karunia dari Tuhan.
Tere Liye dalam salah satu bukunya pernah berkata ‘Cinta itu ibarat sebuah musik. Bedanya, cinta sejati akan terus menari meski sudah lama terhenti.’ Sebelum aku bertemu dengan Nindy, aku tidak begitu mengerti tentang arti sebuah cinta. Bagiku cinta itu menyebalkan. Inginnya tetap bersama, kekal selama-lamanya. Tetapi ketika sudah pergi, pupus sudah semua harapan. Rasanya ingin mati, karena sudah terbalut dalam sepi. Kumenyendiri, menikmati kesakitan yang kesekian kali. Tanpa menyadari arti dari sebuah tragedi. Kualami itu ketika bapak sudah dianggap mati.
Menangis, berteriak, membanting ini dan itu, membodoh-bodohi, mencaci maki sana-sini. Benar-benar sulit sekali untuk menghadapi sebuah tragedi. Kegelapan sudah menyelimuti, sulit rasanya untuk kembali. Kenangan merasuk di dalam pikiran, berusaha menenangkan. Sebaliknya, malah menghancurkan. Rasanya menyakitkan. Lalu ibu datang dengan cinta dan kasih sayang. Memberikan cahaya. Tanpa mempedulikan gelap di hatinya. Apakah beliau benar-benar seorang peri? Siapa tau.
When you grow up, what kind of person will you be?Oh the things you’ll be happy
Ketika aku kehilangan seorang Ibu, aku sudah belajar dari masa lalu. Aku rasa ini bukan akhir. Tidak perlu lagi emosi, berteriak, mencaci maki sana-sini, membodoh-bodohi apalagi, cukup memainkan lagu ini aku bisa mengerti arti dari sebuah tragedi. Mungkin musik ibu, suara ibu sudah berhenti. Tapi cinta sejati akan terus menari, bukan? Pernikahan ini, aku dan Nindy, kami akan terus meneruskan cinta sejati itu. Cinta yang ibu berikan kepadaku, yang mungkin dari nenekku kepada ibukku, atau mungkin lebih keatas lagi, akan kuberikan kepada anak-anakku, dan diwariskan kepada cucu-cicitku. Inilah makna cinta sejati yang akan terus menari walaupun musik sudah berhenti. Terima kasih.”
Cinta itu mengikhlaskan. Soal bahagia atau bukan, semua bergantung setiap orang. Dialah yang merasakan cinta, dialah yang berhak menentukan. Tak selamanya duka itu menyebalkan. Duka bisa memberi sebuah pelajaran. Dari mengikhlaskan kita tahu, bahwa cinta begitu membingungkan. Lagi-lagi semua itu bergantung pada setiap orang.
Cinta adalah rasa, rasa yang tidak tampak. Melekat dan dekat, tetapi tidak terlihat. Cinta itu mengikhlaskan: melepaskan secara fisik, menyimpannya di dalam batin. Memilikinya selama-lamanya, menyimpannya di dalam hati. Itu sudah lebih dari cukup. Tidak perlu dilebih-lebihkan, cinta sempurna hanya milik Tuhan. Sisanya jangan.