Ada sebuah pertanyaan di Twitter, tepatnya di @Askrlfess pada 15 Maret 2023, yang bertanya mengenai tanggapan: "anak adalah investasi masa depan." Karena belum dapet feel jadi orang tua, dan belum nemuin orang yang punya pandangan jadiin anak sebagai investasi masa depan, secara pribadi tanggapan ini masih terlalu abstrak untukku. Tapi, ada sedikit pendapat dariku tentang masalah ini. Menjadikan anak "investasi" untuk masa depan orang tua, rasanya bukanlah sebuah keputusan yang tepat. Mari kita bahas:
Dalam pembahasannya tentang cinta dan egoisme, Kierkegaard menganalogikannya dengan cinta dari orang tua kepada anaknya. Kierkegaard bilang, karena orang-orang melihat pengorbanan orang tua kepada anaknya adalah suatu cinta kasih sayang, maka mereka menilai itu adalah cinta (yang murni). Padahal bisa jadi 'anak' sebagai bentuk 'properti' orang tua.
Kata 'investasi' selalu berkaitan dengan upaya untuk menghasilkan sesuatu yang "menguntungkan" di masa yang akan datang. Inilah sifat egoisme. Bukan cinta. Maka Kierkegaard benar, itu bukan cinta, tapi egoisme. Anak menjadi "properti" milik orang tua, tanpa mereka (para orang tua) sadari. Properti ini untuk menguntungkan mereka di masa mereka sudah tak lagi produktif.
Di sisi lain, pengorbanan selalu dikaitkan dengan balas budi. Sebagai anak yang berbakti, harus membalas kebaikan orang tua, membalas pengorbanan orang tua. Inilah yang kemudian melahirkan generasi sandwich.
Solusi yang mungkin tepat untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan bertindak bijak dalam berekonomi. Pandai-pandai memanage keuangan pribadi. Menjadi akuntan pribadi untuk sebuah perusahaan yang bernama "diri sendiri". Karena uang adalah alat tukar nomor satu di masa sekarang.
Seperti kata Cak Nun, yang menyuruh para orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya bermuhasabah, terutama tentang memanage waktu dan bijak berekonomi. Untuk dapat bermuhasabah diri, manusia perlu mencatat detail hidupnya agar mudah menentukan keputusan.
Dalam tulisan ini, juga akan dibahas adalah tentang "dana pensiun".
Daripada melimpahkan anak sebagai investasi, kenapa tidak kita mempersiapkan dana pensiun sebagai passive income. Keputusan ini dapat meleburkan budaya 'generasi sandwich'. Dan membuat hidup lebih nyaman untuk dijalani.
Ada sebuah aturan untuk menghitung dana pensiun, yakni rule: "4%".
Rumusnya adalah:
=[a*i^(up-us)]/4%
- a: pengeluaran pertahun sekarang
- i: inflasi
- up: usia pensiun
- us: usia sekarang
Sebagai contoh, akan kugunakan penghitungan dana pensiun yang seharusnya aku miliki dimulai usia sekarang.
Pertama, tentukan perkiraan (i) inflasi. Aku membandingkan pengeluaranku dimulai tahun 2020 sampai 2022.
Pengeluaran pertahun:
- 2020: Rp. 17.149.500
- 2021: Rp. 12.375.500
- 2022: Rp. 20.315.500
- 2020 terjadi deflasi karena masih kos di Jogja dan dibantu orang tua.
- 2021 aku sudah balik di Sukoharjo.
- 2022 terjadi banyak masalah. Ada biaya kos, karena ngekos selama 6 bulan dengan biaya 500 ribu perbulan.
- Maka 20-3 juta= 17 juta.
- Servis laptop, 1.275 (harusnya masuk di dana darurat bukan pengeluaran). 17.315-1.275=16.040
- Ditabrak orang, biaya bengkel 1.364. Pelaku tanggung jawab 1.100. Keluar 264 (harusnya masuk dana darurat). 16.040-264= 15.776
Pengeluaran asli 2022: Rp. 15.776.500.
Karena 2020 deflasi dan masih ada campuran duit ngga jelas, penghitungan inflasi hanya menggunakan data 2021-2022.
= a2022-a2021
= 15.776.500-12.375.500
= 3.401.000
i= a2022/3.401.000
i= 15.776.500/3.401.000
i= 4,638782
i= 4,638782/100
i= 5%
Maka ketemu nilai inflasi dengan perkiraan 5%
Diandaikan kita pensiun di usia 50. maka 50-usia sekarang (24)= 26.
Dana pensiun yang dibutuhkan:
= [(15.776.500*(1+5%)^²⁶]/4%
= Rp. 1.402.201.754
Yang dibulatkan menjadi Rp. 1,403 miliar.
Dana pensiun yang harus aku miliki kalau ingin hidup tenang di masa tua tanpa menjadikan anak sebagai investasi adalah Rp. 1,403 miliar.
Akan beda lagi kalau udah married dan punya anak.
Dan dana pensiun adalah prioritas terakhir setelah kebutuhan-kebetuhan lain terpenuhi.
Upaya di atas tidak menyuruh secara ekstrim untuk acuh terhadap orang tua. Namun berusaha menyadarkan kita sebagai generasi selanjutnya, sebagai orang tua di kemudian hari, untuk tidak membebankan sisa hidup kita kepada anak. Sehingga anak kita dapat fokus mengembangkan keluarganya.
Tulisan diatas sebenarnya juga dipengaruhi Albert Camus yang ada pada bukunya Krisis Kebebasan.
Jika pada masanya, Camus melawan kebijakan otoriter untuk memperoleh kebebasan, tulisan ini menganalogikan kebijakan otoriter tersebut pada budaya menjadikan anak sebagai investasi masa depan.
"Kita kelak sebagai orang tua harus memiliki suatu kesadaran agar mampu menghormati diri sendiri, yang berarti juga menghormati orang lain (dalam hal ini adalah anak). Kita tak boleh menghalanginya untuk memikul tanggung jawabnya sendiri, dengan seluruh beban kesalahan kita." Kata Camus dalam bukunya "Krisis Kebebasan", halaman. 44.
"Demikian tujuan seni dan tujuan suatu kehidupan, digunakan hanya untuk meningkatkan kebebasan dalam diri setiap manusia. Dalam kondisi apa pun tujuan tersebut tidak dapat dipakai untuk mengurangi atau menindas kebebasan, meskipun hanya untuk sementara." Kata Camus lagi dalam buku yang sama, halaman. 44.
Camus bilang, kebebasan bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Pula dengan kenikmatan hidup usia senja, bukan sebuah hadiah yang dipasrahkan kepada anak. Melainkan sesuatu yang harus diciptakan, direncanakan, diperhitungkan, selagi masih muda.
*gambar karya: Hessah (Instagram: @hessah._.art)