Gelap. Tak ada cahaya masuk di ruangan ini. Kepalaku masih pusing. Entah karena basah air di kepala semalam, yang tak kunjung kering. Atau karena minuman keras yang terpaksa kutenggak. Aku tak tahu yang mana penyebabnya. Bibirku pecah. Rasanya perih sekali. Tenggorokanku kering, sakit untuk menelan ludah. Telingaku tak mampu mendengar apapun kecuali dengungan yang mengacau, dan itu semakin membuatku pusing. Aku mencoba membuka mata, tapi tak sanggup memaksanya. Rasanya seperti mau mati. Atau memang aku telah mati.
Suara. Aku mendengar suara. Suara langkah sepatu. Juga suara orang sedang mengobrol. Mulanya pelan. Lama-lama, suara itu mulai terdengar jelas. Seperti seseorang sedang berbisik di telingaku. Kemudian volumenya bertambah keras secara perlahan-lahan.
Huh, kini aku mendengar seseorang memanggil. Dia menyebut namaku berulang-ulang. Suara itu tak asing. Suara yang tak pernah hilang dari ingatanku. Dia memanggilku.
“Lif…,” pelan sekali suaranya, seperti berbisik. Bahkan seperti sedang sakit tenggorokkan. Serak dan samar didengar.
“Alif,” suaranya masih pelan, lembut, kini tanpa serak. Agak sedikit jelas di telingaku.
“Bangun, Lif,” suara ini tidak begitu pelan. Tapi mulai terdengar jelas. Suara dari seseorang yang kurindukan.
“Bangun Alif Wicaksono! Aku udah selesai baca bukunya. Bagus bangettt. Sediiiihhh. Kasian. Huuuumm. Tanggung jawab, Lif. Kamu bikin perasaanku jadi kacau nih. Sedih banget.”
Apa-apaan. Bisa-bisanya suara itu ada di sini. Tidak mungkin. Aku pasti sedang bermimpi. Lelah membuatku berhalusinasi.
“Aliiiiffff, aku sedihhhh...,” Sial, aku tak bisa melihatnya. Hanya mampu mendengarkan suara saja. Jadi benar, ini hanya mimpi. Apakah aku bermimpi kembali ke masa SMA, kembali bersamanya. Arghhh, kalau tak kupaksakan membelalakan mata, matilah aku dalam keadaan penasaran.
“Lif, kamu nangis?” aku tergagap. Tak sanggup berucap apa-apa. Mataku tak lagi samar memang, tapi tak kupercaya bahwa di hadapanku ada sosok dirinya. Wajahnya sangat dekat. Dia Acha, dia asli. Aroma tubuhnya sama seperti biasanya, wangi dan manis. Ini bukan mimpi, ini asli. "Kamu sakit?" Acha sentuh keningku, memastikan apakah aku sedang demam.
*
Kami sedang duduk bersandar di bangku kelas. Di bangku paling ujung, di sisi kanan dan paling belakang. Aku duduk di kiri, Acha di kanan. Di atas meja ada buku kecil berwarna putih. Sampulnya bergambar seorang remaja yang sedang memandang ke bawah, ke arah bayangannya sendiri. Bayangan itu berbentuk kerangka. Tanpa daging. Di dada kiri remaja itu tergambar bintang daud, sebuah heksagram. Sebuah simbol umat Yahudi. Ialah "Malam" judul buku itu. Karya seorang Yahudi bernama Elie Wiesel.
*
Acha bukan seseorang yang suka membaca buku. Suatu ketika dia ingin membaca. Mungkin karena penasaran setelah beberapa kali dia mendapatiku serius membaca buku. Tetapi Acha ingin membaca buku yang menggambarkan diriku. Menarik. Tapi aku tak tahu selera bacaan Acha. Dia hanya suka belajar, belajar, dan belajar. Kurang tepat rasanya jika kuberikan buku bergenre komedi. Acha terlalu serius untuk kisah komedi. Baginya itu tak masuk akal. Justru yang komedi adalah ketika Acha berusaha menjelaskan suatu lawakan menjadi masuk akal dengan teori-teori ilmiahnya.
Ingin kuberikan buku novel kepada Acha. Tapi tak ada kisah novel yang cukup mampu menggambarkanku. Jika kuberikan buku filsafat yang menggambarkan isi kepalaku, Acha tak akan membacanya. Dia tak menyukai bacaan sejenis itu. Itulah alasan kenapa dia lebih memilih berada di kelas IPA daripada IPS.
Demi Acha, aku rela mengacak-acak lemari bukuku, memilah-milah buku yang tepat untuknya. Tak perlu seserius ini memang, tapi ini adalah pertama kalinya Acha ingin membaca buku selain buku pelajaran. Kesan pertamanya harus istimewa.
Seluruh lemari buku sudah kuacak-acak, tapi tak kutemukan juga buku yang menarik. "Buku yang menggambarkan diriku?" permintaan Acha cukup unik, membuatku juga bertanya-tanya: "Memangnya buku apa yang menggambaran diriku?" aku pun tak tau buku apa itu. Daripada di buku, karakter di komik lebih mampu menggambarkan sosokku. Misalnya karakter Kuroko Tetsuya dalam komik "Kuroko's Basketball". Sosok Kuroko mirip denganku. Kami berdua bisa tak terlihat oleh siapapun. "Apa kuberikan komik aja, ya?" tanyaku pada diri sendiri.
Kulihat rak komik yang belum kuacak-acak. Kuperhatikan satu-persatu dengan seksama. Naruto?—skip, Vagabond? hmm—skip, Attack on Titan?—skip, puluhan judul kulewati hingga kutemukan buku kecil, seukuran komik—tapi bukan komik, berwarna putih, berjudul "Malam", karya Elie Wiesel. Buku itu sengaja kuletakkan di rak komik, karena ukurannya yang sama dengan komik. Belum kuambil buku itu pada raknya. Masih kupandangi seraya mengingat kembali isi-isinya. Setelah dipikir-pikir, buku ini cukup tepat menggambarkan sosok diriku yang sebenarnya kepada Acha. Kutarik buku itu dari tempatnya. Kumasukkan ke dalam ransel.
Buku ini bercerita tentang Elie Wiesel waktu remaja—belum genap limabelas tahun. Dia seorang Yahudi yang ditangkap oleh pasukan Nazi di rumahnya sendiri, Sighet, Transylvania—sekarang Rumania. Dia dan keluarganya dibawa ke Aushwitz, sebuah kamp buatan Nazi untuk menahan Yahudi dan lawan politik mereka. Ibu dan saudara perempuannya berada di tahanan khusus perempuan. Elie Wiesel dan ayahnya dibawa ke tempat tahanan khusus laki-laki. Tahanan khusus laki-laki akan dimanfaatkan tenaganya sebagai seorang petani, kuli, atau pekerjaan apapun yang berat—selaras dengan gendernya. Jika mereka tak mampu menghendaki itu, mereka akan dibakar hidup-hidup di dalam krematorium. Elie Wiesel melihat secara langsung anak-anak kecil dan bayi-bayi tak berdaya dibawa ke tempat itu, dan di bakar hidup-hidup di dalamnya.
Darah Yahudi membuat Elie Wiesel tersiksa di dalam kamp. Darah yang selamanya ada padanya, melekat, tak bisa dipisahkan. Dia menggugat Tuhan, karena doa-doanya tak pernah didengar. Dia menggugat Tuhan, karena kekejaman-Nya tak segera padam.
*
Sepulang sekolah, kami duduk di bangku kelas, bangku paling ujung, di sisi kanan dan paling belakang. Aku duduk di kiri, Acha duduk di kanan. Kukeluarkan buku bacaan untuk Acha.
"Nih." kuangkat buku itu dan menabrakkannya ke kening Acha.
"Nyebelin banget, ih, Alif!" Dia balas dengan cubitan di pahaku.
"Demi kamu aku begadang nyari buku yang menarik, Cha." pujiku kepada diri sendiri. "Kamu baca sampai selesai, aku mau tidur dulu."
"Kalau gitu balik aja. Kamu tidur di rumah. Aku baca di rumah."
"Ga bisa. Ini koleksi favoritku. Buku spesial. Ga boleh jauh dari jangkauanku."
"Sekalipun aku yang pinjam?"
"Ya, sekalipun itu kamu."
Acha tak melawan. Dia tau aku maniak buku. Dia rogoh tasnya, mengambil sesuatu di dalam. Ia keluarkan sebuah jaket, dan ia letakkan di atas mejaku.
"Pakai ini buat bantal."
Dengan senang hati kutaruh kepalaku di atas jaket Acha yang berwarna merah muda. Telinga kiriku berada di bawah, menyisakan telinga kanan saja yang mampu menangkap suara suasana di dalam kelas. Sebelum kupejamkan mata, kupandangi wajah Acha yang hanya nampak bagian kiri saja. Cantik sekali. Bulu matanya lentik. Bersamaan dengan kekagumanku terhadap Acha, pandanganku perlahan-lahan mengabur hingga aku tertidur.
Aku bermimpi seolah-olah aku berada di masa depan. Aku tumbuh menjadi laki-laki berusia duapuluhan. Kehidupanku berjalan membosankan. Tak kutemui Acha di dalam mimpi itu. Seolah-olah memang dia tak ada di dalam hidupku lagi. Sedih sekali, karena tak ada Acha di sana. Hari demi hari kulakukan kebiasaan membosankan. Membaca koran, melakukan penelitian kecil-kecilan, dan menulis untuk dikirimkan kepada kepala redaksi koran. Beberapa hari kemudian aku diculik. Disekap di dalam ruangan gelap. Dipukul, dihantam, dan disiksa. Sakitnya terasa nyata. Seakan-akan mimpi itu memang nyata.
*
Kudengar suara Acha memanggilku. Mulanya sangat pelan, lama-lama suara itu semakin kencang. Aku bangun dari tidurku. Kepalaku sakit sekali. Pening.
“Lif, kamu nangis?” aku tergagap. Bahagia sekali kulihat sosok Acha ada di depanku. Tanpa sadar membuatku meneteskan air mata. Air mata kerinduan, karena mimpi itu seakan lama rasanya. "Kamu sakit?" Acha sentuh keningku, memastikan apakah aku sedang demam. Tak tahan lagi dengan perasaan aneh di dalam mimpi yang merindukan Acha, kupeluk dia secara spontan. Acha tak melawan. Kuhirup aroma tubuhnya, wangi dan manis. Kulepas pelukanku, kusentuh pipi lembutnya, kucumbu bibir kenyalnya. Acha tak melawan.
*
Acha sudah membaca hingga selesai kisah Elie Wiesel. Dia sedih dengan apa yang telah dialami Wiesel dan keluarganya. Tibalah pada kesimpulan, apa kesamaanku dengan kisah remaja Elie Wiesel ini.
"Jadi, kamu itu Yahudi?"
"Bukan Acha, bukan itu sosokku."
"Kamu Nazi?" kusentil kening Acha dengan jari tengah tangan kananku karena tak tahan dengan kepolosannya. "Aduh. Sakit, ih, Alif!" Kini kubelai keningnya, tak tega, tapi tak bisa kutahan gemasku. "Bercanda doang, tapi diseriusin." keluhnya dengan bibir cemberut. "Jadi, kamu ini atheis?" Tak tahu lagi aku caranya melampiaskan gemas ini kepada Acha. Tanpa aba-aba, kututup mata Acha dengan tangan yang sama ketika membelainya. Kucium lagi bibirnya. Acha tak melawan.
*
"Bukan begitu narik kesimpulannya." kuberanikan diri mengatakan sosokku yang sebenarnya kepada Acha. "Ayah dan ibuku sudah..." belum kuselesaikan ucapanku, Acha menyerang hidungku, menutup kedua lubangnya dengan jari, membuatku kesulitan bernapas. Ia tarik wajahku dengan kedua jarinya yang masih menancap di lubang hidung, agar wajah kami berdekatan. Kini Acha yang menyosor bibirku. Kami berciuman lagi.
***
“Bangsat!” pelan sekali suaranya, seperti berbisik. Bahkan seperti sedang sakit tenggorokkan. Serak dan samar didengar.
“Woy, Bangsat!” suaranya masih kecil, masih serak. Tapi mulai sedikit jelas di telingaku.
“Bangun.” suara ini mulai terasa kencang, semakin terdengar jelas. Suara ini mirip dengan suara kejam si penyiksa semalam. Seraknya sama persis.
“Bangun Bangsattttt!”
“Haaahh hhaaaahh haaahhh!!” nafasku tersengal-sengal. Bajingan ini membangunkanku dengan memasukkan kepalaku ke dalam ember yang penuh dengan air. Bibirku perih, mataku juga. Bangsat. Mereka mencampur airnya dengan garam. Belum dua puluh empat jam disekap, aku sudah tak yakin akan hidupku. Inilah ajalku. Di sini, di kegelapan yang sempit dan berbau anyir karena darah. Untuk kali ini, aku takut akan kegelapan.
Aku tak melakukan tindakan kriminal. Aku hanya seorang reporter ulung, yang suka mengumpulkan informasi tentang kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan mereka semalam, aku sama sekali tak tau. Benar-benar tak tau. Aku bukan seorang aparat. Pun bukan seorang penyidik. Bagaimana bisa mereka mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak sepatutnya ditanyakan kepadaku. Tapi aku jadi mengerti bahwa ada kelicikan di negeri ini. Laporan ini pasti menghebohkan semua orang. Tapi percuma. Aku akan mati di sini.
***
Acha. Sudah lima tahun tak melihatmu. Bagaimana kabarmu. Apakah kamu hidup dengan baik. Memimpikanmu di sini, membuatku jadi rindu. Bisakah kita bertemu lagi. Bisakah aku berharap lagi.
Aku ingin mengulang lagi perjumpaan pertama kita. Kamu menggoda kucing penghuni sekolah dan mengerang kesakitan karena digigitnya. Aku takkan langsung menolongmu. Aku akan menertawakannya terlebih dahulu. Kamu pasti melemparkan botol minummu. Marah, merajuk, dan bermanja. Aku suka kamu yang manja. Lucu dan menggemaskan.
Acha. Bisakah aku berharap menemuimu lagi. Di perjumpaan pertama kita. Di tangga masjid. Di atas ukiran batas suci.
Gambar karya: Sesinden Hatiralar (Instagram: sesindenhatiralar)