Perjumpaan

Tidak ada komentar

Permulaan

Hari ini kukenakan seragam putih abu-abu untuk pertama kalinya. Tak kurasai perbedaan ada padanya dengan seragam sekolah menengah pertama. Kebanyakan orang bilang masa ini adalah masa yang penuh cerita. Entah persahabatan atau cinta, keduanya lahir di balik seragam ini. Tapi aku tak bisa mempercayai omong kosong itu. Aku pernah jatuh cinta dan kurasai cinta itu hanya cinta monyet biasa. Omong kosong itu hanya sugesti orang dewasa saja.

“Kalian ketika SMA, manfaatkan waktu kalian buat senang-senang! Sekali seumur hidup!”

“Kalian kalau sudah kuliah bakal kangen masa SMA kalian!”

“SMA harus pacaran!”

Halah, taik!

Mindset-mindset komunal dan romansa-romansa remaja takkan mempan kepadaku. Hidup harus seefektif mungkin. Hindari buang-buang waktu. Terlebih lagi menghadapi perempuan. Sehari rasanya seperti hanya dua belas jam. Itu saja untuk tidur, makan, dan sekolah. Dua belas jam sisanya untuk melayani mereka, para perempuan yang disebut 'pacar'.

Aku, yang sudah pernah pacaran semasa sekolah menengah pertama, memandang lawan jenis sudah berbeda. Sikap-sikap mereka kacau. Dibalik keimutan mereka ada hal-hal mengerikan. Trauma kalau berhubungan dengan mereka. Penuh topeng kebohongan. Sedikit-dikit ngambek, sedikit-dikit wajib pamit. Komunikasi sangat penting, mau berak pun musti izin. Terpenjara dalam 'cinta monyet' tak ada asiknya sama sekali. Kebebasan dirampas. Mirip 'Orba'. Cuman ini lebih kejam. Kamuflasenya melalui 'Cinta'.


Hari ini seluruh siswa sedang berbahagia. Dengan tegak dan bangga, mereka berdiri menghadap bendera.

“Hormat grakkk!”

Irama Indonesia Raya berkumandang. Wajah seluruh siswa sangat menyilaukan. Membuat mataku tak tahan melihatnya. Asumsiku bilang, faktor terbesar kebahagiaan mereka disebabkan oleh status baru yang mereka peroleh. Misalnya siswa baru. Mereka mulanya anak SMP, yang kemudian naik ke jenjang SMA. Mereka senang karena mereka sudah tak dianggap kecil lagi. Contoh yang kedua adalah anak kelas dua. Mereka mulanya adik kelas, sekarang mulai punya sedikit kuasa dengan naik ke kelas dua. Contoh terakhir adalah anak kelas tiga. Mereka mulanya berkuasa sedikit, tapi sekarang sudah bisa berkuasa penuh dengan naik ke kelas tiga. Senioritas adalah tradisi para pecundang. Tapi aku tak mau berurusan dengan budaya itu. Aku tak mau melakukan hal-hal yang melelahkan semacam itu lagi.

Di dalam gerombolan barisan upacara bendera aku tak mengenali satu pun kawan SMP-ku. Brengsek, mereka semua menghindariku. Malas rasanya memulai kehidupan baru dengan orang-orang asing. Sialnya lagi, orang-orang asing ini dengan orang-orang asing lainnya sudah saling kenal satu sama lain. Kebanyakan dari mereka berasal dari sekolah yang sama. Alhasil aku hanyalah orang asing yang tak terlihat di lingkaran sosial mereka.


Di sekolah ini ada seekor kucing liar. Namanya Abdi. Dinamai demikian karena ia penghuni abadi di sini. Tapi aku tetap memanggilnya 'kucing'. Nama 'Abdi' terlalu membebaninya. Ukurannya medium, usianya remaja, berkelamin jantan, dan coraknya putih hitam. Dia sangat dicintai siswi-siswi. Tapi cinta tersebut justru membuatnya terkekang. Sedikit-sedikit digendong. Sedikit-sedikit dipaksa bermain. Menghibur manusia adalah pekerjaan utamanya. Pasti lelah sekali. Apalagi interaksinya dengan perempuan, makhluk mengerikan yang dibalut keimutan.

Anehnya si kucing justru suka akan kekakangan itu. Mungkin karena suka dimanja dengan makanan-makanan lezat. Atau memang dia jenis kucing ganjen, yang hanya aktif jika dirayu siswi-siswi saja. Dengan laki-laki dia jual mahal, sombong, dan pemalas.

Beberapa hari kemudian, aku secara tinggi badan terpilih sebagai salah satu paskibrakapasukan pengibar bendera—di sekolah. Alarm bahaya di dalam tubuhku berbunyi. Sebuah peringatan akan keadaan darurat, karena keefektifanku menikmati kehidupan sekolah telah diganggu gugat. Tapi aku tak mampu menggugatnya.

Tiap sepulang sekolah, aku dan siswa lainnya yang terpilih, selalu berlatih baris-berbaris hingga menjelang petang. Hampir semua siswa terengah-engah, kelelahan. Anehnya, mereka masih bisa tersenyum kesenangan. Aku tak berekspresi. Tak kelelahan juga seperti mereka. Nafasku normal. Malah rasanya ingin merokok. Sebagaimana biasanya, ketika menjelang petang, rokok adalah rekan terbaik. Menghisapnya sambil memikirkan banyak hal, rasanya begitu nikmat. Terutama memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan datangnya gelap. Aku mencintai kegelapan.

Staminaku dikagumi banyak siswa laki-laki. Mereka bertanya banyak hal.

“Kok bisa nggak ngos-ngosan?”

“Kok bisa masih kuat berdiri?”

Bla bla bla bla blaa…

Kujawab seadanya. Sebagian menyadari aku tak suka didekati. Sebagian lainnya masih keras kepala ingin menjalin pertemanan denganku. Daripada latian baris-berbaris, menanggapi obrolan mereka lebih melelahkan.


Sepekan berlalu. Aku terbiasa dengan rutinitas ini. Menyiksa memang. Bukan secara fisik, tapi lebih ke psikologis. Bentakan para perwira yang berlebihan, ditambah harus berinteraksi dengan siswa-siswa lain, sudah menghabiskan cukup banyak waktu dan pikiran. Berisik sekali. Kalau dipikir-pikir, kegiatan ini tak ada manfaatnya untukku. Kata siapa putih abu-abu itu indah. Sebaliknya. Merepotkan.


Hari ini adalah hari keduabelas kami latihan. Ketika istirahat, aku mencari tempat sepi guna membaca buku bacaanku. Bukan karena berusaha menghindari siswa-siswa lain. Kebiasaanku membaca sekarang mulai hilang dan ini berbahaya. Aku takut mewajarkan hal tersebut.

Di tengah perjalanan menuju tempat sepi, aku melihat seorang gadis sendirian di depan masjid. Mungkin ia sedang menunggu temannya. Karena aku melihat ada dua pasang sepatu di sana. Rambutnya panjang sampai punggung. Diikat agar tak mengganggu ketika latihan baris-berbaris. Lurus dan berwarna hitam. Kulitnya putih kemerahan, seperti udang rebus. Alisnya tipis. Bulu matanya lentik, dari jauh terlihat anggun. Lubang hidungnya berbentuk cinta jika dilihat dari bawah tangga.

Dia sedang menggoda kucing penghuni sekolah dengan tangan kanannya. Senyumnya tiba-tiba mekar mengembang di bibir. Bibir yang tak tebal, tapi terlihat cukup kenyal, berwarna merah muda. Tangan kirinya sibuk membawa botol air mineral. Tapi kemudian tangan kiri itu sibuk merapikan poni. Untuk sementara botol air mineral diletakkan pada jepitan antara paha dan dadanya. Sisa keringat masih ada di sekitar sudut wajah, membuatnya nampak segar dipandang.

Entah bagaimana, secara tak sadar kuberjalan menuju ke arah gadis itu. Dia mengerang kesakitan, karena si kucing tiba-tiba menggigit tangan kanannya. Akudengan ketidaksadaranku lagimemegang tangan kanannya dengan tangan kananku, dan mencoba merayu si kucing dengan tangan kiriku. Agar dia berbalik menggigitku. Jika kupaksa menarik tangan gadis itu, si kucing bisa merobek-robeknya.

“Arden Moore bilang, kucing ga suka dibelai terus-terusan.” ucapku, sambil tetap berusaha merayu perhatian si kucing. “Sesekali biarkan dia istirahat dengan melakukan hal-hal sesukanya. Kucing juga punya hak merdeka tau.”

Gadis itu sudah tak mengerang lagi. Padahal tangannya masih dalam cengkeraman dan gigitan kucing. Aku sadar, bahwa sekarang gadis itu sedang menatapku.

“Siapa?” tanyanya.

“Arden Moore, seorang pengarang buku tapi ahli juga soal hewan, termasuk kucing.” jelasku.

“Bukan, bukan itu." katanya. "Tapi kamu. Kamu siapa?”

Aku membisu. Pertanyaan itu membuatku sadar, betapa cerobohnya aku. Bagaimana bisa akudengan mudahnyamendekati seseorang yang belum kukenali. Pandanganku yang mulanya ada pada kucing kini berbalas memandanginya. Kini kami saling memandangi. Aku lupa, bahwa aku masih asing dibeberapa orang.

Tak kusadari si kucing sudah melepaskan gigitannya. Ia kemudian lari terbirit-birit, menjauhi kami berdua yang sama-sama mematung di tangga masjid, di atas ukiran 'batas suci'.

Aku menggerutu di dalam hati, menyumpahi ketololanku. Rasanya malu sekali. Tapi apa boleh buat, ini adalah ketololanku yang sok bermoral, yang secara tak sadar ingin menjadi pahlawan gadis ini.

“Alif. Namaku Alif.” Sambil memperkanalkan diri, kuambil kotak medis yang selalu kubawa di dalam tas. Dia masih memandangiku. Seperti tak percaya bahwa aku juga salah satu siswa sekolah ini. Mungkin dia mengira aku adalah makhluk halus yang menyamar sebagai siswa, yang mengenakan kaos olahraga yang sama dengan dirinya. “Luka semacam ini terdengar remeh, kecil, tapi bisa bikin bengkak.” jelasku sambil mengobati tangan kanannya. Alasanku mencoba mengobatinya adalah untuk menghilangkan rasa canggung kami. Agar dia tak menganggapku aneh.

Gadis ini masih membisu. Sepertinya masih mencerna sosok asing sepertiku. Padahal aku dan dia ada di barisan yang sama. Rupanya duabelas hari belum cukup untuk membuat keberadaanku dianggap ada.

“Tapi,” katanya. “Tapi aku gapapa kok.” Dia tunjukkan tangan kirinya. Ada bekas gigitan kucing di sana. Namun tidak dengan luka cakaran seperti yang ada pada tangan kanannya. Luka lama itu tampak lebih besar dari luka sekarang. Kugenggam tangan kirinya. Kuobati sekalian luka itu. Dia tak melawan. Kini tangan kirinya pasrah dalam penguasaanku.

*

Keesokan paginya, aku dan siswa-siswi di kelasku berolahraga di lapangan sekolah. Hari ini adalah jam olahraga kami. Tak begitu melelahkan, tapi cukup banyak mengeluarkan keringat. Seseorang dari belakang menyodorkan minuman ke pipi kiriku.

“Nih.” katanya lembut. “Makasih buat kemarin. Diterima ya. Aku nggak mau punya hutang apapun ke orang lain.”

Ketika kutengok sosok itu, waktu seakan berjalan lambat. Angin kencang memporak-porandakan rambutnya. Pakaiannya juga tertiup kencang. Segera ia letakkan tangan kiri diantara kedua paha untuk menahan roknya agar tak terporak-porandakan. Kulihat senyum sosok itu ketika angin menghantamnya. "Cantik betul," batinku. Tak seperti kemarin, pesona gadis ini semakin menggoda perasaanku. Runtuh imanku dibuatnya. Tak seperti kemarin, kedua tangannya terlihat lebih gemuk. Kuperhatikan lagi dengan seksama, kedua tangannya terlihat gemuk.

Tangannya gemuk?

Kedua tangannya?

Tangannya?

Ya ampun, kedua tangannya bengkak!

*

Di tangga masjid di atas ukiran batas suci adalah perjumpaan pertama kami. Entah magis apa yang membuatku menjadi aneh begini. Romansa putih abu-abu, kata mereka, dapat membutakan manusia dari segala hal. Bahkan serasional mungkin manusia itu, atau puluhan buku filsafat yang telah manusia itu baca, takkan pernah cukup untuk membuat manusia itu memahami kejadian ini. Pikiran dan perasaan adalah hal berbeda. Sekekeuh apapun sumpahku untuk tak jatuh cinta, akan runtuh jika hatiku sudah menemukan orangnya. Apalagi aku adalah manusia yang payah dalam hal perasaan.

Di tangga masjid, di atas ukiran batas suci, aku dengan mudahnya jatuh cinta kepada gadis ini. Rupanya orang dewasa benar, ada sesuatu yang menarik di putih abu-abu.

Permulaan

Gambar karya Sesinden Hatiralar (Instagram: sesindenhatiralar)

Komentar