Keterlibatan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Tidak ada komentar

Keterlibatan Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Dalam sebuah artikel dari Kompas (kompas.id), yang berjudul: "Balada Keluarga dengan Sebelas Anak", mengkisahkan seorang perempuan berinisial N (39) yang pernah melahirkan 11 anak, 3 diantaranya meninggal dunia. Anaknya yang paling kecil bernama B (2 tahun, 5 bulan), mengalami stunting. Berat badannya hanya 8,1 kilogram, dan tinggi badannya 76,2 sentimeter.¹

N menikah dengan suaminya ketika dirinya berusia 15 tahun dan suaminya berusia 25 tahun. Pendidikan N hanya lulusan sekolah dasar. Dia menikah karena dijodohkan oleh orang tuanya. Orang tua N adalah agamawan dan suami N adalah guru dakwah, yang mana hanya itu pekerjaan satu-satunya sang suami. Upah yang diberikan oleh suaminya berbentuk kesukarelaan saja, yang secara rasional kurang mencukupi kebutuhan keluarga N.²

Selama 14 tahun pernikahannya, N telah melahirkan 11 anak. Rasio melahirkan per-tahun hampir menyentuh angka 1 (0,79). N pernah meminta agar diupayakan KB saja, namun ayahnya menolak, karena KB bagi prinsip ayahnya bukan sesuatu yang baik. "Pamali", katanya.³

Tidak hanya KB, imunisasi juga tidak N lakukan kepada anak-anaknya. Lagi-lagi ayahnya ada dibalik keputusan tersebut. Suami N sependapat dengan ayah N, bahkan ia mengatakan: bahwa menikah bertujuan untuk memiliki keturunan. Banyak anak, banyak rezeki. "Alhamdulillah, kebutuhan kami selama ini tercukupi", katanya.⁴

Dia juga tidak yakin dengan sistem keuangan istrinya. Baginya, malah akan jadi berbahaya jika keuangan dipegang perempuan. "Uang saya yang pegang dan saya yang atur karena kalau dipegang istri pasti tidak beres. Segala sesuatu yang dipegang perempuan pasti tidak beres," ucap suami N.⁵

¹ Agustinus Yoga Primantoro, "Balada Keluarga dengan Sebelas Anak", https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/08/liputan-4k-balada-keluarga-dengan-11-anak, diakses pada tanggal 17 April 2023.
² Ibid.
³ Ibid.
Ibid.
Ibid.


Pernyataan suami N kontras dengan keadaan yang dialami sekarang. Nyatanya B, anaknya, mengalami stunting. Melihat kasus diatas, ada dua pokok rumusan masalah, yakni:

  1. Tentang hukum Keluarga Berencana (KB) dalam Agama (Islam), yang mana tidak disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadist. Sehingga membentuk sebuah kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini apabila tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun Hadits adalah haram.

    Atau sebenarnya masih bisa diperdebatkan, sehingga ketika ada unsur-unsur di luar Al-Qur'an, hukumnya bisa haram dan bisa halal.

  2. Tentang kesejahteraan perempuan dalam keterlibatannya terhadap pengambilan keputusan, terutama mengenai hak hidupnya, hak atas tubuhnya, dan hak anak-anaknya.

Untuk perkara yang pertama akan dibahas di lain kesempatan. Fokus tulisan ini ada pada perkara yang kedua, yakni tentang kesejahteraan perempuan mengenai hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri.

Sebelum memasuki pokok pembahasan, ada pengalaman menarik pada saat diskusi kelompok, di warung kopi, di Jogja. Aku baru saja datang di lokasi. Teman kelompokku dan pacarnya sudah di meja. Sambil menunggu anggota lain datang, kami membahas sesuatu yang random: "Gender apa yang akan aku harapkan, andaikata aku dilahirkan kembali?"

Bagiku (pendapatku waktu itu), perempuan adalah sosok yang rumit. Menjadi perempuan itu sesuatu yang tidak beruntung. Contohnya: dalam pembagian harta warisan (hukum Islam), mereka hanya mendapatkan ½ warisan dari kakak atau adik laki-lakinya.⁶ Ditambah, mereka harus melahirkan, merawat anak, dan setiap bulan menerima haid dan segala pegalnya. Apa yang menyenangkan dari perempuan?

⁶ Pasal 176-182 Kompilasi Hukum Islam.


Kalau beruntung, terlahir cantik. Eksistensinya bisa ditunjukkan melalui wajah dan tubuhnya. Tapi kalau terlahir biasa saja dan dari keluarga kurang mampu, apa yang bisa perempuan punya? Sedangkan laki-laki masih memiliki fisik yang kasar, yang setidaknya bisa menghidupi dirinya sendiri. Maka ber-reinkarnasi tetap menjadi laki-laki bukanlah sebuah pilihan, tapi keharusan.

Plato pernah berdoa kepada Dewa. Ia bersyukur terhadap 2 hal, yakni:

  1. bersyukur tidak dilahirkan sebagai budak,
  2. bersyukur tidak dilahirkan sebagai perempuan.⁷

Padahal Plato dalam bukunya Politeia (The Republic) mengatakan bahwa jiwa tidak memiliki gender. Istilah perempuan dan laki-laki itu tidak ada di dalam jiwa, keduanya sama, dan namanya adalah jiwa.

Walaupun Plato berupaya untuk menegakkan keadilan gender, Simone de Beauvoir tetap menuntut para perempuan untuk berdiri di kakinya sendiri. Jangan terlalu bergantung kepada laki-laki. Jangan mempercayai laki-laki, bahkan kepada yang paling simpatik pun (menyindir doa dan pendapat Plato yang kontradiktif). Karena mereka (laki-laki) tidak akan pernah benar-benar memahami situasi konkret perempuan.

Alasannya karena mereka (laki-laki) sangat ingin mempertahankan hak-hak istimewanya, dan menjebak perempuan dengan ucapan-ucapan menghibur,⁸ yang kalau kita ambil contoh kasus dari agamawan yang taat, ucapan-ucapan menghibur itu adalah 'Surga' dengan menjual dunia dan isiqomah dalam bertakwa.

⁷ Simone de Beauvoir, "Second Sex: Kehidupan Perempuan", Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2016, hlm. xvi.
Ibid., hlm. xxiii.


Pokok pembahasan kasus diatas akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan, terutama dengan buku Simone de Beauvoir: "Second Sex" sebagai kajian pustakanya. Dalam bukunya Simone mengenalkan istilah feminisme eksistensial, dan ada kaitannya dengan pemikiran Jean Paul Sartre tentang konsepnya bahwa Eksis itu ada "being for itself" (pour-soi) dan "being in itself" (en-soi).⁹

"Being for itself" (untuk dirinya sendiri, pour-soi) memiliki ciri 'negativitas', yang dalam upayanya untuk Eksis, dia berusaha merendahkan dan memandang negatif orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda. Pour-soi adalah Eksis yang berkesadaran.¹⁰

"Being in itself" (ada dalam dirinya sendiri, en-soi) mengacu pada sesuatu yang konstan, yaitu eksistensi material. En-soi tidak aktif juga tidak pasif, tidak afirmatif (menguatkan) juga tidak negatif, tidak memiliki masa lalu juga masa depan, tidak memiliki kemungkinan juga tujuan. En-soi eksis begitu saja, tanpa ciptaan, tanpa dasar (fundamen), dan tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain. Ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. En-Soi adalah Eksis yang tidak sadar (keberadaan selain kesadaran).¹¹

⁹ M. Taufiq Rahman, "Pemikiran Feminisme Sosialis dan Eksistensialis", Mata Kuliah Filsafat Sosial, Semester II, Jurusan Sosiologi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2018/2019, hlm. 7.
¹⁰ Nina Najwa, "Eksistensi Kesadaran Manusia Jean Paul Sartre", https://www.kompasiana.com/annajwa/5528163cf17e61c6138b4594/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sartre, diakses tanggal 17 April 2023.
¹¹ Ibid.


Sartre menambahkan satu konsep lagi mengenai Eksis, yakni "being for others" (ada untuk orang lain, mit-sein), ia ada dalam kesadaran orang lain. Mit-sein adalah 'Yang Lain', others. N bertanggung jawab atas keberadaannya untuk orang lain, tetapi dia bukan dasarnya (fundamen). N bertanggung jawab atas caranya muncul dalam kesadaran Yang Lain, tetapi Yang Lain masih merupakan keberadaan N dengan kebebasan dan subjektivitas mereka sendiri. N tidak dapat mengakses maupun mengkontrol subjektivitas orang lain dan N bukanlah dasar keberadaan N untuk orang lain.¹²

Setiap for itself berusaha untuk membebaskan Eksis(being)-nya dengan cara membuat sebuah objek di luar diri yang lain. Jadi being for other akan terjadi terus-menerus, karena itu konflik antara diri sendiri yang mencoba membebaskan dari yang lain, dan yang lain itu mencoba membebaskan dari diri (dengan cara membuat sebuah objek di luar diri yang lain, menjadikan dirinya sebagai subjek). Pour-soi "being for itself" menciptakan dirinya sebagai subjek, menjadi sesosok others "Yang Lain". Fenomena ini akan terus berulang, terjadi terus-menerus.¹³

Hal itu menunjukkan bahwa proses penentuan diri merupakan sebuah pencarian kekuasaan terhadap keberadaan yang lain. Ketika seseorang mencoba membebaskan dirinya dari orang lain, orang lain itu juga berusaha membebaskan dirinya dari seseorang itu. Mudahnya, ketika seseorang mencoba untuk memperbudak orang lain, si orang lain ini juga sedang memperbudak seseorang itu.¹

¹² Frank Devita, "Sartre on Being-For-Others", https://frankdevita.wordpress.com/2012/08/06/sartre-on-being-for-others/, diakses tanggal 17 April 2023.
¹³ M. Taufiq Rahman, "Pemikiran Feminisme..., hlm. 7.
¹Ibid.


Simone de Beauvoir menyatakan bahwa laki-laki adalah self dan perempuan adalah other. Jika other (perempuan) adalah ancaman bagi self (laki-laki), maka untuk terlepas dari ancaman tersebut, laki-laki harus menundukkan perempuan, mengontrolnya. Itulah sebabnya Simone menuntut perempuan untuk tidak terlalu mempercayai laki-laki, sekalipun yang paling peduli. Karena mereka (laki-laki) sangat ingin mempertahankan hak-hak istimewanya.

Dalam bukunya Simone menegaskan kembali bahwa subjek yang ada apabila tidak memperbaiki diri, akan terus tertekan hingga tidak ada habisnya. Dan akan terjadi kegagalan moral:

"Setiap kali kepentingan-kepentingan yang ada hilang atau mengalami stagnasi, eksistensi manusia terdegradasi menjadi “en-soi”, yaitu kehidupan brutal untuk memenuhi syarat kehidupan dan kebebasan untuk menekan. Kejatuhan ini menunjukkan kegagalan moral jika subjek yang ada tidak ingin memperbaiki diri. Hal ini dapat menimbulkan rasa frustasi dan tertekan dalam diri orang yang mengalami kegagalan ini."¹

¹⁵ Simone de Beauvoir, "Second Sex..., hlm. xxvi.


Jika kita tarik masalah diatas dengan konsep pembahasan ini: N disebut sebagai ancaman oleh suaminya (menggoyahkan martabatnya sebagai imam keluarga dan melanggar norma agama), sehingga dalam pengambilan keputusan mengenai kebutuhan dan perekonomian, N tidak dilibatkan. Fokus N hanya membesarkan anak, itupun juga dibatasi dengan tidak diijinkan untuk melakukan imunisasi dan melaksanakan KB.

Ketidakterlibatan N dalam setiap keputusan hidupnya dan keluarganya adalah karena N dianggap tidak akan mampu memberikan solusi yang terbaik tentang masalah itu. Juga karena dia perempuan. Seperti kata Simone, laki-laki sangat ingin mempertahankan hak-hak istimewanya. Itulah mengapa tercipta mitos, bahwa perempuan tidak rasional dan kompleks.¹ Sebagaimana hasil wawancara wartawan Kompas kepada suaminya, yang mengatakan akan jadi bahaya jika perempuan mengatur keuangan.

¹⁶ M. Taufiq Rahman, "Pemikiran Feminisme..., hlm. 8.


Mungkin N tidak menganggap apa yang ia alami sekarang adalah masalah besar. Mungkin N menganggap ini adalah bentuk dari ketakwaannya kepada Tuhan, terhadap ujian-ujian yang dialaminya. Sehingga dia tidak masalah ditundukkan oleh suaminya, juga ayahnya. Tapi seperti kata Sartre, being for other akan terjadi secara terus-menerus. N ditundukkan oleh suaminya, menghasilkan 7 anak yang tersisa. Keterbatasan materi membuat anak mereka mengalami stunting, dan secara rasional juga akan kesulitan memperoleh pendidikan tinggi. Apalagi N hanya lulusan sekolah dasar, yang juga terbatas dalam memberikan ilmu.

Ini adalah fenomena yang disukai kapitalisme, karena ada budak baru yang lahir, yang akan dimanfaatkan tenaganya, untuk mempertahankan ideologi ini selama mungkin. N ditundukkan oleh suaminya, dan anak-anak mereka (kemungkinan besar) ditundukkan oleh kelas sosial. Dan jika tidak ada perlawanan dari salah satu dari mereka, baik N atau anak-anaknya, kemiskinan struktural akan terus-menerus terjadi sampai di dasar keturunan mereka. Sebagaimana kata Simone, akan menimbulkan kegagalan moral.

Jika ditarik lagi, kemiskinan akan berkembang menjadi meningkatnya kriminalitas. Hal ini sebagai bentuk dari salah satu kegagalan moral. Dasar dari terjadinya runtutan masalah ini adalah, ketidakterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan terhadap hidupnya, terhadap tubuhnya.

Maka, untuk melepaskan diri menuju kebebasan, perempuan perlu mencapai trandensinya, yakni sejajar dengan laki-laki. Untuk mencapai itu, perempuan perlu mengembangkan intelektualnya, dan bekerja. Karena bagi Simone, sekali lagi, relasi antara laki-laki dan perempuan tidak akan secara otomatis berubah. Langkah awal Simone adalah menyadarkan para perempuan untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Menunjukkan eksistensinya kepada dunia, bahwa tidak ada laki-laki dan perempuan (karena keduanya sejajar), yang ada hanyalah (istilah) 'jiwa'.

Untuk menjadi eksis, perempuan harus hidup dengan melakukan pilihan-pilihan sulit, dan menjalaninya dengan tanggung jawab, baik atas diri sendiri maupun atas orang lain. - M. Taufiq Rahman

Feminisme eksistensial tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi membentuk suatu tatanan baru menuju yang lebih ideal. Secara praktis, dapat memajukan suatu negara, meningkatkan pendapatan per-kapita, menekan kapitalisme, menuju konsep "Third Way".


Daftar Pustaka

Simone de Beauvoir, "Second Sex: Kehidupan Perempuan", Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, 2016

M. Taufiq Rahman, "Pemikiran Feminisme Sosialis dan Eksistensialis", Mata Kuliah Filsafat Sosial, Semester II, Jurusan Sosiologi, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2018/2019

Ni Putu Laksmi Mutiara Prameswari, dan kawan-kawan, "Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir: Perjuangan Perempuan di Ranah Domestik", Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana

Kompilasi Hukum Islam

Agustinus Yoga Primantoro, "Balada Keluarga dengan Sebelas Anak", https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/04/08/liputan-4k-balada-keluarga-dengan-11-anak, diakses pada tanggal 17 April 2023.

Nina Najwa, "Eksistensi Kesadaran Manusia Jean Paul Sartre", https://www.kompasiana.com/annajwa/5528163cf17e61c6138b4594/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sartre, diakses tanggal 17 April 2023

Frank Devita, "Sartre on Being-For-Others", https://frankdevita.wordpress.com/2012/08/06/sartre-on-being-for-others/, diakses tanggal 17 April 2023

Gambar karya: Hessah (Instagram: @hessah._.art)

Komentar