Di tikungan tajam, pada gelapnya jalananan, di tengah hutan menuju Pacitan, aku tak bisa mengontrol kemudi motorku. Tas bawaan yang aku letakkan di depan, mengunci stang kemudi, sehingga aku tak bisa membelokkannya ke kanan. Beruntungnya, kanan adalah bagian favoritku. Sehingga aku sedikit bisa menguasainya. Tas bawaan kudorong dengan kaki hingga jatuh. Tak peduli berserakan di jalan. Toh selama perjalanan tadi, sama sekali tak kutemui pengendara lain.
Daripada menabrakan diri pada tebing, aku berusaha menjatuhkan diri di jalan. Rem kutarik bergantian, agar sesuai skenario. Kaki kanan kujadikan pijakan, kutumpukan ke aspal. Motor tergelincir, tak sesuai skenario. Jalanan licin karena basah oleh hujan tadi sore. Motor jatuh ke kanan, tapi aku mampu berdiri, karena pijakan kaki kananku di aspal memperkokoh tubuhku untuk tetap tegak. Tak sesuai skenario memang, tapi melebihi ekspetasiku. "Rezeki Idul Fitri", kataku.
Pukul sembilan malam, aku sampai di rumah eyang. Suasananya gelap, karena di sini masih peradaban tradisional. Angin masih kencang, walaupun sudah malam. Kedatangan mereka membuat dedaunan menari-nari. Gesekan mereka menimbulkan irama yang adiktif, membuat bulu kuduk merinding. Bukan karena takut, tapi suara ini adalah suara yang tak akan pernah terdengar di kota metropolitan. Seperti berada di Surga. Jiwaku sangat menginginkan suara ini, suara ketenangan sejati dari alam 'Pacitan'. Jiwaku telah lama menantikannya.
"Assalamualaikum", ucapku. Salam perjumpaan kepada eyang, selaku tuan rumah. Dan jin-jin rumah di sini, yang tak bisa kulihat, tapi kuyakini keberadaan mereka. Jin baik yang telah menjaga eyang selama ini. Eyang yang hidup sendiri di rumah ini selama bertahun-tahun setelah ditinggalkan anaknya yang pertama—kakak dari ibuku.
Rumah besar ini eyang sendiri yang merawatnya. Listrik masih suka padam, sesuai jadwal bergilir. Cahaya di rumah menggunakan lampu teplok, yang bahan bakarnya menggunakan minyak tanah.
Aku letakkan barang-barangku dan barang titipan dari kerabat—dari cucunya yang lain, yang rumahnya dekat dengan tempat tinggalku—untuk eyang. Eyang senang menerimanya. Beruntungnya benda di dalamnya tak rusak karena kejadian semalam.
Kucuci muka dan membersihkan tubuhku. Eyang sudah tidur setelah obrolan singkat kami. Ia tau, aku sudah cukup lelah malam ini, karena perjalanan panjang menuju ke sini.
Aku pun ikut tidur, di tempat yang sudah eyang siapkan. Mudah sekali untuk tidur di bawah jam sepuluh. Entah karena aku yang lelah, atau memang suasananya membuatku mudah untuk memejamkan mata. Kuistirahatkan kesadaranku dan terlelap dalam kenikmatan malam.
Tak ada suara berisik tetangga dengan sound sistem andalannya, yang memutar satu album penuh Denny Caknan. Tak ada suara gitar serta suara musisi ulung, yang suka nongkrong di Warmindo hingga pagi buta. Padahal suara mereka sumbang. Bagaimana caranya mengatakan bahwa mereka tak memiliki bakat itu tanpa menyakitinya. Aku takut, mereka malah semakin menjadi-jadi jika kukatakan secara jujur.
Pukul dua pagi aku terbangun. Tenagaku telah terisi kembali. Aku merogoh tasku, mencari buku yang sedang kubaca akhir-akhir ini. Kemudian menuju ke dapur dengan lampu teplok, membuat teh untuk merayakan ketenangan ini.
Aku berjalan perlahan-lahan menuju teras rumah. Sebisa mungkin tak membangunkan eyang. Rumah gelap sekali, tapi aku suka. Hanya dengan teplok sebagai sumber cahaya, aku membaca buku Albert Camus, Krisis Kebebasan di teras rumah.
Kunang-kunang melewati pandanganku. Tepat diantara wajahku dengan buku. Seolah-olah juga ingin membacanya, tentang kebebasan hidupnya, yang sekarang eksistensinya hampir punah. Modernitas menyapu keberadaannya.
Dia pergi menuju kawanannya. Menari-nari di atas teras. Seakan-akan tahu, bahwa orang yang ada dihadapannya menyukai kebebasan, dan menghargai kebebasan pihak lain, termasuk pihaknya, komunitas kunang-kunang. Dia dan kawanannya merayakannya, berdansa dalam gelapnya malam. "Cantik", ucapku.
Aku dan eyang hanya berdua saja di rumah besar ini. Pada hari raya ini, kami merayakannya hanya berdua. Kerabat lain sibuk dengan dunia mereka. Tak ada paksaan dari eyang. Juga tak ada paksaan dariku. Tak ada paksaan dari siapapun atas ketidakmampuan maupun ketidakmauan mereka. Kebebasan aku berikan kepada mereka, karena aku tak tau isi kepala dan isi hati mereka yang sebenar-benarnya. Apa yang aku prioritaskan adalah kehendakku sendiri. Kemampuan dan kemauanku. Kesadaran moralku mengharuskanku menemui eyang, menemaninya di hari raya, maka kulakukan perintah itu.
Begitu juga kebebasan yang kuberikan kepada eyang, ketika semua kerabat menginginkan eyang berada di kota, agar dekat dengan kami. Saat itu aku memilih menjadi penengah. Walaupun sebenarnya aku juga menginginkan eyang berada di kota dan dekat denganku. Tapi rasionalku melawan ego tersebut.
Eyang tidak bahagia di kota. Kenangannya ada di rumah ini. Kenangan bersama kakek, bersama anak-anaknya, juga bersama cucu-cucunya. Terutama kenangan ketika hari raya. Tinggal di kota hanya akan membuat eyang terkekang. Eyang tak ingin tak bahagia ketika menunggu waktunya datang. Sedangkan di sini, ia masih suka berladang, sambil menikmati hidup yang benar-benar hidup. Bahagianya hanya ada di sini. Inilah kebebasannya. Kebebasan memilih penantian kematiannya yang menyenangkan, sambil mengenang kenangan manis keluarga kecilnya dulu, di rumah besar ini.
Kunang-kunang itu seperti berterima kasih kepadaku, karena menghendaki kebebasan eyang, dan mengapresiasi kesadaran moralku untuk menemani eyang. Kurasa jin rumah ini berbisik kepada kunang-kunang itu tentang hal ini.
*
Kurang dari sebulan setelah hari raya, eyang pergi selamanya meninggalkan kami. Aku dan kerabat lainnya menuju Pacitan, menuju rumah besar.
Dalam perjalanan, hampir semua kerabat menangis. Sedangkan aku tidak menangis sama sekali. Walaupun hatiku mengganjal karena takkan ada lagi sosok eyang. Rasionalku bekerja lebih keras, bahwa kematian juga bagian dari kebebasan.
Setelah pemakaman eyang lancar, kami kembali ke rumah besar. Kerabat masih menangis tiada hentinya. Aku berusaha memahami rasa kehilangan mereka, penyesalan mereka, karena ketika eyang hidup mereka menyia-nyiakan kesempatannya.
Apakah aku tidak menangis karena aku tidak merasa menyesal, karena aku sudah berusaha semampuku untuk berada disisi eyang ketika hari besar? Aku tidak menemukan jawaban tepat atas keraguan ini. Tapi hatiku semakin lama semakin mengganjal. Apa-apaan nih, padahal aku merasa aku sudah ikhlas kok.
Ketika sore tiba, aku berjalan menghindari kesuraman di rumah besar. Karena kesedihan yang berlarut-larut dari semua kerabat dapat menulariku. Aku memilih pergi, menuju makam eyang.
Ini seperti ketika aku berada di tikungan tajam, ketika perjalanan menuju rumah eyang, pada waktu malam, di tengah hutan Pacitan. Aku tak mampu menguasai perasaanku seperti aku tak mampu menguasai kemudi. Di depan sana ada tebing besar yang bernama kemuraman. Aku tak ingin menabraknya. Maka kubuang rasionalku sebentar—seperti tas bawaanku pada malam itu—karena dia menghalangiku untuk belok kanan.
Ku pijakkan kaki ke aspal, seperti sekarang ku pijakkan kakiku di depan makam eyang. Kujatuhkan motorku, seperti aku menjatuhkan air mataku. Tubuhku masih tegak, tapi kakiku gemetaran. Eyang sudah tidak ada lagi. Ia tak akan ada selama-lamanya. Aku tak tau harus apa selain menangis. Perasaanku tak menentu, dan masih mengganjal.
Di depan makam eyang, ku menundukkan kepala, karena malu, karena eyang seperti ada di depanku. Ku tundukkan kepala lebih ke bawah lagi. Air mataku menetes deras. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ketika aku selalu memikirkan kebebasan orang lain, aku lupa bahwa aku juga memiliki kebebasan, termasuk untuk menangis, merengek, dan mengeluh. Aku terlalu mengekang diriku sendiri, dan bersikap sok kuat dihadapan orang-orang. Eyang tahu betul, ada sesuatu yang kusimpan. Tapi ia tak memaksaku bercerita. Ia juga menghargai kebebasanku. Ia memilih tidur terlebih dahulu, seperti malam itu.
Tak ada lagi ekspresi yang lebih jelas dari tangisan. Air mataku akan mengatakan semuanya. Tak akan kutabrakan diri ini pada tebing kemuraman. Karena aku harus melanjutkan hidupku, dibelokkan selanjutnya. Aku ambil lagi tas bawaanku yang berisi rasional. Walaupun jalanan gelap, licin, dan tak ada teman yang menemani perjalananku. Aku tetap harus hidup. Skenario ini diluar dugaanku, tapi aku harus tetap melanjutkan hidup.
Pacitan, Jawa Timur
Sabtu, 22 April 2023