Ada sebuah pertanyaan di Twitter, pada sebuah akun @tanyarlfes, 21 April 2023, yang meminta pendapat orang-orang mengenai hubungannya, apakah lebih baik lanjut atau tidak, karena pasangannya berterus terang jika sudah pernah berhubungan seksual dengan mantannya. Si perempuan mempertegas, bahwa dia baru berhubungan seksual dengan satu orang ini saja. Dan sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, si perempuan jujur kepada si pria ini. Bahkan, untuk mengantisipasi adanya penyakit kelamin, si perempuan mau melakukan pengecekan.
Hanya ada dua pilihan untuk kasus ini, yakni:
- Tidak lanjut, dan
- Lanjut
Jika berdasarkan cinta dan keyakinan si pria bahwa perempuan ini adalah orang yang paling tepat untuknya, mengapa tidak untuk lanjut saja. Toh andaikan tidak lanjut, belum tentu si pria ini (ke depannya) akan mendapatkan pasangan yang masih perawan. Juga belum tentu si pria ini mendapatkan pasangan yang (mungkin) pengertian sebagaimana pacarnya sekarang. Namun, segala keputusan sepenuhnya ada pada si pria. Untuk memberikan kemudahan si pria dalam menjawab permasalahan di atas, saya akan coba selesaikan masalah tersebut secara singkat dengan pendekatan etika dan moral.
Sopan, Hukum, Moral
Berhubungan seksual sebelum menikah adalah sebuah perbuatan yang bisa diperdebatkan unsur moralitasnya. Bisa dianggap sebagai perbuatan tidak etis, juga bisa dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar etika. Keduanya memiliki alasan masing-masing. Tapi, bagaimana mungkin keduanya bisa berbeda?
Perbedaan ini disebabkan bahwa kesadaran moral itu berlaku umum, terbuka terhadap pembenaran atau penyangkalan, dapat dan harus dipertanggungjawabkan dengan argumentasi yang masuk akal (hanya ditemukan benar atau salah).¹ Artinya, moral itu tidak bersifat mutlak bagi setiap individu maupun kelompok. Setiap individu maupun kelompok memiliki takaran moral yang berbeda-beda.
¹ Dr. Franz von Magnis Suseno, "Etika Umum: masalah-masalah pokok filsafat moral", Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984, hlm. 31.
Penganut relativisme berpendapat bahwa sistem-sistem moral tiap-tiap masyarakat berlainan dikarenakan sifat masyarakat yang heterogen.² Penganut idealisme juga menolak adanya sifat moral mutlak. Idealisme mengacu pada hal yang dipercaya oleh individu yang mana dalam kepercayaan tersebut tidak melanggar nilai-nilai moral (kaidah moral). Karena tiap individu mempercayai sesuatu yang berbeda-beda, maka tidak ada moral yang mutlak. Relativisme dan idealisme memang tidak berlawanan, namun keduanya menunjukkan dua skala yang terpisah.³
² Dr. Franz von Magnis Suseno, "Etika Umum..., hlm. 35.
³ Ietje Nazaruddin, "Pengaruh Religiositas, Relativisme dan Idealisme terhadap Penalaran Moral dan Perilaku Manajemen Laba", JAAI, Volume 16 Nomor 1, Juni 2012, hlm. 17.
Franz von Magnis Suseno membagi norma-norma yang berlaku bagi umum di masyarakat menjadi 3 macam, yakni:
- Peraturan sopan santun,
- Norma-norma hukum,
- Norma-norma moral.
Peraturan sopan santun terpisah dari norma moral karena peraturan sopan santun hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan dan karena berdasarkan pendapat orang banyak. Misalnya: masyarakat A terbiasa makan dengan sendok. Lalu ada Z yang makan dengan garpu. Bagi masyarakat A, Z telah melanggar peraturan sopan santun, tapi secara moral Z tidak melanggar norma moral.⁴
⁴ Dr. Franz von Magnis Suseno, "Etika Umum..., hlm. 20.
Sedangkan norma hukum adalah sesuatu yang dapat dibuktikan berlakunya. Misalnya adalah penyebaran ajaran komunisme dilarang semenjak sidang istimewa MPRS 1966. Sebelumnya, penyebaran ajaran komunisme adalah hal normal dan biasa saja.
Lantas apa bedanya norma hukum dengan moral. Contoh perbedaan moral dan hukum misalnya, ada seseorang yang cacat lalu ditertawai oleh si A. Perbuatan A melanggar moral, tetapi tidak melanggar hukum.⁵ Karena tidak ada aturan yang mengatur bahwa menertawakan seseorang yang cacat adalah pelanggaran. Tidak dapat dibuktikan berlakunya.
Moral adalah suatu unsur dalam kesadaran kita yang menyertai kesadaran tentang norma-norma. Sifat moral merupakan sifat yang kita sadari apabila kita masuk ke dalam suatu keadaan di mana norma itu perlu dipergunakan.⁶
⁵ Ibid.
⁶ Ibid., hlm. 21.
Kesadaran moral itu semacam kesadaran yang disadari bukan sebagai sesuatu yang ditentukan oleh diri sendiri, malah bertentangan dengan keinginan dan pertimbangan keuntungan diri sendiri. Kesadaran moral adalah sesuatu yang berlaku obyektif, yang artinya bahwa itu disadari sebagai sesuatu yang semestinya begitu. Sesuatu yang masuk akal dan pantas disetujui. Kewajiban itu tidak bisa ditawar-tawar (mutlak).⁷
Apabila ketiga norma tadi saling bertabrakan, maka (menurut Romo Suseno dan Thomas Aquinas) norma moral yang paling diutamakan. Norma-norma lain mengalah terhadap norma moral.⁸
Lantas bagaimana tanggapan norma sopan santun, norma hukum, dan moral dalam menyikapi hubungan seksual di luar perkawinan dalam negara Indonesia (karena kita tinggal di teritorial Indonesia dan berwarga-negara Indonesia)?
⁷ Ibid., hlm. 23.
⁸ Ibid., hlm. 21.
Sebagaimana analogi di atas, ada sebuah norma, apabila makan dengan garpu dianggap tidak sopan oleh mayoritas masyarakat. Namun bukan berarti, hal tersebut melanggar moral. Si A makan dengan garpu. Berdasarkan akalnya A, makan menggunakan garpu adalah pantas. Toh tidak merugikan dan mengganggu mayoritas masyarakat. A juga melakukannya tanpa paksaan, dan tidak bermaksud meremehkan mayoritas masyarakat. Murni kesadarannya. Walaupun, secara eksplisit A memang melanggar norma sopan santun.
Begitu juga dengan hubungan seksual di luar perkawinan dalam perspektif norma sopan santun. Jangankan berhubungan seksual, berduaan dengan pasangan yang belum dinikahi di tempat umum saja bisa dianggap melanggar norma sopan santun. Terutama di lingkungan masyarakat tradisional, komunal. Bisa jadi bahan pembicaraan satu kampung.
Norma sopan santun masyarakat Indonesia (mayoritas masih tradisional dan komunal) masih menganggap bahwa hubungan seksual di luar perkawinan adalah perbuatan buruk dan tak patut dilakukan. Lantas bagaimana norma hukum menanggapi ini?
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (tentang Perlindungan Anak), Pasal 1 angka 1 mengatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Artinya, bagi negara, di usia tersebut seseorang dianggap belum bisa mengambil keputusan secara obyektif. Maka perlu "perlindungan", agar anak dapat hidup secara optimal. Sehingga, apabila terjadi hubungan seksual di luar perkawinan dengan anak dapat dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp. 5 miliar.⁹
⁹ Pasal 81 ayat (2) jo. ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk hubungan seksual di luar perkawinan atas dasar suka sama suka (keduanya secara sah belum menikah) juga dapat dipidana sesuai dengan Pasal 411 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (tentang KUHP) yang mengatakan:
Perzinaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang bukan suami atau istrinya dapat dipidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana denda maksimal Rp. 10 juta. Yang dimaksud bukan suami atau istri, adalah laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan.
Namun, delik perzinaan adalah delik aduan, yang apabila jika terjadi pelanggaran dan tidak ada aduan, maka tidak dapat dianggap melanggar hukum. Orang yang berhak melakukan aduan juga bukan masyarakat sekitar atau teman maupun mantan pacar. Melainkan orang tua¹⁰ atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan¹¹.
¹⁰ Pasal 411 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
¹¹ Yang dimaksud anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan adalah anak kandung dari janda atau duda, yang sudah berusia 16 tahun (Penjelasan Pasal 411 ayat 2).
Maka secara hukum, hubungan seksual di luar perkawinan bisa dianggap melawan hukum apabila terdapat aduan dari orang tua atau anak. Juga bisa dianggap tidak melawan hukum apabila tidak ada aduan.
Lalu bagaimana dengan perspektif moral menanggapi masalah ini?
Saya akan menggunakan sebuah analogi untuk menjawabnya. Karena dalam kaitannya moral, manusia terbebas dari norma sopan santun, hukum, bahkan agama sekalipun. Henry Louis Mencken, seorang jurnalis dan kritikus Amerika tahun 1900-an, berkata: "Morality is doing what is right, no matter what you are told. Religion is doing what you are told, no matter what is right."
Moralitas adalah melakukan apa yang benar, tidak peduli apa pun yang diperintahkan. Sedangkan agama adalah melakukan apa yang diperintahkan, tidak peduli apa yang benar.
Kesadaran moral adalah kesadaran yang disadari sebagai sesuatu yang semestinya begitu. Sesuatu yang masuk akal dan pantas disetujui.¹² Ada dua analogi untuk menjawab permasalahan moral ini.
¹² Dr. Franz von Magnis Suseno, "Etika Umum..., hlm. 23.
Analogi pertama:
Ada transaksi jual-beli antara si Z dan X. Z sebagai penjual, dan X sebagai pembeli. Pada transaksi tersebut, X melakukan pembayaran yang melebihi nominal dari apa yang seharusnya ia bayar. Maka Z harus mengembalikan sisanya. X langsung menerimanya, tanpa menghitung kembalian yang Z bayarkan.
Di tengah jalan, ketika hendak membayar sesuatu yang lain, X sadar bahwa Z salah memberikan kembalian kepadanya. Nominal yang diterima X melebihi dari apa yang seharusnya ia terima. Pada posisi ini X mendapat banyak bisikan:
- X tak perlu mengembalikannya, karena dia tidak mencuri dan memaksa merampas uang orang lain. Ini juga bukan kesalahannya, melainkan kesalahan Z.
- Jika X mengembalikannya dia juga bisa rugi, yakni rugi waktu dan ongkos bensin.
- Jika X tak mengembalikannya, dia juga tidak akan dihukum, karena ia tidak melanggar hukum. Ini murni kesalahan Z.
- Uang ini menguntungkan X.
- Selain tidak melanggar hukum, X juga tidak melanggar sopan santun.
- Namun, Z berhak atas uang ini, walaupun dia melakukan kesalahan.
- Z adalah seorang penjual, yang mana uang ini (haknya) dapat dipergunakan sebagai modalnya untuk berjualan.
- Juga bisa jadi Z memiliki istri dan anak, yang sumber nafkahnya dari jual-beli ini.
- Barang kali Z juga seorang mahasiswa yang biaya kuliahnya dia dapat dari jual-beli ini.
- Barang kali Z memiliki orang tua, yang biaya hidupnya dari jual-beli ini.
- Barang kali anak, istri, orang tua, atau saudara Z sedang sakit, dan biaya berobatnya dia dapat dari jual-beli ini.
- Barang kali Z sedang memiliki hutang, yang biaya pelunasannya dari jual-beli ini.
Dan barang-kali, barang-kali lainnya yang selalu muncul. Bisikan-bisikan tersebut kemudian memunculkan berbagai macam kesadaran, termasuk kesadaran moral, yakni kesadaran yang bertentangan dengan keinginan dan pertimbangan keuntungan X. Kesadaran yang berlaku obyektif, yang artinya bahwa itu disadari sebagai sesuatu yang semestinya begitu. Sesuatu yang masuk akal dan pantas disetujui. Kewajiban itu tidak bisa ditawar-tawar (mutlak).¹³
¹³ Ibid., hlm. 23.
Jika X adalah manusia yang bermoral, maka ia harusnya mengembalikan hak Z, sesuatu yang bukan haknya, yang ia terima begitu saja dari kesalahan orang lain. Yang berdasarkan bisikan-bisikannya, memiliki banyak manfaat untuk Z. Dan apabila Z tidak mendapatkannya (haknya) akan menimbulkan banyak kerugian bagi Z. Inilah apa yang dimaksud dengan kesadaran moral. Sebagaimana uraian yang dijelaskan Romo Suseno mengenai unsur-unsur kesadaran moral, yakni:
- X merasa 'wajib' untuk mengembalikan uang itu;
- Walaupun X ingin memegang uang itu terus karena beruntung, kesadaran akan kewajiban itu tetap ada. Kewajiban itu tidak dapat X tawar-tawar;
- Kewajiban ini X sadari bukan sebagai sesuatu yang X tentukan sendiri bahkan sangat bertentangan dengan keinginan X dan pertimbangan keuntungan X. Bukan itu. Melainkan sebagai sesuatu yang berlaku obyektif, yang X sadari sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya begitu, yang pasti berlaku bagi setiap orang yang berada dalam situasi X;
- Kewajiban itu tidak X sadari sebagai sesuatu yang bersifat sewenang-wenang, sebagai sesuatu yang entah kenapa membebani X, bukan. Melainkan sebagai sesuatu yang masuk akal, yang X sadari sebagai sudah semestinya uang itu X kembalikan dalam situasi ini (Z berhak atas uang itu dan sangat memerlukannya);
- X menyadari bahwa melakukan kewajibannya, yaitu memenuhi hak seseorang serta menyelamatkan dia dari penderitaan, itu sesuatu yang baik atau bernilai pada dirinya sendiri, maka kewajiban itu sebetulnya X setujui meskipun menentang keinginannya;
- X yakin bahwa setiap orang yang baik dan mengetahui keadaannya dengan tepat, akan sependapat dengannya, dan seandainya orang yang baik berpendapat lain, orang itu harus sanggup mengemukakan alasan-alasan yang kuat, dan bahwa kalau alasan-alasan orang itu memang kuat, orang itu berhak atas pendapatnya dan lantas pendapat X harus ia ubah (sebagaimana orang itu);
- Walaupun demikian, X sadar bahwa ia dapat juga tidak taat terhadap kewajiban itu serta tidak mengembalikan uang itu. Jadi terhadap kewajiban itu, X mau tak mau harus mengambil sikap sendiri;
- Sikap itu X ambil dalam keputusan atau pelaksanaan keputusan untuk mengembalikan atau untuk tidak mengembalikan uang itu; keputusan itu X sadari sebagai tanggung jawabnya sepenuhnya karena seluruhnya tergantung dari X sendiri;
- Sekaligus X sadari bahwa dari keputusan itu tergantunglah nilainya sendiri; artinya, biarpun X barangkali pandai, kaya, berpengaruh luas, berguna bagi masyarakat, berkedudukan tinggi, sanggup untuk mendapatkan apa saja yang ia inginkan, namun bukan itu yang menentukan apa X ini seorang yang baik atau jelek. Melainkan apakah X taat terhadap kewajibannya itu atau tidak (apakah X bersedia untuk mengembalikan uang itu atau tidak).¹⁴
¹⁴ Ibid., hlm. 23-24.
Analogi kedua:
P adalah seorang pengendara. Di tengah perjalanan, ia bertemu Q yang sedang dalam masalah. Bahan bakar mobil Q habis dan membutuhkan pertolongan orang lain untuk membantunya membelikan bahan bakar. Secara hukum P tidak dianggap melanggar hukum apabila mengacuhkan Q. Karena dalam hukum tidak ada perintah untuk melakukan hal tersebut. Secara sopan santun juga tidak melanggar.
Sedangkan secara moral terdapat dua jawaban, bisa jadi menolong Q adalah perbuatan bermoral. Tapi, pada posisi yang berbeda, menolong Q bisa jadi perbuatan tidak bermoral. Dianggap bermoral apabila perjalanan yang sedang P tempuh adalah perjalanan biasa, yang tidak begitu penting. Misalnya ketika P sedang pulang kerja, yang mana setelah pulang kerja dia tidak memiliki agenda penting yang wajib ia lakukan pada saat itu. Maka menolong Q adalah perbuatan bermoral. Atau menolong Q adalah 'kewajiban moral'.
Akan menjadi tidak bermoral, apabila P sudah memiliki tujuan atau agenda, yang mana harus ia hadiri pada saat itu juga dan secara tepat waktu. Misalnya ketika P sedang berangkat menuju lokasi dosennya untuk melakukan bimbingan. Mereka sudah membuat janji di waktu sekian. Atau P hendak meeting dengan kliennya di waktu sekian. Maka menolong Q adalah perbuatan tak bermoral. Kenapa demikian? Karena ketika P menolong Q, ada pihak lain yang telah ia ingkari secara sengaja. Dan efek dari pilihannya akan berdampak banyak pada hidupnya. Misalnya bimbingannya batal, dan membuatnya kesulitan menyelesaikan skripsi. Atau kliennya pergi, perjanjian mereka batal, pemasukan untuk menafkahi istri dan anaknya terhambat. P memang baik, suka menolong orang lain. Tapi ia gagal menolong dirinya sendiri.
Andaikata pihak lain yang P langgar janjinya tadi merasa tidak masalah terhadap apa yang dilakukan P (ingkar janji), perbuatan P masih dianggap tidak bermoral karena telah ingkar terhadap janji yang dibuat bersama. Janji tetaplah janji, meskipun pihak yang ia langgar tidak mempermasalahkannya dan pertemuan yang mereka buat masih terlaksana, walau terlambat dari yang seharusnya.
Keadaan atau sikap dari pihak lain itu adalah relatif. Ada yang jengkel karena janjinya dilanggar dan ada yang biasa saja. Moral selalu berupaya untuk mencari jawaban: bagaimana seharusnya manusia berbuat terhadap hal relatif itu. Maka dalam menentukan apa yang bijak dan apa yang bajik, moral berusaha meminimalisir konflik dengan menganggap bahwa pihak lain itu akan selalu marah dan jengkel apabila janjinya dilanggar. Karena secara moral, pihak lain itu berhak marah atas janji yang telah mereka buat bersama apabila tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.
Apakah Hubungan Seksual Di luar Perkawinan Bermoral?
Dengan dua analogi di atas, maka jawaban yang tepat mengenai hubungan seksual di luar perkawinan adalah perbuatan tidak bermoral apabila mengacu pada analogi yang kedua. Perawan adalah sesuatu yang masih dianggap sakral di Indonesia. Sesuatu yang istimewa, yang keberadaannya tidak bisa dibuat-buat. Dan apabila sudah direnggut tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula.
Mindset laki-laki di Indonesia jika pada malam pertama istrinya tidak perawan, mereka cenderung kecewa dan ini akan mempengaruhi usia perkawinan dan keharmonisan rumah tangga. Walaupun mindset ini tidak bisa disamaratakan terhadap semua laki-laki di Indonesia. Namun, moral selalu berupaya menghindari konflik dan menganggap bahwa semua laki-laki akan kecewa apabila pada malam pertama istrinya sudah tidak perawan.
Begitu juga dalam agama. Agama berupaya meminimalisir konflik antar ciptaan-Nya dengan melarang perbuatan itu. Agar tidak terjadi saling bunuh-membunuh karena perawan istrinya telah direnggut mantan pacar istrinya, misalnya.
Berbeda dengan keadaan di Eropa dan Amerika. Di Eropa dan Amerika moral sudah berkembang. Mindset laki-laki di sana apabila pada malam pertama istrinya sudah tidak perawan lagi dan ketidakperawanan itu bukan ulahnya, mereka tidak merasa kecewa dan usia perkawinan mereka tidak terpengaruhi. Moral di Barat menganggap bahwa semua laki-laki tidak akan kecewa apabila pada malam pertama istrinya sudah tidak perawan karena ulahnya. Maka tak ada konflik moral di sana, sehingga hubungan seksual di luar perkawinan dianggap sebagai perbuatan yang tak melanggar moral.
Menjawab Pertanyaan Si Pria, Lanjut atau Tidak?
Apakah si pria harus lanjut atau tidak?
Begini. Masa lalu adalah hal yang tidak akan bisa dikembalikan seperti semula. Kata Pak Habibi saat di wawancarai Najwa Shihab, "Masa lampau adalah milikmu, dan milik saya. Masa depan adalah milik kita bersama."¹⁵ Maka analogi pertama akan saya gunakan untuk menjawab pertanyaan ini.
¹⁵ Youtube: Najwa Shihab, https://youtu.be/kTVThl0_h7Q, "Eyang Habibie Menjawab soal Cinta, Patah Hati, dan Pengabdi Mantan", diakses tanggal 4 Juni 2023.
Sama seperti uang kembalian yang berlebihan dari Z. Masa lalu tentang pacar si pria yang sudah tidak perawan adalah hak dari pacar si pria (kata Pak Habibi). Si pria seperti X, yang menerima kelebihan, yakni informasi tentang masa lalu pacarnya yang tidak diketahui orang banyak. Masa lalu itu adalah hak milik pacar si pria. Mau bagaimana pun, dengan cara apapun, masa lalunya tak bisa diulang. Maka biarkan itu selalu menjadi milik pacar si pria. Jagalah aibnya.
Di sisi lain, si pria berhak menolak untuk melanjutkan hubungan ke arah jenjang serius. Seperti analogi kedua, untuk meminimalisir konflik, moral mengatakan si pria berhak untuk memutuskan hubungan. Dengan syarat, jagalah aibnya.
Mudahnya dalam menentukan lanjut atau tidaknya hubungan ini adalah dengan memastikan diri si pria, masih adakah keraguan pada dirinya tentang perasaannya. Kalaupun masih ada, walaupun merasa masih cinta, maka jawabannya jelas, lebih baik tidak lanjut. Karena cinta, seyogianya tidak menimbulkan keraguan sedikitpun. Keraguan itu adalah bentuk dari kalkulasi-kalkulasi yang telah si pria buat dalam pikirannya sendiri. Kata Sujiwo Tejo, cinta itu bukan kalkulasi.¹⁶ Maka pesan untuk si pria sebelum memutuskan perkara ini adalah pastikan terlebih dulu, apakah ini cinta atau bukan.
¹⁶ Youtube: Sujiwo Tejo, https://youtu.be/DigbOQiYFMA, "Airmata Sahila Hisyam di Mataku: Kegagalan Cinta Gandari", diakses tanggal 4 Juni 2023.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Suseno, Dr. Franz von Magnis. "Etika Umum: masalah-masalah pokok filsafat moral". Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984.
Nazaruddin, Ietje. "Pengaruh Religiositas, Relativisme dan Idealisme terhadap Penalaran Moral dan Perilaku Manajemen Laba". JAAI. Volume 16 Nomor 1. Juni 2012.
Youtube: Najwa Shihab, https://youtu.be/kTVThl0_h7Q, "Eyang Habibie Menjawab soal Cinta, Patah Hati, dan Pengabdi Mantan", diakses tanggal 4 Juni 2023.
Youtube: Sujiwo Tejo, https://youtu.be/DigbOQiYFMA, "Airmata Sahila Hisyam di Mataku: Kegagalan Cinta Gandari", diakses tanggal 4 Juni 2023.