Jiwa & Raga

Tidak ada komentar

“Jiwa & Raga”

Ada hal imajinatif di dalam pikiranku. Mengandaikan tentang dunia ini telah berakhir. Seluruh dunia dan isinya hancur. Kiamat sudah terjadi. Segalanya sudah kulewati. Perhitungan, administrasi, dan lain-lainnya. Lalu kududuk di atas sebuah bukit. Memandang lautan yang indah. Tuhan muncul dari balik punggungku. Memegang pundakku dan berkata, “Kerja bagus. Selamat atas keselamatanmu.”

Kupejamkan mata sejenak dan menghela napas. Seketika semuanya mendadak berbeda. Laut yang kupandang tadi berubah menjadi kehancuran. Gunung berterbangan. Ombak menghantam daratan, disertai dengan angin yang menari-nari bersama puing-puing bangunan. Aku melihat ragaku di sana. Dia hancur berkeping-keping. Tertindih reruntuhan, dan lenyap di dalam api.

Raga itu dulu kujaga, kucintai, dan kubanggakan wajahnya. Yang tiap malam kurawat dengan retinol dan krim anti aging. Yang siangnya selalu kuberi pelambab dan sunscreen. Ternyata hanyalah sebuah objek yang bisa hancur tak tersisa dalam kedipan mata. Yang tersisa hanya jiwa. Jiwa yang selama ini juga kupelihara. Jiwa yang lapar, yang selalu penasaran akan banyak hal. Waktu tak pernah mengenyangkannya.

Fenomena ini membuatku sadar bahwa bumi hanyalah objek yang kecil dan terbatas. Demikian halnya dengan raga. Sangat kecil dan sangat terbatas.

Tapi aku tak menyesal merawat raga. Aku tak menyesal mencintainya. Merawatnya justru sebuah keharusan. Sebagai bentuk apresiasi kepada Tuhan, yang telah menciptakan raga untukku.

Raga juga yang dapat membuatku melangkah jauh untuk memuaskan jiwa. Yang dapat mempertemukan aku dengan kekasihku, istriku yang kucinta, sekaligus guruku yang memanduku dalam hal memahami akan berbagai macam ekspresi.

Tanpa raga aku takkan bisa bertemu dengan istriku. Tanpa raga, aku hanyalah jiwa yang telanjang dan transparan. Hanya sebuah ide tanpa pengaktualisasian. Karena tak ada manusia yang bisa melihat ketalanjangan jiwa. Bahkan aku sendiri tak bisa melihat jiwaku sendiri.

Raga adalah objek yang menunjukkan eksistensiku. Dan dalam upaya itu, aku berusaha menunjukkannya dengan sebaik-baiknya. Merawatnya, menjaganya.

Namun, mengabaikan jiwa demi raga adalah sebuah sikap ketidakbijaksanaan yang takkan bisa kumaafkan. Bahkan tak dimaafkan pula oleh-Nya.

Hidup memang rumit. Harus merawat raga, juga harus mengenyangkan jiwa. Prosesnya melelahkan. Tak ada kepastian di dalamnya. Termasuk jawaban benar untuk pertanyaan-pertanyaan soal hidup. Satu-satunya yang pasti adalah bahwa bumi memiliki batas dan pasti berakhir. Demikian halnya dengan raga. Manusia diminta untuk selalu siap akan ajalnya. Maka kupersiapkan jiwa terbaikku (untuk kehidupan selanjutnya). Dan juga kupersiapkan raga terbaikku (untuk penghancuran yang lebih indah).

Tuhan masih dibelakangku. Dia menepuk pundakku dua kali dan berkata, “Mari, menuju di kehidupanmu selanjutnya.” Aku berbalik, berjalan meninggalkan ragaku. Mengikuti langkah Tuhan, menuju ke tempat kekal. Tempat untuk kehidupanku selanjutnya.

*

Tulisan ini terinspirasi dari beberapa kultum yang telah kudengar. Jiwa dan raga hanyalah sebuah analogi untuk rasio dan spiritualku (dalam hal ini adalah agama). Aku terlalu mencintai rasionalku dan menjadi keras terhadap spiritualku. Padahal keduanya dapat dikolaborasikan. Rasional dapat menambah keimananku, dan spiritual dapat memperindah rasionalku.


Sukoharjo,

9 April 2023

Komentar