Ica, dalam sunyi di atas sini, ada hal yang ingin kuutarakan kepadamu. Sudah kusiapkan pena dan kertas terbaik agar tulisan ini abadi. Sebagaimana aku, yang ingin abadi di dalam ingatanmu. Kutulis sebuah surat untukmu selagi yang lainnya beristirahat di dalam tenda. Tak ada lagi sosok lain di luar tenda. Hanya aku dan kamu—dalam wujud khayalanku.
Dari dalam tenda yang berada di balik punggungku, kudengar dengkuran Ujang dan Fadil. Dengkuran mereka saling bersautan. Seperti yang pernah kita berdua dengar ketika makrab di kota Jogja. Kamu mengeluhkannya, karena membuatmu sulit tidur. "Bahkan dalam tidur pun mereka masih saling berargumen," katamu. Dari dulu mereka berdua memang tak pernah bisa disatukan. Namun hanya kamu seorang yang dapat membuat mereka berdua tunduk, taat, dan patuh.
Di tenda seberang, Ariel, Ucok, dan Danar sudah tak bersuara. Jalur yang kami lalui tadi begitu berat, terutama bagi mereka bertiga. Aku pun sebenarnya juga lelah. Tapi masih ingin duduk di depan tenda, menghadap lampu-lampu kota. Dan sesekali melihat langit yang sedang dipenuhi bintang-bintang. Perpaduan mereka sangat indah, Ca. Ingin kuperlihatkan pemandangan ini kepadamu. Namun hasil foto tak terlihat maksimal sebagaimana mata memandang. Kuharap suatu saat nanti kamu dapat melihat pemandangan ini di sini.
Walaupun gemerlap cahaya itu berhasil membuatku terpukau, entah kenapa justru kesepian yang mendominasi perasaanku. Gunung ini masih belantara, jarang dijamah pendaki. Di pos ini hanya ada kelompok kami. Sepanjang perjalanan kami hanya berpapasan seorang saja. Apa mungkin muasalku kesepian karena gunung ini. Ia mempengaruhi psikisku dengan fenomena alamnya.
Kulihat jam pada tanganku. Ia menunjukkan angka 20:42. Pada jam segini kita biasa habiskan waktu ke Burjo Andalas andalan kita. Atau makan nasi pecel Madiun Mpok Marni. Kita habiskan malam dengan berbagi keluh dan kesah kehidupan kita sehari-hari. Kadang juga untuk berdebat soal bacaan maupun lagu-lagu yang sedang kita sukai. Sekarang kuberada jauh di atasmu, Ca. Sekarang kamu pasti lagi main sama Lala, 'kan. Jangan lupa pakai jaket, Ca. Jangan ngeyel. Dinginnya angin malam, walau nggak kerasa, tetap membahayakan badan kamu. Kata Dr. Burhan gitu. Bisa bikin ISPA.
Nggak usah kamu cari kutipan angin malam dari Dr. Burhan. Aku tau kamu tipikal yang nggak mudah percaya. Iya, Dr. Burhan itu cuman karangan aja. Tapi soal bahaya angin malam itu bukan mitos, Ca. Jangan bandel.
*
Kudengar suara angin malam yang seperti orang sedang beradu pedang. Kencang dan menyeramkan. Sudah kukenakan sleeping bag, sudah kukenakan jaket, kaki kubalut dengan dua pasang kaos kaki, bahkan telinga sudah kututup dengan kupluk, tapi angin masih bisa menembusnya. Mereka merasuk ke dalam tubuhku dan aku tak diberi ampun sama sekali. Walaupun begitu ku masih ingin duduk di sini. Dan beradu dengan sepi.
Ingin rasanya membuang sepi. Meninggalkannya di gunung ini. Tapi, naif jika kumenolak keberadaannya. Sepi sudah menjadi bagian dari diriku. Dia termasuk kenanganku. Tak bisa kumelepaskannya. Satu-satunya cara adalah menerimanya. Jika kumenolak sepi, maka kumenyesali masa laluku. Sedangkan aku tak ingin menyesal, Ca.
Aku tau, akulah akar masalahnya. Sebagaimana yang kamu katakan, akulah yang harus membiasakan diri. Akulah yang harus mencoba 'pembaruan hidup' (seperti kata Nietzsche). Mencoba bertemu dengan orang-orang baru. Mengenal hobi baru. Dan menemukan kekasih baru sebagai pendengarku. Kupikir akan mudah. Dan kupikir kubisa melakukannya. Namun ketika kumulai naik gunung lagi, tiba-tiba perasaan itu muncul lagi.
Kenangan itu terlintas begitu saja di dalam kepala. Padahal ku tak mengharapkannya hadir. Akan menyakitkan jika kuberusaha menolaknya hadir. Maka kubiarkan si kenangan menunjukkan eksistensinya, dengan berjalan di depanku, memandang gemerlap langit penuh bintang. Ia balikkan badan dan beralih memandangku. "Bintangnya cakep, Lif. Tapi tak setampan kamu." Kutersipu malu oleh rayuannya. Apalagi oleh senyumnya yang mengembang diantara dua pipinya yang tembam. "Will u always be my star?" rayunya lagi.
*
Ica, katamu bintang jatuh akan mengabulkan segala permintaan kita. Kamu mempercayainya karena Ptolemy yang mengemukakan teori itu. Malam ini banyak bintang yang jatuh di hadapanku. Dan ada satu permintaan yang sangat ingin kuharapkan terjadi. Namun ini permintaan yang sulit. Sekalipun yang jatuh adalah seribu bintang, mustahil teori Ptolemy ini berhasil. Seribu bintang takkan cukup, karena dia bernilai lebih dari seribu bintang. Dia adalah pusat dari segala yang indah. Tak ada bayaran yang sepadan untuk mengharapkannya kembali.
Kuingin mengatakan banyak hal kepadamu melalui pesan ini. Namun pesan ini takkan cukup untuk mengeluhkan seluruh isi kepala dan perasaanku. Akan butuh lebih dari seratus malam untuk mengungkapkannya. I'm done, Ca. Kusudah coba melakukan yang terbaik buat kita, tapi tak kutemukan formula yang tepat. Maaf telah membohongimu, dengan menyatakan bahwa kusudah berdamai kenangan. Kenyataannya ku masih berputar-putar di tempat yang sama.
Kenanganku sama seperti bintang-bintang ini. Mereka sangat banyak dan indah-indah. Kenanganku juga sama seperti angin malam ini, suara seramnya selalu ribut di dalam kepala. Padahal kusudah pakai hobiku tuk meredupkannya. Padahal kusudah gunakan teman-temanku tuk mengalihkannya. Dan padahal kusudah jadikan kamu tuk melupakannya. Kenyataannya kenangan itu masih merasuki tubuh dan aku tak diberi ampun sama sekali.
Kusudah mencoba melepaskan si kenangan, tetapi melepaskannya membuatku semakin tersiksa. Maaf, Ca. Sudah kuputuskan bahwa aku takkan turun dan kita mungkin takkan bertemu lagi. Aku akan tinggal di sini untuk selama-lamanya, berdua bersama kenanganku. Terima kasih atas waktumu selama ini. Terima kasih atas upayamu membahagiakanku. Terima kasih banyak atas segala hal yang kau berikan untukku. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Kini waktunya perpisahan kita tiba. Selamat tinggal, Ica.