Hujan mengawali musimnya ketika aku sedang berada di kampus tepat ketika kelas terakhirku selesai. Langit memang sudah mendung sejak tadi siang. Sialnya, hujan datang lebih dulu sebelum kelasku usai. Antara tempat parkir dan gedung Fakultas, terpisah tanpa ada atap yang menuntunnya. Sore itu terpaksa aku menunggu hujan di sudut bagian dalam gedung. Sudut bagian dalam gedung adalah tempat yang tepat untuk membaca buku. Di sini sunyi dan agak gelap—karena hujan. Suhunya tidak begitu dingin, malah segar—karena hujan. Tapi—karena hujan—nyamuk-nyamuk ikut berteduh di sini. Untungnya aku mengenakan lengan panjang, sehingga serangan nyamuk dapat kuatasi. Justru yang tak dapat kuatasi adalah Ica. Dia baru saja tiba dan duduk di seberang meja. Kedatangannya merusak keintimanku membaca buku. Aku tak dapat fokus karena dia datang dengan gerombolannya. Grup perempuan yang berisiknya minta ampun. Selain gerombolan Ica, banyak gerombolan-gerombolan lain juga datang. Mereka ikut menunggu hujan di sekitar sudut bagian dalam gedung.
Aku tidak memiliki kehendak menyuruh mereka untuk diam. Karena di sudut ini tak ada larangan untuk berisik. Aku juga tak bisa menyuruh mereka untuk memahamiku yang sedang membaca buku. Justru akan merepotkan jika berselisih paham dengan mereka. Apalagi mereka perempuan dan mereka berjumlah banyak. Satu-satunya cara adalah menggunakan earphone untuk mengganti suara bising mereka dengan suara lantunan piano Franz Schubert. Inilah cara bagaimana aku menjaga kenyamananku dengan juga menjaga kenyamanan mereka, yang mayoritas.
***
Buku yang kubaca mendadak gelap. Sosok bayangan telah menutupi bukuku. Ia menghalangi arah datangnya cahaya. Aku menengadahkan mukaku ke arah sosok itu. Ternyata sosok yang menghalangi arah datangnya cahaya adalah Ica. Ia berpindah meja, dan duduk di depanku. Sekarang kami satu meja.
"Maaf," katanya, setelah menyadari bahwa tubuhnya menghalangi arah datangnya cahaya. Ia berdiri lagi. "Bolehkah aku duduk di sini?", tanyanya seraya menunjuk bangku di kananku.
Tak ada pilihan lain bagiku selain menjawab, "Ya, silakan." Aku menggeser posisi dudukku ke kiri. Kali ini kami semeja dan sebangku.
***
Kututup bukuku. Jika semakin kupaksa membaca, semakin tidak masuk di kepala. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi penyebab ketidakfokusanku memang karena Ica. Dia cukup populer di kampus. Tak hanya karena kecantikannya, sifatnya yang sulit ditaklukkan juga membuat banyak laki-laki penasaran dan ingin memilikinya. Banyak desas-desus yang menyatakan: apabila ada yang berhasil berpacaran dengan Ica, atau hanya dekat sekalipun, dia akan menjadi laki-laki nomor satu di kampus. Dia akan mendapatkan privilege berupa pelayanan apapun di kampus. Termasuk makan gratis di kantin. Semua itu dilakukan oleh para lelaki pemuja Ica. Itulah kenapa saat ini banyak yang sedang melihat kami. Mungkin Ica sudah terbiasa dengan keadaan semacam ini. Dia masih sibuk membaca bukunya. Tapi bagiku tatapan-tatapan mereka mengganggu. Seberusaha apapun aku membaca buku, berkali-kali stuck di kalimat yang sama. Aku risih dengan puluhan mata yang sedang mengawasi kami.
"Hei," sapaku. "Ini hanya asumsiku. Apakah kamu menyukai Dedes karena sebenarnya kalian mirip?"
Ica terdiam, menghela napas. Ia letakkan bukunya di atas meja, kemudian menoleh ke arahku. "Maksudmu apa?"
"Maaf, sudah lancang. Banyak orang terus-terusan menatapmu. Kurasa kamu dan Dedes mirip, terutama soal cantik dan menjadi pusat perhatian."
"Menurutmu, apakah aku cantik?"
Aku diam sejenak. Kupandangi dia dengan seksama. Dia pun merelakan dirinya kupandangi. Kita berdua saling memandangi satu sama lain.
"Entahlah. Terlalu abstrak."
"Jadi, aku tidak cantik?"
Aku terdiam.
"Jahat." Tuduh Ica. "Bagi kebanyakan perempuan, words of affirmation itu penting tauk."
Aku tak segera menjawab.
"Kamu termasuk kebanyakan perempuan?" Tanyaku.
Kali ini Ica yang diam, mengerti apa yang kumaksud. Ia kembali meraih bukunya, dan mengacuhkanku.
"Ini hanya asumsiku lagi. Kamu keliatan capek dengan label 'cantik'."
"Kamu terlalu mengada-ngada," jawabnya, dengan raut datar dan sibuk membaca bukunya lagi.
"Dari caramu pindah ke mejaku, keliatan sekali kalau cantik itu berisik."
Ica diam.
"Mau dengerin lagu ga?", aku ulurkan earphoneku. Ica tersentak, lantas menatapku. "Nih," kupasangkan earphone pada telinganya. Ica tak melawan.
"Kamu suka aku, ya?" Tuduh Ica lagi.
"Hah? Apa-apaan. Orang kamu sendiri yang ke sini."
"Kenapa berbuat sampai begini?"
"Emangnya berbuat baik konotasinya selalu berusaha deketin, ya?"
Ica diam lagi, melanjutkan bacaannya.
***
Aku mengemas bukuku ke dalam tas. Ica mengamatiku yang tengah sibuk merapikan isi tas.
"Mau pulang?"
"Iya. Pakai aja earphonenya."
"Nggak ah. Males balikinnya."
"Ya harus balikin lah."
"Tuh kan sengaja, biar ketemu lagi. Kamu beneran suka aku, kan?"
"Apaan sih. Orang se-fakultas juga."
Aku selesai mengemas barangku. Kutinggalkan Ica dalam keramaian.
***
Hujan masih mengguyur deras. Aku berhenti sebentar di depan lobi fakultas. Menghela napas sebelum memaksakan diri menerobos hujan.
Satu, dua, ti-,
"Oy," seseorang menepuk pundakku. "Payung buatmu, pakailah."
"Apa-apaan nih," gerutuku dalam hati.
Orang itu mengulurkan payung.
Tanpa pikir panjang, kuterima uluran payung tersebut. Orang itu kemudian berlalu begitu saja. Tidak begitu jelas maksudnya apa. Tapi tak apalah. Setidaknya berkat orang itu aku tak perlu basah-basahan menghadapi hujan. "Terima kasih mas!", teriakku. Orang itu hanya mengancungkan jempol tanpa berbalik kearahku.
***
Tak ada jeda, hujan terus mengguyur bumi sampai dini hari. Dia bersenang-senang di hari pertamanya. Seperti suami-istri yang lama tak bersua. Tak ada istirahat untuk bergumul memenuhi kerinduan raga. Pun dengan smartphoneku, tak ada hentinya menerima pesan. Ujang mengirim banyak pesan. Jika itu darurat, dia akan menelpon. Dia hanya mengirim pesan, maka konklusinya: "tidak penting." Terlalu pagi membacanya. Lebih baik aku bersiap tidur.