Lima ekor Ikan Koki

Tidak ada komentar

Lima Ikan Koki

Tahun ini aku berumur dua puluh lima tahun. Usia dimana kebanyakan orang sudah menikah, atau baru mempersiapkannya. Usia dimana orang-orang merencanakan masa depan yang cerah. Tak sepertiku, yang belum lulus kuliah. Sebetulnya mata kuliahku sudah selesai lama, tertib sesuai waktunya. Tinggal skripsi yang tak kunjung tamat. Padahal aku termasuk orang-orang yang paling awal menyelesaikan seminar proposal ketika masih semester tujuh. Entah Tuhan mengujiku, atau menghukumku, keduanya adalah hal yang tak kusukai.

Aku tak bisa membenci-Nya. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia yang lebih mengerti tentangku, apa yang baik untukku dan menjauhkan yang tak perlu untukku. Aku hanyalah hamba-Nya. Tapi pertanyaannya: apakah sarjana hukumku tak kuperlukan? Apa yang Tuhan coba jauhkan padaku? Kesombonganku? Aku tak bisa menjawab. Tak kucari jawaban atas pertanyaan itu. Aku menyibukkan diri menyelesaikan skripsi dan mengembangkan bisnis bersama abang. Itu lebih bijak daripada berusaha mencari jawaban dari pertanyaan abstrak itu.

*

Aku melamun di depan kaca, yang di baliknya terdapat ikan-ikan. Mereka mendekat tepat di depan wajahku—kecuali satu ikan. Mereka berkumpul di sini, seolah-olah seperti sedang memberikan wejangan hidup untukku—kecuali satu ikan. Aku pura-pura mendengarkannya, sambil memberi mereka makan.

Mereka adalah koki, bukan juru masak.

Tubuh mereka beraneka ragam. Ada yang gemuk juga ada yang kurus. Warna tubuhnya dominan oranye kemerahan. Seperti jeruk yang bisa berenang. Mobilitas mereka lambat. Tak ada keistimewaan pada jenis ikan ini. Namun aku menyukainya.

Kuletakkan ikan koki di dalam aquarium yang berukuran lima puluh sentimeter. Jumlah mereka hanya lima ekor. Tak ada hiasan di dalamnya. Hanya ikan dan gelembung buatan untuk mereka bernafas. Kubuat seminimalis mungkin, agar terlihat elegan.

Salah satu dari mereka bertubuh besar. Dia yang paling kuat. Selalu menang berebut makanan. Egois adalah keutamaan sifatnya. Dia yang suka memakiku. Membentakku. Mebodoh-bodohiku. Dia yang mendesakku untuk terus mencintai dunia. "Jangan dilalaikan, bodoh!" Katanya.

Ada juga yang paling kecil. Tubuhnya kecil bukan karena usianya yang masih muda. Dia kalah bersaing dengan koki-koki lain ketika berebut makanan. Dia jadikan kelemahannya itu sebagai bentuk putusan dari Tuhan. "Inilah yang ditakdirkan Tuhan kepadaku," katanya. Maka, dia simpan tenaganya untuk hal lain. Seperti mengolah batin, mengontrol emosi, dan hal-hal yang berkaitan dengan jiwa. Dia suka mengobrol denganku ketika yang lain sedang tidur. Sifat aslinya cerewet. Tapi dia menyimpannya rapat-rapat dan mengeluarkannya di waktu sepi. Dia bisa bertahan karena sisa-sisa makanan datang kepadanya dengan sendirinya. Baginya itu sudah lebih dari cukup, walaupun tak mengenyangkannya.

Ada yang ukurannya normal. Tidak gemuk, juga tidak terlalu kurus. Jika dibuat urutan sesuai besar tubuh, koki ini berada di posisi ketiga. Warnanya setengah oranye dan setengah putih. Tak seperti si paling kecil yang suka menyimpan tenaganya. Ketika kuberi makan, koki ini berusaha mendapatkannya. Tapi juga tidak seperti si paling besar, yang tamak. Nomor tiga adalah koki yang beretika. Dia mengambil makanan dengan moral, dengan tidak merebut milik ikan lainnya. Keutamaan sifatnya adalah sabar dan teguh.

Nomor tiga jarang berbicara. Dia juga tak suka mengatur. Baginya, kehidupan yang dijalani orang lain adalah benar. Akan menjadi salah apabila mereka menyesalinya. "Maka dari itu, jangan menyesali perbuatan di masa lalu. Bersabarlah dan jangan berhenti berjuangan," katanya.

Paling besar nomor dua, tubuhnya gempal. Dia tak rakus seperti nomor satu. Ketika makanan ditabur, dia berusaha mendapatkannya. Dia seperti ketua di dalam aquarium ini. Dan hanya dia yang berani mendebat si nomor satu, si ego.

Warna tubuhnya dipenuhi oranye. Sirip-siripnya juga panjang. Dia koki yang cerdas. Setiap kali makanan ditabur, dia langsung mencermati peluang yang akan ia dapatkan dengan memperhatikan arus air. Sehingga ia mendapatkan banyak makanan tanpa berebut dengan rekan-rekannya.

Dia juga yang memberikan sisa makanan kepada si paling kurus, tapi berpura-pura bahwa dia tidak melakukannya, atau pura-pura tak sengaja melakukannya. Hal ini karena sentimen si paling kurus. "Makanlah. Aku sudah kenyang. Mungkin ini dari Tuhanmu," katanya kepada si paling kurus dengan ekspresi pura-pura kekenyangan.

Dan yang terakhir adalah si nomor empat. Dia paling kecil setelah si paling kurus. Warna tubuhnya dominan putih. Dia adalah ikan pendatang, yang baru saja kubeli dan kumasukkan ke dalam aquarium. Dialah ikan yang sering mengalami kesialan.

Beberapa kali ditabur makanan, dia berusaha mendapatkannya dengan gegabah. Tidak memperhatikan kencangnya arus, juga tidak melihat kemampuan fisiknya. Dia jadi ikan yang paling payah, mudah lelah, dan selalu kalah dalam berbagai hal. Seakan-akan nasib sial melekat padanya.

Koki yang terakhir ini suka berekspetasi tinggi. Mungkin kesialan itu sebenarnya tidak ada padanya. Tapi karena ekspetasi yang ia bentuk, tanpa memperhatikan kemampuannya, membuatnya seolah-olah mengalami kesialan.

Seru memiliki koki yang karakternya berbeda-beda. Ada:
  1. Koki egois, rakus, pecinta duniawi, ambisius
  2. Koki bijaksana, cerdas, pandai mengatur skala prioritas
  3. Koki sabar, teguh, tangguh, bermoral
  4. Koki gegabah, suka sial
  5. Koki spiritual, "nerimo", tidak ambis
*

Adzan magrib berkumandang. Bapak memanggil, menyebabkan lamunanku di depan cermin terhenti. Segera ku menuju meja makan dan membatalkan puasa.

Komentar