Gelap. Gelap. Gelap. Aneh, aku tak bisa menggunakan penglihatanku, apakah mataku buta? Telingaku juga tak mendengarkan suara apa-apa selain dengungan dari sisi kiri. Dimanakah aku?
Seingatku, sekumpulan polisi menghajarku, dan Nindy berteriak memohon pertolongan. Sebisa mungkin aku melindungi diri dari stick button para keparat ini. Sudah keroyokan, pakai alat lagi. Pengecut.
Mereka tiba-tiba menyergap, saat aku mengantar Nindy pulang. Padahal aku bukan teroris. Bukan mata-mata. Bukan pegawai KPK. Juga bukan demonstran. Aku hanya seorang jurnalis.
Yang kutulis pun bukan kritikan untuk pejabat atau kepala pemerintahan. Juga bukan kasus-kasus besar. Aku adalah jurnalis olahraga. Dan kebanyakan tulisanku mengenai sepak bola. Mengapa polisi-polisi itu menghajarku. Tak kutemukan jawabannya. Otakku lebih berfokus pada arah pukulan keparat-keparat ini.
Tanganku tak mampu menangkis lagi. Lebam-lebam melemahkan syarafku. Gerakanku melambat. Mereka justru makin bersemangat. Nindy menangis dan terus memohon pertolongan. Aku tak kuat lagi menahan serangan. Itulah ingatan terakhirku.
***
Kubuka mataku. Nampak orang-orang mengelilingku. Mereka mengenakan masker dan penutup kepala. Baju mereka sama. Warnanya pun sama, biru.
Suara dengung di kiriku memudar. Penglihatanku juga. Orang-orang yang mulanya terlihat sangat jelas, berangsur samar. Sepertinya aku mengantuk. Mataku sudah tak kuat. Aku sudah tak kuat.