Keadaan berubah begitu cepat. Dalam bahagiaku, telah dipersiapkan momen buruk untukku. Tawa-tawaku sebelumnya tak begitu berarti lagi. Aku ingin sekali mati. Maaf, membuat keputusan yang begitu jahat Lif. Aku sudah tak mampu lagi menahan kesedihan ini. Dan tak ingin kubagikan kepadamu. Aku tak tau harus berbuat apa. Kedua-duanya menghasilkan keputusan jahat untukmu. Maafkan aku Lif.
***
Alif, apakah kamu ingat saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu kamu lugu sekali. Canggung ketika berkenalan. Gemas kalau mengingatnya, hehe.
Kamu selalu membanggakan pertemuan pertama kita kepada setiap orang, saat mereka menanyakannya. Kamu masih dengan rambut cepak ketika masa orientasi. Menjadi pahlawan ketika aku dihakimi kakak kelas. Rela menghadap matahari, memberikan hormat kepada bendera, demi menggantikanku yang saat itu lemah sekali.
Aku berterima kasih atas pengertianmu. Padahal kita tak saling mengenal saat itu. Selalu saja dalam setiap cerita, kamu membanggakan instingmu yang terlampau peka. Tahu aku sedang lemah. Dan dengan konyol membentak kakak kelas yang memarahiku.
Aku tersanjung. Tapi tubuhku lemah. Aku tak bisa membalas kebaikanmu pada saat itu. Maka kudatangi kelasmu pada esoknya, dan kuberikan minuman untukmu.
Haha, saat itu mukamu membeku. Gagap ketika bicara. Kamu malu, karena semua teman-teman kelasmu menatap kita. Inilah balasan konyolku untukmu. Satu sama.
Sejak saat itu kita berdua dianggap seperti sepasang kekasih di sekolah. Gosip mudah sekali menyebar di putih abu-abu. Mulanya apa yang dilontarkan teman-teman bukanlah gangguan berarti bagiku. Tapi tidak untukmu. Rupanya kamu merasa risih terhadap gosip-gosip itu.
Aku tidak tau apa yang ada dipikiran anak laki-laki ketika ia tiba-tiba dijodohkan dengan seorang gadis pada waktu SMA. Apalagi seorang gadis yang sepertiku. Sikapmu itu membuatku merasa sedih. Rasanya aku seperti perempuan terjelek di sekolah ini.
Maka aku pun ikut terganggu. Tak ada lagi senyuman, tak ada lagi tawa. Hambar, tak ada yang spesial. Sekolah menjadi tempat yang menyebalkan. Kupikir masa putih abu-abu akan seru. Ternyata belum ada satu semester rasanya sudah memuakkan.
Mungkin karena orang yang pertama kali membuatku tersanjung menjauhiku. Bahkan membenciku. Itu merusak semua imajinasiku tentang masa-masa SMA. Aku terlalu banyak membaca cerpen dan novel. Membuat ekspetasiku terlalu tinggi. Lalu terpatahkan oleh realita. Aku jadi sangat kecewa.
Tapi, sekali lagi dengan instingmu yang hebat, kamu merasakan perubahanku. Dari arah yang berlawanan, ketika pergantian jam pelajaran, ketika aku dan Nindy ingin ke kamar mandi, tiba-tiba kamu menggenggam tanganku tepat ketika kita berpapasan.
"Aku pinjam dia sebentar", katamu kepada Nindy. Tentu Nindy membeku. Pun juga aku. Kamu mengagetkan kami.
Kamu membawaku ke tempat yang sepi. Momen itu mengharukanku Lif. Pernyataanmu tak pernah kuduga. Karena aku tak memiliki insting yang hebat sepertimu.
Saat itu kamu jujur bahwa kamu merasa kesal ketika dijodohkan. Tapi entah kenapa kamu semakin kesal ketika aku menjadi muram. Kekesalan itu tak kamu temukan penyebabnya. Lalu kamu katakan kepadaku, "Rasanya aku jatuh cinta kepadamu Ca'."
Huh, apa-apaan ini. Mulanya kupikir kemuramanku saat itu disebabkan karena aku gadis yang jelek. Tapi semakin lama semakin kusadari bahwa penyebab utamanya karena merasa ditolak olehmu Lif. Aku menepis fakta itu. Karena ku merasa ku juga jatuh cinta kepadamu. Tapi aku tak tau cara mengatakannya. Karena aku seorang gadis.
Ketika jatuh cinta, seorang gadis hanya bisa menunggu pangeran pujaannya datang. Atau malah laki-laki lain, yang bukan pangerannya, datang untuknya. Satu-satunya fakta adalah seorang gadis tak bisa berbuat banyak hal selain menunggu. Budaya memaksanya begitu.
Aku sih ingin melawan budaya itu demi kamu. Tapi ketika kita hanya digosipkan, kamu membencinya. Seolah-olah aku tak tepat untukmu. Seolah-olah aku ini buruk, jelek, dan lemah. Aku menyesal ditolong olehmu. Konyol sekali. Kenapa aku begitu naif. Aku tidak tau Lif. Mungkin aku memang jatuh cinta kepadamu. Seperti apa yang kamu rasakan, tak tau sebab kekesalanmu atas kemuramanku. Mungkin kamu rindu senyumku, kamu risih atas kesedihanku. Dan tiba-tiba kamu nyatakan bahwa kamu jatuh cinta kepadaku karena kekesalan yang tak kamu ketahui apa.
"Aku tau ini terdengar konyol. Datang-datang menyatakan perasaan ke kamu. Beri aku waktu untuk membenarkan perasaanku. Tunggulah. Biarkan aku berpikir jernih. Dan kumohon, berhentilah bersedih."
Apakah kamu ingat itu Lif? Kalimatmu entah kenapa merubah duniaku. Masa SMA yang kupikir biasa saja, malah mungkin buruk, menjadi lebih baik setelah ucapan-ucapanmu yang berhati-hati, penuh pertimbangan, dewasa, dan rasional. Bukan sebuah rayuan tapi membungahkan hatiku.
Tak ada lagi kemuraman pasca hari itu. Apalagi setelah kau benarkan perasaanmu padaku. Tak ada gosip lagi. Hubungan kita berdua adalah fakta adanya. Kamu jadi pacarku, aku jadi milikmu.
Aku baru mengerti, setelah kamu memberitahuku, bahwa kamu membenci digosipkan karena itu mengganggumu ketika membaca buku di waktu senggang. Maka, setelah kita berpacaran, tak ada yang perlu kau risaukan. Kau bisa gunakan kedua tanganmu untuk membalik buku, 'kan kututup telingamu dengan kedua tanganku.
***
Huh, mengingat kenangan kita malah membuatku bimbang. Apa yang harus aku lakukan. Aku tak bisa bunuh diri sekarang. Aku malah bahagia mengingat kenangan kita. Aku tak bisa mati dalam keadaan begini.
Lagi-lagi kamu menyelamatkanku Lif. Hebat banget. Tak salah kupernah mencintaimu. Bahkan masih. Sayang sekali, yang aku hadapi sekarang bukan kakak kelas yang menghakimi. Lebih besar lagi Lif. Dunia yang menghakimiku. Sialnya aku selalu lemah Lif. Tak pernah benar-benar kuat. Bahkan ketika berada di sisimu.
Sanksi ini akan lebih menyakitkan daripada ketika kamu menghadap matahari Lif. Tak ada penghormatan untuk perkara ini. Karena tak ada lagi kehormatan yang pantas untuk dihormati. Aku hamil Lif.
*Cover gambar oleh Andreas Vanpoucke (Instagram: @andreasvanpoucke)