Luka adalah nikmat rasa yang diberikan oleh Tuhan kepada hambanya, agar mereka belajar menyembuhkannya. Terkadang bisa meninggalkan bekas. Tapi kalau dia cerdas dan berpengalaman, bekas itu akan hilang.
Sayangnya, aku bukan orang cerdas. Ditambah, dia adalah pengalaman pertamaku. Ini kali pertama aku tersihir oleh seorang gadis. Dia bernama 'Jedai'. Bukan seorang penipu. Tapi sesosok penjajah. Ia menjajah perhatianku. Semua ini berawal karena pertemuan kami, ketika rapat mengenai acara Kemerdekaan Indonesia di tempat kami berdua tinggal.
Kami terlalu sering bertemu, dan itu menumbuhkan rasa pada jiwaku. Rasa yang tak pernah aku ketahui sebelumnya. Menggelitik tapi menyebalkan. Dibuatnya aku insomnia. Dalam pejaman detik pertama, terbayangkan senyumannya. Dalam pejaman detik kedua, terbayangkan ia menari-nari dalam keanggunan. Dan dalam pejaman detik kelima, terbayangkan kami berdua bersama: berkendara di bawah lampu remang-remang jalanan Solo; membicarakan sesuatu yang ada di kepala. Apa saja yang ada di kepala kami.
Kubuka mataku. Tak bisa kutidur dengan pikiran begini. Aku harus memiliki keberanian untuk merealisasikan imajinasi ini. Sejak bayangan itu muncul, kucoba berikan perhatian-perhatian kecil untuk Jedai. Layaknya seorang kakak yang selalu ada untuk adiknya.
Aku terlalu larut dalam kenyamanan ini. Aku tenggelam dalam kebersamaan yang semakin erat. Seperti sepasang kekasih, beberapa kali kami berdua keluar bersama. Menonton pertandingan bola, dan berkendara menjelajah kota. Sering kepalanya bersandar pada pundakku, berusaha mendengarkan kalimatku. Setiap dalam perjalanan pulang kuselalu mengajaknya berbicara. Agar kepalanya terus bersandar padaku. Sebagai tanda untukku, bahwa dia masih ada di dekatku.
Menjelang keberhasilannya dalam menimbang ilmu di perguruan tinggi, kuingin memberikan sesuatu untuknya. Tapi kubimbang. Apa yang harus kuberi. Hadiah apa yang paling tepat untuknya. Apakah bingkisan coklat sebagai pereda lelahnya berjuang selama ini. Atau sebuket bunga sebagai penyemangat untuk menghadapi jenjang hidup berikutnya. Aku tak tau. Aku tak memiliki referensi soal perempuan. Tapi aku tau kepada siapa masalah ini diselesaikan.
Dia adalah sahabat karibku. Panggil saja Api. Pengalamannya soal perempuan bisa dibilang profesional. Teori-teorinya semua benar dan tak terbantahkan. Ketika kutanyakan permasalahanku di atas, alih-alih dijawab, yang ada malah dibuat overthinking.
Bukan coklat atau bunga, tapi malah balik bertanya, kepada siapa aku jatuh cinta. Karena masih dalam keadaan bungah, kuceritakan kisah singkatku kepadanya. Kisah Jedai, pengikat hatiku.
Raut wajah Api terlihat lesu. Belum mencapai puncak cerita, ia seperti sudah menyimpulkan sesuatu. Perasaanku jadi tidak enak.
Api merasa aku terlalu berlebihan. Ini terlalu awal untuk menganggap Jedaiku memiliki rasa yang sama sepertiku. Dia tegaskan lagi bahwa kami hanya berteman. Sebatas teman yang hanya berbeda jenis kelamin, yang menyukai hobi yang sama. Dan normal jika salah satu dari kami jatuh cinta. Sekali lagi, HA-NYA SA-LAH SA-TU YA-NG ME-MI-LI-KI RA-SA, tegasnya.
Kali ini aku menolak teorinya. Bagiku apa yang telah aku alami dengan Jedai tidak seperti apa yang Api katakan. Kami berdua saling bahagia kok. Jedai juga sering memberikan perhatian-perhatian kecil kepadaku. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa kami memiliki rasa yang sama. Api tidak mengetahui lebih dalam tentang kami.
Dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia, di tempat tinggalku merayakannya dengan memutar film dokumenter kilas balik pra-kemerdekaan. Ada adegan ketika Soekarno dan Moh. Hatta mempercayai Jepang, bahwa mereka akan memberikan Kemerdekaan Indonesia dengan segera.
Akan tetapi, bagi para pejuang muda, apa yang dilakukan dua tokoh senior itu kurang efektif. Menunggu Kemerdekaan dari bangsa yang telah kalah dalam Perang Dunia Kedua adalah langkah yang beresiko. Indonesia harus merdeka dengan merebut kemerdekaan itu sendiri. Penjajahan harus segera diakhiri.
Peristiwa Rengasdengklok terjadi. Soekarno dan Moh. Hatta diculik oleh para pejuang muda. Mereka mendesak kemerdekaan segera digelar. Sudah waktunya Indonesia bebas dari penjajahan.
Jaka—sahabat karibku yang lain—dan Api menculik pikiranku. Mereka memberikan alasan logis tentang cinta. Mendesakku untuk berpikir dengan tepat. Dan memintaku bertindak dengan cepat, sebelum aku tenggelam dalam sebuah harapan.
Atas tekanan itu, aku telah nyatakan perasaanku kepada Jedai. Aku tidak bisa terlalu lama digantung seperti ini. Seperti Soekarno yang memohon kepada Jepang agar Indonesia segera dimerdekakan.
Jepang tak segera merespon. Pun juga Jedai. Bagi Jaka dan Api, menunggu jawaban Jedai adalah langkah yang beresiko. Dia yang selama ini menjajah perasaanku harus segera diakhiri. Kemerdekaan untukku layak disegerakan, kata mereka.
Sulit untuk bertindak demikian. Karena terpenjara dalam cinta begitu mengasyikkan. Aku tak menyesal telah jatuh cinta. Aku tak menyesal hanya aku yang memiliki rasa. Semua kenangan-kenangan kemarin akan kusimpan di dalam folder yang kuberi nama 'ingatan indah'. "Bekas luka yang tak terlalu buruk," kataku.
*
Di malam hari, gemuruh guntur tak ada hentinya berisik. Kupejamkan mataku demi esok yang lebih baik. Pada pejaman detik pertama, dia melepas genggamanku. Pada pejaman detik kedua, dia masih dalam penglihatanku. Lalu pada pejaman detik kelima, sudah tak ada lagi Jedai.