Aku memiliki pacar. Namanya Ica. Kami berdua memiliki hobi yang sama, yakni membaca buku. Kami sering berbagi referensi. Ica suka novel-novel yang gelap, sedih, kriminal. Seperti kasus pembunuhan, psikopat, dan hal-hal semacam itu. Sedangkan aku lebih suka buku-buku klasik, sejarah, dan sastra. Ica suka memintaku untuk membahas kembali isi buku yang sudah kubaca. Juga sebaliknya, dia suka memaksaku agar mendengarkannya menjelaskan kembali isi buku yang sudah dia baca. Diantara kami berdua, Ica memiliki rasa penasaran yang lebih besar daripada rasa penasaranku. Suatu ketika saat kami sedang berduaan, saat aku sedang mempresentasikan buku yang sudah kubaca, Ica memperhatikanku serius. Pandangannya tak beralih sedikitpun. Kubalas tatapannya sambil tetap mempresentasikan hasil bacaanku. Aku tak dapat menahan diri melihat kegemasan Ica. Kuhentikan penjelasanku, kuraih dagunya, dan kucium bibirnya segera.
Ica termasuk perempuan yang cantik. Dia tau cara berias dan berpakaian. Selalu tampak anggun ketika kami jalan. Banyak laki-laki yang mengidamkannya. Terlihat dari banyaknya kakak tingkat yang merayunya ketika kami belum berpacaran. Bahkan ada beberapa kawanku yang lebih dulu mengaguminya secara terang-terangan sebelum aku kenal Ica. Tapi bagiku, hal semacam cantik dan anggun sudah terlalu umum untuk perempuan-perempuan sekarang. Maka Ica, menurut pandangan pertamaku, adalah lumrah dan wajar. Sama dengan perempuan-perempuan lain yang banyak kutemui dimana-mana, mereka cantik dan anggun. Jika menyukai perempuan karena dua hal itu, kupikir akan membuang-buang waktu. Karena kedua hal itu bukanlah objek yang kekal. Suatu saat mereka akan menua beserta kecantikkan mereka.
Aku tak begitu tergila-gila dengan dunia, termasuk kisah-kisah romansa masa muda. Aku sudah menunaikannya di masa SMA dan itu adalah pengalaman yang cukup untukku untuk mengenal persoalan perempuan dan cinta. Di masa menuju dewasa, kugunakan waktuku secara efektif untuk mengetahui banyak hal yang berasal dari buku-buku. Akibatnya aku menyukai sejarah, sastra, dan pikiran-pikiran para tokoh besar. Pikiran-pikiran para tokoh besar adalah bacaan favoritku. Alasannya karena aku penasaran mengapa mereka bisa melahirkan pemikiran yang begitu memukau. Terlebih mereka muncul pada masa peperangan. Hidup dan mati begitu tipis, tapi mereka masih memiliki prinsip dan akal yang begitu hebat. Bagiku pemikiran mereka adalah 'cantik' dan 'anggun' yang kekal.
Aku menemukan cantik dan anggun (yang kekal) milik Ica, ketika kami berdua secara tak sengaja bertemu pada sebuah festival buku yang diselenggarakan oleh kampus. Waktu itu aku sama sekali tak mengenal Ica. Hanya sekadar tau bahwa sesosok ini bernama Ica, karena beberapa kawanku mengaguminya secara terang-terangan. Aku pergi sendirian ke festival itu. Sedangkan Ica bersama teman akrabnya, Nindy. Waktu itu kami berada di lapak buku bekas. Ica dan Nindy mendiskusikan sesuatu tentang salah satu karakter yang ada pada buku, yang sedang dipegang oleh Nindy, yakni novel karya Pram, Arok Dedes.
Nindy tak menyukai sikap orang-orang yang terlalu memuja Dedes. Dedes digambarkan sangat cantik. Memiliki liukan tubuh yang sangat indah. Body goals kalau kata orang sekarang. Menurut Nindy, seakan-akan sejak dulu kala kecantikan sudah jadi tolak ukur untuk kepopularitasan. Sebuah budaya yang tak bisa Nindy tolerir. Ia lebih menyukai Umang, istri pertama Arok dalam novel tersebut. Umang adalah orang yang paling setia kepada Arok. Bagi Nindy kesetiaan adalah hal yang paling sakral, paling sulit dilakukan. Karena akan selalu ada cobaan yang menghadang perjalanan manusia. Dan orang setia pasti akan setia menemani pasangannya, sekalipun mereka dihadang oleh masalah yang paling berat. Kesabaran orang setia sangat hebat. Dan menurut Nindy, orang setia perlu bayaran yang pantas, yang lebih dari sekadar kepopularitasan. Orang setia berhak mendapatkan lebih dari seorang suami yang setia.
Ica memiliki pendapat yang berbeda. Rupanya keduanya sama-sama sudah membaca sampai selesai novel Pram itu. Bagi Ica, Umang memang hebat dalam persoalan perasaan, kesetiaan, dan melayani Arok. Sangat istriable. Tetapi dia tak begitu suka jika seorang istri hanya mengandalkan kesetiaan saja. Karena Nindy menekankan diskusi kecil itu pada soal 'kesetiaan', maka Ica juga menekankan persoalan yang sama.
"Setia doang ga cukup. Perempuan harus memiliki rasional yang tepat, untuk mengukur apakah aku harus setia atau aku harus pergi." Tegas Ica.
Aku sependapat dengan Ica. Aku tak begitu menyukai kesetiaan karena kesetiaan tak menumbuhkan seseorang menjadi sosok yang lebih hebat. Kesetiaan juga bisa menjadi sebuah penjara. Padahal hidup tidak demikian. Hidup selalu menuntut kebenaran, bukan kesetiaan. Jika hidup menuntut kesetiaan, Galileo Galilei pasti akan mengiyakan paksaan gereja bahwa matahari-lah yang mengelilingi bumi, lalu menyangkal teorinya sendiri di hadapan pengadilan Inkuisisi¹ waktu itu. Tapi Galileo Galilei tidak demikian. Ia kekeuh pada kebenaran yang ia temukan. Ia tetap menyatakan bahwa bumi-lah yang mengelilingi matahari, walaupun ia tau bahwa resikonya adalah hukuman mati. Walaupun ia tahu bahwa kematiannya akan diputuskan pada hari itu sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum dirinya yang juga menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, dihukum mati dan dikecam sebagai bidah.²
¹Pengadilan terhadap ahli bidah oleh Gereja Katolik Roma sejak abad ke-12. Rata-rata sanksi untuk ahli bidah adalah hukuman mati.
²Dulu Gereja berpendapat bahwa bumi adalah pusat tata surya. Banyak astronomi yang menemukan teori baru dan ilmiah, bahwa matahari-lah pusat tata surya, tapi justru dihukum mati oleh pihak Gereja. Galileo Galilei adalah astronomi selanjutnya. Dia kekeuh pada penelitiannya, menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya tanpa peduli sanksi dari Gereja. Sekalipun sanksi itu adalah hukuman mati.
Seandainya Galileo Galilei menyangkal teorinya sendiri dan memilih setia kepada gereja, mungkin umat manusia sekarang masih beranggapan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Teori geosentris³ masih berlaku. Dan itu menjadi pembodohan yang tak tau sampai kapan akan berakhir.
³Teori bumi sebagai pusat tata surya.
Ica menambahkan, "Aku menyukai Dedes bukan karena dia cantik dan body goals, Nin. Tapi karena dia cerdas, dan suka baca rontal. Sedangkan Umang adalah perempuan yang secara tidak sengaja pernah tinggal bareng Arok, pernah jadi adik tiri Arok. Coba dulu Arok ga tinggal di rumah keluarga Umang, tapi tinggal di samping rumahnya Umang. Yang diperistri pasti tetangganya Umang itu, bukan Umangnya. Kesetiaan terlalu abstrak, Nin. Belum tentu kekal. Cuman berdasar pada kebetulan-kebetulan. Kamu ga akan bisa hidup tenang dengan kesetiaan. Karena manusia dipenuhi prasangka."
Aku tak berani melihat mereka berdebat. Mataku hanya tertuju pada setiap buku yang ada di lapak ini. Telingaku yang bekerja mendengarkan suara mereka. Terutama suara Ica yang lembut, tidak cempreng dan juga tidak ngebass. Sangat feminim. Cocok dengan dirinya yang keras kepala. Pandanganku beralih kepada mas-mas penjaga lapak. Rupanya dia juga ikut berpendapat. "Bukankah Dedes juga orang beruntung, mbak. Dia cerdaskan karena bapaknya Mpu Parwa. Dia punya privilege, sedangkan Umang kagak. Intuisi Umang lebih mending daripada logika-logika Dedes. Bener kata mbaknya tadi, setia itu hal yang paling sulit. Maka, orang yang setia harus dapat bayaran yang pantas. Ya kan, mas?" Mas-mas lapak itu menatapku, seraya mengedipkan matanya, memintaku agar mengiyakan. Kuberanikan diri melihat Ica dan Nindy. Ternyata mereka juga menatapku, menantikan pendapat apa yang akan keluar dariku. Kulihat tatapan Ica yang sedang memandangku serius, penasaran, akankah ku iyakan mas-mas penjaga lapak, atau malah membelanya. Aku tersenyum kecil, membuang muka, dan kembali melihat buku-buku.
"Pada akhirnya keturunan Arok dan Dedeslah yang mendirikan Majapahit. Sedangkan keturunan Arok dan Umang tidak memimpin kerajaan apapun. Jadi kupikir, setia doang ga akan cukup." Aku menengok ke arah Ica lagi. Wajahnya masih serius mendengarkanku. Diliat-liat lucu juga.
Aku melanjutkan, "Dedes memiliki formula dalam hal membimbing anak-anaknya. Dan formula itu ia peroleh dari rontal-rontal bacaannya. Sayang sekali, setelah Arok memimpin Singosari, Umang tidak belajar apapun, termasuk belajar membimbing anak-anaknya. Sekali lagi, setia aja ga akan cukup."
"Tuh kan, Umang juga punya privilege mas, punya kesempatan.", timpal Ica, menebalkan penjelasanku. Dia masih mengebu-ngebu mengatakan seluruh opininya. Padahal Nindy dan mas-mas penjaga lapak sudah menyerah dalam perdebatan kecil itu. Tapi Ica tidak akan pernah berhenti sampai semua isi kepalanya keluar. Dia paling antusias diantara kami berempat. Aku hanya tersenyum kecil mendengarkannya. Pertemuan pertama itu membentuk sosok Ica yang berbeda dikepalaku, merubah kesan awalku terhadapnya. Ica tak hanya cantik dan anggun saja. Dia juga cerdas, berpengetahuan luas. Dan yang paling menarik, dia juga suka membaca buku. Jarang sekali perempuan yang kuketahui menyukai buku-buku.
Nindy juga menarik perhatianku. Sebetulnya kita berasal dari SMA yang sama. Tapi waktu itu aku tak terlalu dekat dengan Nindy. Bahkan tak pernah bertegur sapa dengannya. Aku hanya mengetahui sesosok itu adalah Nindy, karena dia terkenal akan kepintarannya. Setiap hari senin, ketika upacara bendera berlangsung, sering namanya dipanggil karena memenangkan beberapa perlombaan mewakili sekolah kami. Kupikir dia hanya suka pelajaran saja, rupanya hal-hal nonfiksi seperti Novel Pram juga dibaca olehnya.
Namun hal menarik tersebut tak membuatku terlalu penasaran kepada kedua sosok itu. Aku hanya mengagumi mereka yang masih suka membaca buku-buku. Sekadar itu. Tak ada niatan untuk berteman dengan mereka. Atau berpikiran lebih jauh dari itu. Memiliki teman perempuan? Agaknya akan merepotkan. Lebih baik begini saja. Pertemuan itu berakhir ketika Ujang, temanku, memanggilku dari kejauhan. Aku meninggalkan mereka tanpa berkata apa-apa. Toh mereka bukan kenalanku, tak ada kewajiban untuk mengucapkan salam perpisahan.
*Ilustrasi dari: Stefan Zweig TR (Instagram: stefanzweigtr)