Untuk sebagian orang, sukses itu terlihat sebagai hasil dari kerja keras. Tapi apakah pernyataan ini adalah benar? Apakah hanya dengan bekerja keras 'saja' dapat membuat seseorang menjadi sukses? Atau malah kerja keras hanyalah unsur pendukung dari kesuksesan. Sebagian orang lupa menaruh 'keberuntungan' dalam kesuksesan orang lain.
Jadi teringat obrolan Deddy Corbuzier dengan Dzawin, "Keberuntungan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kemampuan. Kemampuan bisa diasah, kesempatan bisa dicari. Maka, keberuntungan pada dasarnya bisa diciptakan." Jadi, bisa dibilang salah satu sebab kesuksesan seseorang adalah upayanya mempertemukan kesempatan dengan kemampuan. Lalu, dimana letak kerja keras dalam sebuah kesuksesan? Dalam realitasnya, ada pekerja yang disebut 'buruh'. Mereka bekerja keras 8 jam selama sehari. Apakah kerja keras itu menjadikan mereka sukses?
***
Kemampuan dan kesempatan, kedua hal itu patut dibahas untuk menuju kesuksesan. Singkatnya, kemampuan memiliki pengertian tentang kapasitas seseorang dalam melakukan sesuatu, cakap dalam bidang tertentu. Sedangkan kesempatan berkaitan dengan adanya peluang, seperti adanya lowongan pekerjaan, dan adanya relasi. Subjek perlu mencarinya, atau kalau beruntung, kesempatan bisa datang dengan sendirinya, tanpa diketahui oleh si subjek.
Mengenai kemampuan, adalah sesuatu yang diperoleh melalui berbagai metode. Ada yang mendapatkan kemampuan melalui pendidikan formal, ada yang melalui pengalamannya, ada yang melalui Youtube atau baca buku, dan lain-lain. Untuk menjadi sukses seseorang harus melalui hal tersebut. Lalu mengasahnya sedemikian rupa, yang kemudian akan menjadi dasar menuju kesuksesan. Tapi apakah semua orang memiliki kesempatan untuk mengasah kemampuan? Jika tidak, maka kesuksesan tidak diperkenankan untuk semua orang. Maka, apakah kalimat "semua orang bisa sukses" masih relevan?
Dalam beberapa realitas sosial, kemiskinan menjadi salah satu penyebab masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengasah kemampuannya. Mereka disibukkan dengan tantangan untuk bertahan hidup daripada belajar untuk mengasah kemampuan.
Hidup terlahir miskin bukanlah sebuah pilihan. Kemiskinan mau tak mau harus mereka hadapi. Utang, biaya makan, dan biaya sewa tinggal telah menghabiskan uang yang mereka dapat dari kerja keras. Tak ada sisa uang untuk mengasah kemampuan. Sedangkan kemampuan tidak bisa hanya diasah melalui dedikasi saja. Perlu adanya biaya pendidikan, perlu biaya beli buku, dan perlu waktu untuk melakukannya. Si miskin tak memiliki kesempatan itu. Mereka mencari uang untuk bertahan hidup, dan memiliki waktu hanya untuk mencari uang. Apakah masih ada kesempatan untuk si miskin menjadi sukses, padahal dia sudah bekerja keras.
Kemudian, kesempatan datang kepadanya. Tapi karena kemampuannya tidak sesuai dengan kapasitas yang diinginkan kesempatan, kesempatan itu pergi meninggalkannya. Si miskin tetap bekerja keras sampai ajalnya tiba, dan tidak memperoleh kesuksesan dunia. Ia memiliki keturunan, dan mereka hidup dengan cara yang sama seperti orang tuanya. Kemiskinan membuatnya tak memiliki pilihan lain selain bertahan hidup. Tak ada ruang untuk mengasah kemampuan demi mencapai kesuksesan dunia. Fenomena ini kemudian disebut dengan 'kemiskinan struktural'.
***
Napoleon Hill dalam bukunya "You can Work own Miracle" bilang, "Tuhan tidak akan mencabut hak istimewa seseorang untuk mengendalikan pikirannya sendiri dan mengarahkannya untuk tujuan apa pun yang akan ia pilih, dan tak ada kekuatan lain (bisa jadi kemiskinan, kebodohan, atau apapun yang berkonotasi 'menggagalkan') yang dapat menghapus hak istimewa ini kecuali atas seizin orang tersebut."
Sekali lagi:
"Tuhan tidak akan mencabut hak istimewa seseorang untuk mengendalikan pikirannya sendiri dan mengarahkannya untuk tujuan apa pun yang akan ia pilih, dan tak ada kekuatan lain yang dapat menghapus hak istimewa ini kecuali atas seizin orang tersebut."
Pokok dari kalimat Napoleon Hill di atas adalah bahwa Tuhan itu membiarkan hambanya berimajinasi tentang apapun. Tuhan tidak membatasinya. Apalagi mengendalikan atau mengarahkan pikiran seseorang, Tuhan tidak akan melakukannya. Apa yang kamu pikirkan adalah hasil dari isi kepalamu. Dan yang bisa mengontrolnya adalah kamu sendiri. Begitu juga pikiran tentang kesuksesan.
Orang yang tak pernah berpikir akan sukses, dia tidak akan pernah bisa mencapai kesuksesan. Membayangkannya saja dia enggan, apalagi menghendakinya. Kalimat ini memang benar. Tapi bagaimana kalau kita berandai-andai menjadi orang yang terlahir miskin. Berandai-andai mendapatkan suatu masalah yang jauh lebih besar dari masalah yang pernah kita alami. Apakah terbesit di dalam pikiran kita tentang 'kesuksesan'. Atau yang akan keluar justru sebuah ketakutan. Misalnya keraguan tentang apakah kita mampu mengontrol pengeluaran sekarang? Atau yang paling ironis, apakah kita masih bisa makan besok?
"Darimana asal kesuksesan dari si miskin?" adalah sebuah pertanyaan fundamental yang sampai tulisan ini ditulis belum kutemukan jawabannya. Dari apa yang kuresahkan di atas, apakah kerja keras adalah solusi yang tepat?
***
Sebagian orang lupa menaruh 'keberuntungan' pada pencapaian orang lain. Keberuntungan itu dikemas dalam bentuk privilege. Tapi bukan berarti mereka yang memiliki privilege akan selalu sukses. Privilege seperti kerja keras, ada jarak antara keduanya dengan kesuksesan, namun letak privilege lebih dekat kepada kesuksesan. Diandaikan jika antara kerja keras dengan kesuksesan memiliki jarak 10 mil jauhnya, maka antara privilege dengan kesuksesan hanya berjarak 5 mil. Bagi yang memanfaatkan privilege, sudah pasti akan menjadi sukses. Sedangkan mereka yang konsisten bekerja keras, butuh waktu lama untuk menjemput kesuksesan.
Di dalam privilege memiliki berbagai macam fasilitas, bisa dalam bentuk uang, bisa dalam bentuk cinta dan keharmonisan keluarga, bisa dalam bentuk genetik yang sempurna tanpa cacat atau mental yang kuat, bisa dalam bentuk relasi yang banyak, dan lain-lainnya.
Bisa dilihat dari serial komik Naruto, bagaimana bisa dia menjadi kuat, jika Kurama tidak disegel di dalam tubuhnya. Adalah ayahnya sendiri, Minato, yang menyegel itu ke dalam tubuh Naruto. Minato adalah pemimpin desa Konoha, Hokage Keempat. Apa yang terjadi jika Naruto bukan putera dari Hokage Keempat dan tak ada Kurama di dalam tubuhnya? Paling hanyalah murid berandal biasa, yang ketika dewasa kesulitan menjadi orang besar.
Atau Luffy dalam serial komik One Piece. Apa jadinya jika ia tak memiliki relasi dengan Shanks. Apa jadinya jika ia bukan putera Dragon (pemimpin Revolusi), bukan pula cucu Garph (berpangkat tinggi di Marine). Mungkin ia akan menjadi mas-mas biasa yang sering mancing pulang subuh. Atau suka menghabiskan waktu di bar dan membuat kerusuhan. Menjadi orang besar tak bisa dari kalangan biasa. Menjadi sukses tak bisa hanya dengan bekerja keras. Prosesnya tidak mudah. Bahkan yang memiliki privilege pun tetap tak akan bisa jika tak memanfaatkannya.
"Sukses adalah perpaduan antara keinginan dengan keberuntungan. Keberuntungan adalah bertemunya kemampuan dengan kesempatan. Kemampuan harus diasah, perlu biaya dan waktu untuk mendapatkannya." Begitu kira-kira kesimpulannya.
Apa yang telah dideskripsikan di atas, tentang kemungkinan si miskin sukses dengan kemungkinan si privilege sukses, memiliki jarak yang begitu jauh. Si miskin bisa melahirkan kemiskinan lain. Sedangkan si kaya hidupnya semakin tercukupi. Jika ada yang kaya lalu mengalami kemiskinan, setidaknya dia pernah merasakan kekayaan. Sedangkan si miskin, berusaha habis-habisan bertahan hidup. Jika sangat sangat sangat beruntung, dia mampu merasakan kekayaan.
Adanya jarak yang jauh antara si miskin dan si kaya membuat Tuhan terkesan tidak adil. Tapi apa yang bisa manusia nilai tentang keadilan Tuhan, sedangkan yang bisa mereka nilai hanyalah apa yang tampak dari luar. Manusia terkadang gagal menerka maksud dari cobaan, penderitaan, dan kegagalan. Sebagaimana ucapan Napoleon Hill di buku yang sama:
"Alam telah menentukan hukum alam sedemikian rupa, hingga tanpa keadilan manusia tidak dapat menginterpretasikan hukum alam dan hidup selaras dengannya. Ketidakadilan semata-mata adalah kebiasaan manusia yang ditemukan hanya dalam hubungan antar manusia. Dalam hubungan antar manusia dengan hukum alam, tidak akan terjadi ketidakadilan karena hukum tersebut justru manusia dapat mengendalikan segala tindakannya agar tidak keliru."
Alam itu sudah berbuat adil, dia menyelaraskan kehidupan di bumi. Hanya saja apa yang manusia anggap adil adalah apa yang tampak setara. Ketidakadilan itu ada karena hubungan antar manusia. Analoginya seperti ini:
Si A memiliki pendapatan sepuluh juta perbulan, Si C merasa miskin karena hanya memiliki pendapatan lima juta perbulan karena melihat pencapaian si A. Bagi si Z, A dan C adalah orang kaya karena dirinya hanya memiliki pendapatan dua juta perbulan. Hubungan antar manusia ini membuat ketidakadilan menampakkan diri.
Sebaliknya, apa yang terlihat oleh manusia tidak adil, sebetulnya adalah adil menurut alam. Agak sulit untuk dipahami, karena manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan suatu 'kejadian'.
***
Sukses terlihat seperti hal mustahil bagi si miskin, tapi asa itu tetap ada. Tulisan ini tidak berusaha menjatuhkan harapan si miskin untuk merubah hidupnya. Di sisi lain, kesuksesan adalah hal yang subjektif. Mampu menahan diri untuk tidak berbuat kriminal, dan lebih memilih hidup dengan apa adanya (dalam kutip tidak malas) adalah salah satu bentuk kesuksesan 'jiwa'.
Begini: Mungkin si miskin gagal menjadikan dirinya sukses di dunia. Tapi paling tidak, usaha dari kerja kerasnya dapat membuat anak-anaknya terhindar dari kemiskinan (yang sama darinya). Atau si miskin dapat menciptakan privilege untuk anak-anaknya. Si miskin berusaha keras merubah nasib. Dia menjadi langkah pertama untuk menciptakan keturunan yang menghendaki kesuksesan. Si miskin adalah pondasi untuk melahirkan orang besar. Begitulah hidup, mau tak mau harus dipertaruhkan. Terutama hidup si miskin.
Pada akhirnya privilege memiliki presentase kesuksesan jauh lebih besar daripada dengan kerja keras. Keduanya harus diawali dengan keinginan yang kuat dan perasaan tanpa takut.
Hidup adalah hal yang tak pernah bisa dipahami, dan tak akan pernah bisa dipahami. Dengan begitu manusia tidak akan berhenti untuk terus berpikir. Dan dengan demikian pula manusia bisa menjadi manusia 'sukses'.