Dalam hal moral compass, aku memiliki analogi sendiri untuk mempermudah pemahaman tentang niat seseorang dalam melakukan kebaikan. Diandaikan bahwa melakukan kebaikan sama dengan hasil penjumlahan. Contohnya penjumlahan dengan hasil '10' sama dengan 'berbuat baik'. Diandaikan di sini 'berbuat baik' itu adalah menolong seorang perempuan yang sedang mengalami musibah di jalan.
- 10= berbuat baik
Beberapa hasil penjumlahan yang menghasilkan nilai 10 adalah berikut:
- 9+1=10
- 8+2=10
- 7+3=10
- 6+4=10
- 5+5=10
Bisa dikatakan bahwa proses menuju 10 (berbuat baik) berbeda-beda. Diandaikan:
- 9+1= berbuat baik (dengan niat berharap Surga)
- 8+2= berbuat baik (dengan niat ingin berkenalan dengan perempuan tersebut)
- 7+3= berbuat baik (dengan niat berharap ditolong kembali apabila suatu saat dia juga terkena musibah)
- 6+4= berbuat baik (dengan niat karena si perempuan adalah anggota keluarganya atau kerabatnya)
- 5+5= berbuat baik (dengan niat karena rasionalnya berkata, bahwa apabila ada orang yang sedang mengalami masalah, ya sebaiknya dibantu karena memang harus dibantu: ikhlas)
Berbuat baik dengan niat 5+5 adalah moral compass-ku selama ini. Karena menurutku, 5+5 adalah niat yang paling patut dan bermoral. Seperti apa yang diutarakan Romo Suseno dalam bukunya "Etika Umum", tentang kesadaran moral yang memiliki 3 (tiga) struktur, yakni: kewajiban moral bersifat mutlak, terdapat rasionalita kesadaran moral, dan ada tanggung jawab subjektif.¹
¹Dr. Franz von Magnis, "Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral", Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984, hlm. 24-25.
Berbuat baik dengan 5+5 memenuhi unsur kesadaran moral tersebut, terutama mengenai kewajiban moral. Kata Romo Suseno (lagi), kewajiban moral adalah kewajiban yang mengikat batin seseorang, terlepas dari pendapat masyarakat, teman atau atasan.²
²Ibid., hlm. 25.
Kewajiban moral bisa bertentangan dengan keinginan. Kewajiban moral tidak dapat ditawar-tawar. Kewajiban moral tidak peduli akan pertimbangan untung-rugi dan tidak peduli pula apakah pelaksanaannya menyenangkan atau merepotkan. Dengan kata lain kewajiban moral berlaku mutlak.³ Sedangkan untuk moral compass yang lain, mereka memiliki harapan berupa imbalan, atau karena desakan. Misalnya:
- 9+1 menginginkan Surga
- 8+2 menginginkan si wanita yang ditolong
- 7+3 menginginkan balas budi di kelak hari
- 6+4 terdesak karena yang terkena musibah adalah keluarganya. Kalau bukan karena keluarga, ia tak akan menolong
³Ibid.
Maka, 5+5 adalah niat yang paling bermoral dalam melakukan kebaikan.
***
Moral compass di atas juga kuterapkan dalam hal beribadah. Aku adalah seorang muslim. Ibadah kulakukan karena aku mencintai Tuhanku. Solat adalah bukti ketundukanku Kepada-Nya. Berdoa dan memohon (Kepada-Nya) adalah upayaku akan Keagungan-Nya. Bukan karena mengharap Surga-Nya, pula bukan untuk dinilai orang lain. Ini adalah moralku dalam hal beribadah kepada Tuhan.
Jadi, solat bukan karena semata-mata aku menginginkan Surga (9+1), bukan karena paksaan orang tua (6+4), bukan karena dinilai orang lain (7+3), apalagi untuk mencari perhatian lawan jenis (8+2). Solat kulakukan karena aku seorang hamba, kecil dan tak berdaya tanpa-Nya. Solat adalah ketundukanku Kepada-Nya, karena memang harusnya seorang hamba demikian (tau diri) (5+5).
Hal yang sama untuk solat jamaah. Kugunakan moral compass tersebut sebagai dasarku melakukan solat jamaah.
Solat berjamaah kulakukan bukan karena berharap pahalanya yang banyak. Pelaksanaan solat jamaah kulakukan atas dasar sunah dari Rasulullah SAW. Namun karena sunnah (opsional), selama ini frekuensiku dalam melakukan solat jamaah sangat sedikit.
***
Awal September, Tuhan mematahkan moral compass ibadahku. Apa yang selama ini kujadikan pedoman, Dia leburkan. Dulu aku beranggapan bahwa ibadah yang bermoral adalah ibadah yang berharap rahmat-Nya. Surga adalah bonus, mendapat kebaikan karena menyembah-Nya adalah bonus. Intinya, dalam beribadah aku tak boleh meminta timbal balik. Ini tulus, karena aku seorang hamba.
Awal September, Ayah meninggalkanku untuk selamanya. Kepergiannya meninggalkan pandangan lain dalam pemikiranku. Ibadah tak lagi ikhlas. Aku berharap keselamatan Ayahku di akherat. Sekalipun beliau adalah orang yang rajin solat berjamaah, tak ada yang tahu keputusan Tuhan di Pengadilan Akherat.
Aku pun mengikuti jejak beliau yang senantiasa solat berjamaah. Karena ada tokoh agama yang berkata, apabila ahli waris mengikuti jejak kebaikan dari almarhum (termasuk seringnya almarhum solat berjamaah), secara tidak langsung memberikan amalan jariyah kepada beliau.
Aku, yang mulanya berpandangan bahwa ibadah yang bermoral adalah ikhlas, tanpa imbalan tanpa harapan. Berubah pandangan dengan mengharap keselamatan Ayahku.
Semula aku memikirkan keresahan ini. "Apakah ini adalah benar? Melakukan sunnah (solat berjamaah) karena mengharap imbalan? Apakah ini akan menghancurkan kecintaanku kepada-Nya?"
Nyatanya, setelah Ayahku meninggal, frekuensiku dalam solat berjamaah meningkat. Dengan melihat fenomena ini, aku menilai bahwa tak ada salahnya jalan menuju Tuhan dengan melewati jembatan "berharap imbalan". Selama itu meningkatkan kualitas Iman, meningkatkan kuantitas ibadah, dan tak melanggar larangan-Nya, jembatan dengan nama "berharap imbalan" boleh dilewati.
Penjumlahan dengan 9+1 tak salah, 8+2 tak salah, 7+3 tak salah, 6+4 juga tak salah. Selama kesemuanya menghasilkan 10 (berbuat baik), Tuhan tetap menganggapnya kebaikan.
Aku suka cara Tuhan membolak-balikan pemikiran hambanya melalui serangkaian kejadian yang manusia alami. Rupanya, kepergian Ayah adalah untuk kebaikanku dalam berfikir. Pandanganku berubah, moral compassku berubah. Tapi yang terpenting, aku tidak kehilangan arah.
Sukoharjo, 12 September 2023
- Ilustrasi oleh Edebiyat (Instagram: @bir.safderun)