Seperti Gedung

Tidak ada komentar

Seperti Gedung

Keringat mengucur deras membasahi seragam kami. Semua orang sibuk mengibas-ngibaskan buku tulis, mencoba memberi perlawanan kepada udara panas. Guru-guru melakukan hal yang sama. Menghidupkan kipas pun juga perbuatan sia-sia. Bukan sejuk yang kami terima, mesin itu justru membuat suasana semakin panas.

Gedung ini sudah tua. Konon katanya berdiri sejak Kemerdekaan Indonesia. Sepanjang usianya, bangunan ini tak mengalami perubahan yang signifikan. Tiap tahun hanya cat warna putih yang boleh melekat pada dinding-dindingnya. Sehingga tampak bersih dan elegan.

Pernah terjadi kebakaran hebat. Api merebak kemana-mana. Semua gedung tertutup api—termasuk gedung ini. Tapi gedung ini masih kokoh berdiri. Api tak membuatnya runtuh. Dinding-dindingnya hanya mengelupas dan dapat diperbaiki dengan cat baru.

Sekarang gedung ini menjadi bagian dari sekolah. Kami menjadikannya sebagai aula, sebagai tempat untuk acara-acara besar. Walaupun sudah berusia tua, kami tak menganggap gedung ini spesial. Malah beberapa dari kami alergi berada di dalamnya. Sirkulasi udara di dalam gedung tidak efektif.

Kipas tak lebih dari sekadar berhala yang mematung di setiap sisi. Dan lebih baik memang begitu—tak usah menyala. Daripada kami makin stres dengan udara panas yang mereka hasilkan. Apalagi mereka juga bersuara bising.

Sekolah tak memiliki biaya untuk memperbaiki sirkulasi udara bangunan ini. Renovasi gedung tak pernah masuk dalam rencana tahunan sekolah. Pemasangan ac akan berefek pada pembengkakan anggaran pengeluaran. Sekolah menghindari itu, dan lebih memprioritaskan kestabilan biaya spp kami, agar tidak membebani orang tua kami.

Aku menyukai keputusan sekolah, tapi aku tak menyukai segala kegiatan di dalam gedung ini. Termasuk kegiatan sekarang, acara pembukaan kompetisi antar sekolah. Kami menjadi tuan rumah tahun ini. Acara pembukaan dihadiri berbagai siswa dari penjuru kota. Hanya siswa-siswa terpilih yang hadir mewakili sekolah mereka masing-masing. Aku salah satu siswa yang ditunjuk oleh sekolahku. Tapi aku tak sendirian. Banyak jenis kompetisi yang akan kami ikuti, jadi sekolah mengirim belasan siswa.

Bella, salah satu sahabatku, ikut andil dalam kompetisi ini. Biasanya dia yang paling cerewet soal udara panas di gedung. Tapi aku lupa, bahwa dia memiliki kebiasaan lain, kebiasaannya yang nomor satu, berburu laki-laki. Matanya memantau ke kanan ke kiri, jelalatan tak jelas. Apabila berhasil mendeteksi yang tampan, aku selalu menjadi tempat laporannya.

"Lihat git, yang ikal, ganteng bangettt!" sambil menepuk paha kananku dengan tangan kirinya. "Git, yang pakai kacamata keren mampus!" telunjuknya menunjuk seseorang berkaca mata yang jauh ada di kanan kami. "Tuh, sebelah kiri Git. Boleh juga tuh!"

Aku tak mengikuti semua isyaratnya, baik dari yang ikal maupun yang ada di sebelah kiriku. Tak satupun kupandangani sebagaimana pinta Bella. Justru Bella yang kupandangi. Dia sangat atraktif. Membuatku terheran-heran dengan apa yang ada di dalam otaknya selain cowok tampan. Padahal Bella sudah memiliki pacar. Riwayat cintanya buruk. Hubungannya selalu singkat. Tak pernah ada kisah yang berkesan. Mudah baginya mengganti sosok yang lama dengan sosok yang baru.

"Ayolah, Git. Berikan sedikit stimulus untuk masa mudamu." Bella masih mencari-cari sosok tampan lainnya. "Mau sampai kapan menjomblo?" Pandangan Bella berhenti ke wajahku. Kubalas memandangnya. Kini kami saling memandangi satu lain. Tangan kanan Bella menyentuh pipi kiriku. "Masih trust issue ya?" Tangan itu menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Tahu betul dia bahwa aku kegerahan. Entah karena suhu di dalam gedung yang semakin panas. Atau karena teringat masa lalu.

*

Namanya Ardian, teman masa kecilku. Mulanya aku mengenalnya waktu kanak-kanak. Kita satu taman kanak-kanak. Kemudian kami berada di sekolah dasar yang sama. Bahkan kami berada di sekolah menengah pertama yang sama juga.

Tubuh Ardian tak terlalu tinggi. Hampir sebaya denganku. Rambutnya lurus. Dia suka membanting kepalanya ke kiri, agar poninya terangkat naik. Ardian suka membuat lelucon tak jelas, tapi selalu berhasil membuatku tertawa. Badannya ramping, tak begitu memiliki otot, karena ia tak menyukai olahraga. Hobinya adalah menggambar. Kemanapun dia berada, buku dan alat tulis selalu ada di sisinya untuk mengisi waktu luang.

Pesona Ardian tampak berbeda ketika menggambar. Seolah bukan Ardian yang kukenal. Matanya terfokus ke arah kertas, penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Bibirnya membisu, tak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya terdengar suara goresan pensil di atas kertas. Aku pun mematung melihatnya. Dia sangat keren. Dan tak kusadari bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya.

Ardian yang tadinya terpaku pada hasil karyanya tiba-tiba mengalihkan pandangan ke arahku. Aku gagap, pura-pura merapikan pakaianku. Kupandangi lagi dia, Ardian masih memandangiku dengan senyum tipis yang membuatku hanya bisa mematung. Ya Tuhan, dibuatlah aku mati kutu olehnya. Manis sekali senyum Ardian.

"Ardi!" bentakku. "Stop la!" kututup wajahku dengan kedua telapak tangan karena malu.

Ardian membisu. Dia alihkan pandangannya kembali ke kertas, melanjutkan gambarannya. Kuturunkan tanganku perlahan-lahan. Senyum Ardian masih ada.

"Git," Ardian kembali memandangiku. Aku gagap lagi, dan segera mengangkat kembali telapak tangan. "Pacaran yuk!"

Sebentar. Waktu seakan berhenti, menungguku memahami maksud ucapan Ardian.

Sebentar. Beri kesempatan untuk otakku berpikir.

Sebentar.

Tarik nafas dalam-dalam.

Tahan.

"Gila ya kamu, Ardi! Gampang banget ngomongnya." kusumpahi Ardian tepat di depan mukanya.

"Aku serius, Git." pinta Ardian. Ia tunjukkan hasil gambarnya kepadaku. Sesosok perempuan dan laki-laki, berhadap-hadapan di sebuah tempat makan. Si laki-laki menggenggam bunga. Si perempuan menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan seakan-akan terkejut dengan apa yang si laki-laki perbuat.

Sebentar.

Segera kututup bibirku dengan kedua telapak tanganku. Terkejut dengan apa yang Ardian tunjukkan. Gambar itu sama seperti kami saat ini, berhadap-hadapan di sebuah tempat makan. Hanya saja tak ada bunga. Tapi ini lebih romantis dari bunga.

"Bunga terlalu dewasa untuk kita, Git." aku membisu. "Kamu suka?" aku masih membisu. Telapak tanganku membeku masih membungkam bibirku.


Usia kami masih empat belas tahun. Setiap pulang sekolah kami memiliki kebiasaan menghabiskan waktu di sebuah tempat makan andalan kami, MCB. Alasan kami memilih MCB karena ayam tepungnya terlampau nikmat dan es krimnya tak pernah membosankan. Kami sering mengerjakan tugas sekolah di sini. Namun, hari ini kami terbebas akan kewajiban itu. Ardian menggambar, dan aku hanya belajar. Lalu tiba-tiba saja ini semua terjadi.

Aku memang memiliki rasa kepada Ardian. Tapi tak pernah terbayangkan jika Ardian juga memiliki rasa yang sama. Dia suka mengganggu. Jail. Tak pernah sekalipun berusaha melindungiku. Alih-alih peduli, dia justru menertawakanku setiap kali kesulitan menghadangku. Mana bisa hal semacam itu kuanggap sebagai bahasa cinta Ardian kepadaku. Lalu, tiba-tiba saja dia berbuat seromantis ini.


"Kamu sakit ya!" gerutuku tak percaya. "Ardian. Ini ga lucu tau."

Ardian menghela nafas. Tapi ekspresinya bukan kecewa. Lebih ke arah malu. Sudah kuduga ini hanya akal-akalannya saja. Ardian menarik tasnya, merogoh-rogoh isinya.

"Sesuai dugaan, pasti kamu mengira aku bercanda." Ardian masih merogoh isi tasnya. "Terpaksa kulakukan adegan dewasa." Ardian mengeluarkan buket dari dalam tasnya. Kecil, tapi berisi cukup banyak bunga mawar. "Jadilah pacarku, Git." ucapnya lagi.

Aku mematung kesekian kalinya. Tak bisa berkata banyak. Dia serahkan bunga itu kepadaku dengan wajah malu-malu. Tak kutolak bunga dan ajakannya, karena aku juga memiliki rasa yang sama. Aku suka Ardian. Aku cinta kepadanya. Hari itu kami resmi berpacaran. Dan itu adalah pengalaman pertama bagi kami berdua. Ardian tak pernah berpacaran. Aku pun apalagi. Karena kami sudah sering bersama-sama sejak kami kecil, tak ada perbedaan yang terjadi sesudah kami resmi berpacaran. Kecuali satu hal, kini Ardian selalu menggenggam tanganku.

Hubungan kami berjalan cukup lancar. Sesekali ada hambatan yang menghalangi, tapi kami mampu mengatasinya. Kami masih suka belajar bersama di tempat yang sama. Terkadang kami pergi menonton film. Bermain di perpustakaan kota. Dan menikmati liburan bersama saat sekolah mengadakan karya wisata. Aku bahagia akan hubungan ini. Begitu juga dengan Ardian yang tak pernah absen menemaniku setiap saat, kecuali saat libur sekolah. Pendek pikiran, sudah kuanggap Ardian sebagai calon suamiku.


Kami lulus sekolah menengah pertama. Aku dan teman-teman saling menangisi perpisahan yang terpaksa kami kehendaki. Begitu juga dengan aku dan Ardian. Mulanya Kami berencana masuk di sekolah menengah atas yang sama. Namun Ardian tak lolos seleksi. Ardian masuk di sekolah lain. Jarak sekolah kami begitu jauh. Pula dengan hubungan kami yang perlahan-lahan menjarak, menjauhi kebahagiaan. Kami mulai sering bertengkar. Intensitas bertemu kami semakin berkurang. Semua semakin buruk semenjak kami berbeda sekolah. Menjadi lebih buruk lagi ketika kuketahui Ardian selingkuh dengan teman sekelasnya. Tak pernah terpikir olehku bahwa dia akan mendua, setelah pernyataan cintanya yang seromantis itu.

Apa yang pernah dikatakan Alif, teman kelas sekolah menengah pertamaku dulu, benar: "Manusia mudah berubah, Git." Sayangnya tak kudengarkan ucapannya dulu, termasuk: "Jangan terlalu berharap pada sosok yang namanya manusia." Sekalipun aku dan Ardian telah berpacaran hampir dua tahun. Pada akhirnya Ardian berubah. Si kutu buku itu juga benar dalam hal: "Mungkin sekarang kata-kataku terdengar aneh. Tapi manusia tetaplah manusia. Mereka akan jadi bijak setelah semuanya terjadi." Begitulah nasehat Alif kepadaku, ketika aku dan Ardian pernah bertengkar sewaktu kami masih di sekolah menengah pertama. "Kuharap kamu tak mengingat kata-kataku ini ketika kamu menyesal, Git." Sialnya aku ingat semua peringatan-peringatan Alif. Aku menangis sejadi-jadinya dibalik bantal pada gelapnya kamarku. Sudah dua hari aku membolos sekolah dengan alasan pura-pura sakit. Bella, yang baru kukenal beberapa minggu, datang menjenguk. Kuceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada dia. Dia memelukku, menguatkanku. Sejak saat itu kami menjadi sahabat dekat hingga sekarang.

*

Tiba-tiba saja Bella memelukku. Lupa dia akan panasnya suhu gedung ini. Aku pasrah dalam pelukannya. Aku pun tak mengerti, kenapa aku tak seberdaya ini. Apa mungkin karena masa laluku hadir lagi. Kini kami berada di gedung yang sama. Dia mewakili sekolahnya untuk mengikuti kompetisi ini. Apa mungkin setelah satu tahun lamanya berlalu, aku masih belum merelakan Ardian. Tak ada air mata kali ini. Hanya sesak di dalam hati.

"Udah Bel. Aku gapapa kalik." kulepaskan pelukan Bella. Tak kusadari dirinya menangis, meninggalkan air mata di pundakku. "Kenapa menangis, Bel?"

"Mana bisa aku gak nangis." kuberikan tisuku pada Bella. Dia menerimanya. "Bajingan itu berani datang ke sini, Git! Tempat kita! Sekolah kita!" air mata Bella sudah tidak ada, namun masih menyisakan sembab. "Bermesraan dengan pacarnya di depanmu. Tak tau malu Bajingan itu! Bersyukur kamu putus dengan si Brengsek itu, Git! Nampak watak aslinya!"


Empati Bella terlampau dalam. Ketika dia pertama kali menjengukku dan mendengarkanku bercerita, mendadak Bella menangis kencang. Tangisannya lebih deras daripada aku. Dia menangis sejadi-jadinya. Kami menangis sejadi-jadinya. Semenjak itu, Bella mulai membenci laki-laki. Bahkan yang paling baik sekalipun. Aku tak pernah setuju terhadap sikapnya. Tapi, "Git, Ardian dulu juga baikkan? Nyatanya, baiknya cuman topeng." apa yang Bella ucapkan benar. Tapi tak harus berbuat hingga sebenci itu kepada laki-laki. Aku tak mampu mencegah Bella. Dia menikmati permainan cintanya, dan mempermainkan belasan laki-laki.


Semua orang berdiri, bertepuk tangan. Kecuali aku dan Bella. Upacara pembukaan usai di gelar. Semua orang bergegas keluar karena tak tahan dengan suhu panas gedung ini. Aku dan Bella masih duduk, menenangkan diri. Bella menengok ke kanan dan terkejut. Buru-buru ia usap matanya dan bercermin.

"Gawat, Git!" serunya sambil terus berusaha menghapus sembab di matanya dengan tisu. "Cowok berkaca mata tadi mau ke sini!" kulihat laki-laki itu. Perawakannya tinggi. Badannya tak kekar tapi cukup berisi. Rambutnya spike dengan gaya under cut. Dia mendekat ke arah kami

"Loh, Tuan Putri," sapa Alif, seraya memberi hormat kepadaku selayaknya kepada bendera. "Kulihat Pangeran sedang bersenang-senang di sana." Ia tunjuk Ardian—dengan lirikan mata—yang sedang bersama pacar barunya, bergandeng tangan menuju pintu keluar. "Kalian saling berbagi, ya?" ejeknya.

Kulempar buku ke arahnya. Dia mampu menangkis. Alif tak berubah. Masih menyebalkan. Hanya berkacamata yang membuatku sedikit pangling. Tanpa mengucapkan salam dia bergegas pergi meninggalkan kami. Kulihat punggungnya menjauh. Selang beberapa langkah menuju pintu keluar, dia berhenti dan berbalik menghadapku.

"Seperti gedung ini, Git." katanya. "Pernah terbakar hebat selama berjam-jam. Tapi, bangunannya masih utuh sampai sekarang." aku tak mengerti apa yang diucapkan si kutu buku itu. "Gedung ini sama sepertimu, Git. Kamu hebat, moralmu tak berubah sama sekali walaupun pernah terbakar api cinta. Tapi sesekali berikan cat baru untukmu, agar terlihat cerah. Jangan tampakkan dirimu yang pernah terbakar itu. Tak enak dipandang." aku terkejut dengan pernyataan Alif. "Dan berikan sedikit ventilasi, agar di dalamnya terasa sejuk. Belajarlah dari gedung ini." Alif sadar, aku mengalami sesak setelah sekian lama tak bertemu Ardian lagi. "Senang melihatmu sehat secara fisik. Kuharap batinmu juga segera sembuh." Tak hanya berkacamata, sekarang Alif lebih perhatian. Dia berubah. Entah kepalanya pernah terpukul hebat ketika berkelahi, atau terpeleset di dalam kamar mandi, yang jelas Alif telah berubah. Walau masih suka pergi tanpa mengucapkan salam.

Punggung Alif menjauh. Aku mematung. Begitu juga Bella. Kumpulan pertanyaan terlihat jelas pada wajah Bella. Rupanya Alif adalah salah satu laki-laki yang tadi ia taksir. Dan laki-laki itu adalah kenalanku. Guru memanggil. Aku dan Bella berpisah. Kami berbeda cabang kompetisi. Bella sudah tak sabar menantikan penjelasanku tentang siapa 'Alif' itu. Aku sendiri pun tak begitu mengenalnya. Yang selalu teringat hanyalah kata-katanya. "Cat baru seperti gedung, ya? Baiklah. Kali ini kudengarkan nasehatmu, Lif."

Seperti Gedung

Ilustrasi gambar oleh: Dear Marilla (Instagram: dear_marilla)

Komentar