Terlambatkah Menjadi Musashi?

Tidak ada komentar

Terlambatkah Menjadi Musashi?

Di beranda rumah, di lantai tiga, kududuk menghadap langit. Tak ada bintang di atas sana. Mungkin karena bumi terlalu terang bagi bintang untuk bersinar. Dalam suasana remang, kutaruh komik Vagabond Volume tiga puluh enam di atas meja bundar. Komik yang tak tau kapan ujungnya. Sedari tahun dua ribu empat belas telah hiatus, dan tak ada kabar kelanjutannya.

Kunyalakan rokok. Kunikmati tiap hisapnya disertai dengan kekaguman akan Musashi yang tiada pernah menikmati wanita satu pun. Cintanya terlampau tulus kepada Otsu. Juga terhadap dunia pedang, impiannya terlampau khusyuk. Inginku seperti Musashi, khidmat dalam bermimpi. Serta tak menodai sedikitpun tubuhnya demi nafsu birahi. Sayang, kusudah terlambat menjadi seperti Musashi. Kusudah merasakan tubuh wanita. Bukan pelacur, bukan pula pemandu karaoke. Dia seorang wanita yang pernah kucintai. Satu-satunya wanita yang pernah kusetubuhi. Mantan kekasihku.

Dari segala hal yang ada di dunia ini hanya ada satu hal yang tak mampu kukuasai, ialah birahi. Yang satu itu tak sanggup kubendung. Munculnya mendadak, membuatku sempoyongan. Mulanya bisa terkendali. Tapi, sekali rasa sulit berhenti. Sekali itu terjadi ketika kami masih putih abu-abu, seragam biru pada hari Sabtu. Kuingat karena kumenelanjanginya. Satu-persatu kancingnya kulepas. Kunyalakan lagu terbaik dengan volume cukup keras. Agar desahnya tak terdengar tetangga. Kunikmati pengalaman pertamaku dengan penuh nafsu. Cepat memang. Dan hanya sekali bermain. Lantas kukecup keningnya dan kuantar pulang.

Yang kedua terjadi di tempat yang sama, kamarku, sepulang dari sekolah. Kejadiannya hari Sabtu, seminggu setelah pengalaman pertamaku. Dimaksudkan untuk merayakan kesuksesan kami, terhadap ujian sekolah yang telah usai hari ini. Kami bermain dua kali. Sama seperti ketika pengalaman pertama, tak kukenakan pengaman ketika berhubungan. Malu aku membelinya.

Setubuh pertama berjalan singkat. Setubuh kedua kami banjir keringat. Lama betul kugagahi dia. Dan yang pada kedua itu kucoba dengan banyak gaya. Pemula memang, tapi kuketahui banyak hal dari internet. Setelah ejakulasi kukecup keningnya dan kuantar pulang.

Setelahnya, kami jadwalkan sebulan sekali rutinitas ini. Setiap rutinitas kami bermain banyak. Bisa empat, bisa enam (ronde). Kadang di kamarku, kadang kusewa tempat. Juga kuberanikan diri membeli pengaman. Tak khawatir menghempaskan mani di dalam rahimnya. Lantas kukecup keningnya, tidurlah kami di waktu subuh. Dhuhur kuantar pulang.

Birahi menggerogotiku. Kulakukan hanya kepada kekasihku seorang. Bimbang merasuki pikiranku. Memangkah kucinta dia. Atau hanya karena birahi belaka. Bagaimanapun, bersamanya kulupa dunia. Apalah arti dunia tanpa kekasihku itu. Kuserahkan seluruh perhatianku hanya padanya seorang. Kini dia duniaku. Segala hal indah ada padanya. Wajah, kulit, dan buah dadanya. Indah semua. Tak pernah kucoba main serong. Melirik yang lain pun tak pernah. Dia sudah lebih dari apa yang aku mau.

*

Putih abu-abu usai. Beralih dunia perguruan tinggi. Pada masa itu birahiku selalu terpenuhi. Namun intensitasnya tak menentu. Bisa jadi dua bulan sekali. Bisa jadi sebulan tiga kali. Lebih sering kami menginap, lebih sering kami menyewa tempat.

Waktu menamparku. Semakin kudewasa, semakin kulihat sosok asli dunia. Pelan-pelan kupikirkan rencana hidupku, mau jadi apa aku nantinya. Semakin kutumbuh, semakin sering aku dan dia bertikai. Entah karena bosan, entah karena aku yang tak suka berkonflik, aku sering melarikan diri darinya. Berang akan sikapku, kekasihku pergi undur diri. Sejak itu aku sadar, bahwa aku tak memiliki apapun untuk diperjuangkan. Selama ini birahi membutakan hidupku. Hancurlah sudah kejayaan masa muda. Hilanglah sudah perasaan cinta. Dan habislah waktu yang tersisa, menyisakan pribadi yang dibungkam sepi. Sendiri, tanpa mimpi.

Hingga kutemukan Vagabond volume pertama, hadiah dari kawan lama. Kutemukan sosok menarik bernama Musashi. Dia tak kenal takut, dan mampu mengontrol diri. Kubaca hingga volume terakhir. Dia ahli pedang paling bijak diantara semua ahli. Ilmunya tinggi, pandangannya luas, dan adabnya berkembang sedemikian baik. Musashi tak menghinakan diri pada birahi. Tak seperti samurai lain yang mengabdi pada birahi. Terbukti, kejayaan Musashi datang lebih dulu daripada mereka. Namanya tersohor di mana-mana, hingga Musashi muak sendiri.

*

Apakah terlambat menjadi seorang Musashi, yang berkhidmat pada mimpi, hingga kejayaan yang menghampiri. Dapatkah aku seperti Musashi, meski pernah dibutakan birahi.

Inginku beranjak, berilmu, dan beradab seperti Musashi.

Di beranda rumah, di lantai tiga, kududuk menghadap langit. Hanya ada bulan bersinar dengan penuh pengharapan. Bintang terlalu payah untuk diandalkan. Kuhisap rokok seraya berdiskusi di dalam hati. Jika kemunduran ini adalah sanksi untuk dosa-dosaku di masa lalu, 'kan kulewatinya dengan jantan—seperti Musashi. Jika kepayahan ini adalah syarat untukku menuju jalan yang lebih tinggi, 'kan kuhadapinya dengan semangat—seperti Musashi. Dan jika semua itu tak ada hentinya termakbul dalam hidupku, maka takkan ada hentinya aku bangkit lagi hingga ujian itu menyerah sendiri. Seperti Musashi yang takkan pernah berhenti memperhebat diri.

Komentar