Dia yang jarang pulang. Dia yang selalu pulang di hari Minggu dan Rabu. Mempersiapkan makan jam tiga dini hari. Seseorang di hadapannya memulai dengan tiga buah kurma. Dia dengan roti kering. Mereka tak banyak bicara. Karena yang banyak hanya milik peraduan antara sendok dengan piring. Dia yang jarang pulang, jarang mengobrol pula. Dewasa membuatnya menjadi lebih banyak diam, pikirannya yang banyak bicara.
*
Kudekati kamar Papa, berusaha membangunkannya, karena sudah waktunya tahajud. Kulakukan ini bukan atas kehendakku. Mama memberikan amanahnya kepadaku. Maka harus kulakukan.
Kulihat lampu kamar Papa sudah menyala. Kudengar bisikan-bisikan dari balik pintu. Rupanya Papa sudah terjaga. Dugaanku dia sedang membaca buku-bukunya. Kuketuk pintu sekali, memperingatkan Papa untuk bersegera sahur. Papa balas, "Iya."
Sudah hampir sebulan Mama menemani si bungsu bertanding di beberapa kota. Maka dari itu rumah menjadi sepi. Hanya ada Papa—karena aku tinggal di indekos yang letaknya cukup jauh dari sini. Aku tidur di rumah hanya setiap hari Minggu dan Rabu. Itupun atas dasar perintah Mama. Setelah itu aku akan kembali ke indekos, melanjutkan hidupku yang mandiri tanpa diintervensi oleh siapapun, kecuali pacarku—Nadya.
Hubunganku dengan Papa tidak sedang buruk. Kami terlihat berjarak karena aku dan dia memiliki sudut pandang yang berbeda. Bacaan kami pun sekarang berbeda. Beberapa tindakan Papa tak kusukai. Seperti bukan Papa yang pernah membaca buku Franz Magnis Suseno. Terutama ketika dia berbicara politik yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Dia membenci salah satu calon presiden dan memuji calon lainnya. Kupikir tak masuk akal menjadi seidealis ini. Apa keuntungan yang didapatnya dari memuji A hingga menjelekkan B. Papa bukan politisi. Dia hanya rakyat biasa yang pendapatnya takkan mungkin didengar. Kecuali dia menodong pistol ke arah calon yang ia benci. Atau meletakkan bom di bawah kursi calon itu. Mungkin suaranya akan di dengar. Tapi tindakan itu terlalu ekstrim. Papa bukan sosok yang bertindak sampai sejauh itu. Maka dari itu tak kupahami maksud dan tujuannya. Kami berseberangan jalan.
Kuketahui beberapa keluarga juga mengalami hal ini. Berbeda sudut pandang dalam melihat hidup dan realitasnya. Tetapi, sejauh hal itu terjadi hubungan mereka tetap harmonis. Mungkin kunci dari suatu keharmonisan itu adalah kebohongan, topeng, dan berpura-pura. Karena manusia tak begitu menyukai konflik. Termasuk konflik yang ada di dalam batinnya. Manusia cenderung menghindari itu. Mereka memilih berkata sebaliknya dari apa yang ada di dalam hati maupun pikirannya. Demi kenyamanan hidup, katanya. Kucoba melakukan hal semacam itu, tapi tak mampu bertahan lama. Aku tak sanggup menahan diri menjadi sosok yang bukan diriku sendiri. Menjadi orang lain justru membuatku tak nyaman. Mungkin Papa juga demikian. Sehingga kami berdua nampak sedang berjarak. Walaupun begitu, aku dan Papa tak pernah saling mengacuhkan. Yang berjarak hanya sudut pandang kami, bukan perhatian kami. Kami menyikapinya dengan cara dewasa.
Kutaruh piring Papa yang berisi nasi sebagaimana porsi biasanya di atas mejanya. Tak kuambilkan lauk untuknya. Kubiarkan ia memilih lauknya sendiri. Bagiku itu adalah hak atas kebebasannya (memilih lauk sesuai moodnya hari ini).
Sebagaimana biasanya, kami tak melakukan obrolan apapun di meja makan. Tak ada suara apapun selain peraduan antara sendok dengan piring.
*
"Gimana kabar Nadya?" Papa membuka obrolan untuk yang pertama kalinya ia lakukan selama ini. Tak kutunjukkan sikap terkejutku di hadapannya. Aku sibuk mengunyah, bersegera membalas pertanyaannya.
"Baik. Cukup sibuk dalam pekerjaannya."
"Pantas kamu jarang membawanya ke sini lagi."
Dalam hatiku ingin mengatakan bahwa sifat Papa yang kaku terhadap orang lain membuatnya sulit untuk didekati. Aku, yang memiliki darahnya saja sulit mendekatinya, memahaminya. Bagaimana bisa aku membawa pacarku kemari tanpa adanya Mama yang mencairkan suasana.
"Lain kali kuajak dia ke sini, Pa. Kalau Mama sudah pulang."
Kami terdiam lagi.
*
"Sudah lama kamu tak bertanya ke Papa seperti ketika kamu masih kecil. Sudahkah tak ada lagi rasa penasaran kepada 'dunia'. Atau kamu telah mengetahui segalanya?" tanya Papa, menyindir.
"Ozan masih suka baca kok. Buku cukup membantu menyelesaikan beberapa persoalan."
"Jadi masa Papa sudah habis ya untuk memenuhi rasa penasaranmu terhadap apa yang ada di dunia ini."
"Ya, begitulah, Pa. Papa sudah menjadi 'dunia' itu sendiri, yang mana Ozan juga penasaran terhadap apa yang ada di dalamnya."
Papa tertawa.
"Kamu memang anakku. Haha. Benar-benar anakku. Haha," dia tertawa lagi.
*
"Mama bilang kamu mau jadi penulis?" tanya Papa.
"Benar, Pa. Banyak hal yang ingin kutuangkan ke dalam tulisan."
"Bagus, bagus." puji Papa. "Tapi jangan jadikan itu sebagai profesi. Tak ada uang di sana."
"Uang bakal dateng sendiri kok, Pa." jawabku meyakinkan.
"Jangan naif, Zan. Mungkin kamu bisa bahagia atas karyamu. Tapi Nadya perlu kau nafkahi, sekalipun dia telah bekerja."
"Iya, Ozan tau, Pa."
"Sudah kewajiban suami menafkahi istrinya, sekalipun si istri telah mampu menghasilkan pendapatannya sendiri. Kamu bakal jadi suami, Zan. Sudah umurmu memikirkan itu."
"Iya, Pa."
"Jangan permalukan dirimu sendiri. Segera selesaikan tugas akhirmu dan cari pekerjaan yang layak untuk menafkahi Nadya,"
"Pasti ada cara untuk menghasilkan banyak uang dari sana, Pa. Tinggal nyari formulanya aja." belaku pada mimpiku sendiri.
"Zan. Anak muda memang naif. Papa suka itu. Mereka bisa berkembang karena sifat itu. Tapi,"
"Tapi kenapa Papa bilang mimpiku takkan bisa menghasilkan uang?" serobotku, sedikit menggebu-gebu.
"Dengarkan Papa dulu." balas Papa. "Jangan serobot ucapan Papa lagi sebelum Papa selesai berbicara." tegur Papa. "Papa tak pernah mengintervensi hidup kamu sejak kamu lulus SMA. Sekarang Papa cuma ingin kamu lebih mengerti, mencoba memperluas sudut pandangmu, memposisikan diri kamu sebagai orang lain. Jangan egois, Zan. Papa juga punya anak perempuan. Adik kamu sendiri. Walaupun Papa selama ini diam, bukan berarti Papa nggak memikirkan kamu. Nadya juga sudah seperti anak Papa sendiri. Sebagai orang tua, tentu ingin anaknya memiliki masa depan yang pasti. Sebagai orang tua Nadya, Papa ingin dia mendapat suami yang layak untuknya."
Aku terdiam, merasa diremehkan. Papa melanjutkan:
"Ibarat adik kamu. Nadya juga berhak atas kepastian masa depannya, Zan. Kepastian akan siapa suaminya. Sudah umurnya. Kamu jangan naif, mengharap dihidupi dari karya-karya. Butuh waktu panjang untuk mencapai itu. Kamu pikir Nadya mau nungguin kamu sampai kamu capai impian itu. Kamu mau Nadya nunggu kamu sampai menopause. Kamu juga nggak mikirin orang tuanya yang melahirkan dan membesarkannya. Mereka ingin melihat anaknya dipinang selagi masih ada umur. Impianmu terlalu lama, Zan. Pilih salah satu. Nadya atau penulis. Jangan naif."
Aku tak menjawab.
"Papa tak berusaha ikut campur." ucap Papa memulai lagi. "Ini hanya pendapat Papa. Kalian sudah pacaran lama. Nggak baik terlalu lama. Sudah waktunya kamu mengambil resiko. Menikahinya atau menulis. Kalau kamu pilih menikah, Papa akan bantu. Tapi hentikan impian menulis. Kamu nggak bisa egois, Zan. Kamu perlu menafkahi Nadya. Menulislah di waktu senggang. Jangan jadikan profesi."
Sejak obrolan pertama itu Papa tak hentinya menasehatiku. Adzan subuhlah yang menghentikannya. Kulaporkan percakapan itu kepada Nadya melalui WhatsApp. Pesan itu tak begitu panjang. Hanya berisi point-point penting obrolan tadi. Lima menit kemudian Nadya membalasnya.
"Hari ini aku akan pulang cepat. Ayo berkencan setelah kerja! Aku ingin dengarkan semuanya." pesan itu diakhiri dengan emotikon cinta berwarna merah.
Tak ia kirim emotikon cium sebagaimana biasanya karena aku sedang berpuasa. Orang segemas itu memang pantas mendapatkan nafkah yang layak.
"Baiklah. Aku akan menghadapmu dengan tampan, Yang Mulia." balasku kepada Nadya.
*
Sudah lama Papa tak mengajakku berbicara sepadat ini—walau sedikit menyakitkan mendengarnya. Kami jarang berbicara banyak. Kami tak saling mengerti satu sama lain. Bagaimana bisa dia merendahkan mimpi dan kemampuanku. Padahal Papa juga yang bilang kepadaku untuk selalu menulis. Aku semakin tak paham dengan pikirannya. Akan tetapi, ucapan-ucapan Papa akan kupertimbangkan setelah berdiskusi dengan Nadya. Karena hanya Nadya yang berhak mengintervensiku.