Mata sudah kupaksakan memejam agar aku dapat tertidur. Tapi kantuk tak juga hadir. Frustasi, kubuka Novel Pram "Anak Sejuta Bangsa", melanjutkan bacaan kemarin. Tanpa sadar subuh sudah berkumandang dan kantuk masih tak mau hadir. Kuambil wudhu dan bersegera ke masjid. Siapa tau setelah mendengar ayat Quran yang panjang dari sang imam aku dapat merasakan kantuk. Sayang, kantuk tetap menolak hadir. Dua jam lagi aku harus sudah berada di dalam bus. Dua jam pula bus akan segera berangkat.
*
Kukenakan kaos hitam, berkerah, dengan celana jeans denim, tak ketat. Alas kaki hanya dengan selop berwarna putih yang membungkus semua jari hingga punggung kaki. Hanya pergelangan kaki yang tak terbungkus. Kududuk di kursi paling belakang, di tengah Kesya, Upik, Anton, dan Dadang. Satu perempuan cerewet versus tiga orang introvert harus kutengahi. Anton mempersilakanku duduk dengan sumringah. Tapi tidak bagi Upik.
"Mas Ojan!" pekik Upik tak kudengarkan.
Upik menyukai Anton. Laki-laki paling kharismatik diantara kami. Dia dua tahun lebih tua dari Upik, setahun lebih muda dariku. Banyak yang menyukainya—termasuk Kesya. Tapi hanya Upik yang memperlihatkan itu secara terang-terangan. Diinjaklah selopku oleh Upik. Putihnya tercemar. Kubalas dengan injakan pura-pura tak sengaja. Upik menjerit, "Mas Ojan!" Aku pura-pura tuli lagi.
Bus berangkat. Kami semua bernyanyi, kecuali aku yang berulang kali menguap. Tak bisa kupaksakan lagi untuk tetap terjaga. Pandangan mulai kabur, telinga mendengung, kesadaranku perlahan-lahan hilang, kantuk telah datang, kubiarkan diriku tertidur.
*
"Mas Ojan." tubuhku digoyang-goyangkan. Aku menyadarinya, tapi enggan membuka mata. "Bangun, Mas, sudah sampai." suara yang sama dan cara yang sama—menggoyangkan tubuhku, tapi aku masih enggan membuka mata.
"Mas Ojan!" bentak dari suara yang berbeda. Kubalas mendeham karena kaget, tapi masih enggan membuka mata. Orang disebelahku pun juga dibuatnya kaget. Terasa dari reaksi tubuhnya yang berjingkrak dari tempat duduknya setelah mendengar bentakan tadi.
Karena bentakannya masih tak berpengaruh, Upik injak kakiku dengan penuh amarah. "Aduh!" pekikku.
"Bangun Pemalas! Kalau tidur di rumah saja! Pulang sana!" celoteh Upik.
Kubuka mataku. Silau. Juga buram. Kupejamkan mata lagi. Nyawa belum terkumpul semua. Kucoba buka lagi mataku dengan hati-hati.
"Bangun, Mas. Upik begitu karena peduli sama Mas Ojan." Kupandangani seisi bus dengan malas dan berat. Kantuk masih merajai aku. Rupanya bus sudah kosong. Sosok yang menghajar kakiku telah lenyap dari pandangan. Upik juga sudah berada di luar. Hanya tersisa Kesya di sampingku.
"Aku turun dulu mas." ucap Kesya bergegas turun, menghampiri Upik dan teman-temannya yang sudah menunggu di luar.
Kupaksa tubuhku berdiri. Sial, aku tak bisa berhenti menguap. Kaki juga tak kuat berdiri lama. Terpaksa kududuk lagi. Aku sudah sering ke Tawangmangu, tak masalah jika liburan ini aku memilih tidur di dalam bus.
Belum ada semenit setelah memejamkan mata, pipi terasa dingin. Perbuatan siapa lagi ini.
"Ampuni sahaya, Hyang Guru." tabikku dengan mata masih memejam seraya membuang benda dingin itu dari pipiku.
"Hyang Guru matamu." kukenali suara itu "Bangun, Jan." benda dingin itu dibuka, sebuah minuman kaleng rupanya.
"Malas, Lif. Kamu duluan sana."
"Masih kurang puas kamu, Jan?"
"Tidur sejam doang buat ganti tidur normal mana bisa puas, Lif."
"Sejam tapi di bahu Kesya masa kurang, Jan? Anak-anak iri tuh. Pengen sedeket itu sama Kesya."
Mataku membelalak. "Aku tidur di bahu Kesya, Lif?!" tanyaku memastikan.
"Bukannya sengaja?"
"Sengaja matamu!" bantahku. "Kena ilerku dong?"
"Banjir banget." mukaku memerah. "Tapi aman kok, dia udah siapin tisu. Tiap banjir dateng dari mulutmu, dia langsung usap pakai tisu. Kayak anak kecil yang abis makan belepotan. Terus langsung dibersihin sama ibunya." mukaku semakin memerah.
Bergegas kuturun meninggalkan Alif. Kantukku sudah hilang, berganti malu mendatangiku.
Kesya bukan perempuan yang sedang kukejar. Malah, aku sedang tak mengejar siapa-siapa. Pernah beberapa kali berusaha mengejar perempuan. Tapi rasanya belum bisa sebaik dulu. Aku masih dibayangi kenangan masa lalu, sehingga tak ada gairah untuk membuka lembaran baru. Rasa maluku timbul bukan karena Kesya sosok penting untukku. Tapi karena Anton telah bercerita kepadaku—hanya kepadaku—tentang rencananya yang akan mengungkapkan isi hatinya kepada Kesya hari ini. Sangat kudukung, karena kulihat-lihat Kesya juga menyukai Anton. Tapi sekarang aku justru merusak momennya. Aku jadi tak enak hati kepada Anton. Tapi bukan salahku juga. Sebelum tertidur, di sebelah kiriku adalah Upik, bukan Kesya. Dan ketika kududuk di sana, Anton mempersilakanku senang. Di luar kehendakku tidur di bahu Kesya. Apalagi mengiler di sana. Walaupun begitu, tetap saja pembenaran ini tak bisa menghilangkan rasa tak enak hati kepada Anton. Jadi sungkan bertemu dengannya. Padahal dia juniorku.
*
Aku menyalahi alur yang sudah ditentukan panitia. Mulanya kami harus berkuda dulu, lalu offroad dengan ATV, dilanjutkan dengan memanah, dan terakhir adalah flying fox—turun kembali ke pintu masuk yang sekaligus sebagai pintu keluar. Aku masih terlalu lemah untuk berkuda akibat begadang semalam. Tidur satu jam masih tak cukup untuk mengembalikan tenagaku—sekalipun tidur di bahu Kesya. Maka aku berjalan ke atas seorang diri, mengabaikan alur-alur yang sudah ditentukan panitia, dan memilih langsung menuju ke tempat panahan. Kulewati rekan-rekanku yang tengah mengantri di pacuan kuda. Kulihat Alif sedang mengatur barisan. Tak seperti biasanya, dia adalah tipikal yang tak mau mengurusi hal semacam ini. Tapi Ica memaksanya, dan Alif tak melawan. Kinerja cinta memang mengesankan. Ia sanggup memperdaya Alif, orang yang paling sulit diatur. Sekarang, orang yang sulit diatur itu sedang mengatur orang lain. Aku tertawa melihat Alif berkacak pinggang melihatku melanggar alur yang telah ia dan timnya atur. Kulambaikan tangan ke arahnya, ia hanya menggeleng heran. Kulanjutkan perjalanan ke atas, ke tempat panahan berada.
*
"Mas Ojan." seseorang memanggilku dari bawah. Kukenali suaranya. Tapi tak kuberanikan diri menengok ke belakang—arah asalnya suara. "Mas Ojan, tunggu." ingin kuabaikan dia, tapi, "Capeknyaaa. Untung masih sempat. Jalannya cepat-cepat amat, Mas. Kan capek ngejarnya." keluh Kesya.
"Kok kamu nggak naik kuda?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Kesya.
"Lagi dapet mas. Mas Ojan juga, kenapa nggak naik kuda?"
"Lagi dapet juga." jawabku polos.
"Dapat apa, Mas?"
Kesya adalah perempuan yang terkenal karena parasnya yang cantik, make upnya tak berlebih (natural), gaya fashionnya adaptif (sesuai tempat dan kegiatan), dan kulitnya putih bersih. Nampak sempurna memang. Seperti seorang dewi dari mitologi Yunani. Namun dia terlalu polos. Mudah mempercayai orang lain, yang bahkan tak dikenalinya. Dan selayaknya anak muda sekarang, dia mengiblatkan segala sesuatu mengenai hidupnya pada sosok anonim di internet.
"Kesya sendiri lagi dapat apa?" tanyaku sebelum kujawab pertanyaannya.
"Di Twitter bilang hari ini Cancer lagi nggak bagus berhubungan sama hewan."
Aku terkekeh-kekeh mendengar jawabannya. Orang yang belum mengenal Kesya pasti akan berpikir bahwa dia sedang melucu.
"Sama, zodiakku bilang gitu juga." ejekku, mengikuti topik.
"Bohong." ia pukul lenganku. "Hari ini Scorpio hoki terus. Cancer yang kena sial muluk." ia memukulku lagi. Kali ini lebih bertenaga. "Udah jadi bantal, kena iler pula." Tebal Kesya akan kesialan Cancer.
"Ah, maaf, Sya." kubungkukkan tubuhku, menyembah Kesya malu. "Aku nggak sengaja."
"Mas Ojannn. Jangan berlebihan gini, ih."
"Soalnya aku juga berlebihan, Sya. Maaf ya."
Kesya hanya diam dan sibuk memandangi langit. Seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa, Sya?" kutegakkan tubuhku, bangkit dari menyembah Kesya, dan ikut memandangi langit.
"Lagi berdoa." Kesya memejamkan mata dengan wajah masih memandang langit.
"Hah? Berdoa apaan?" tanyaku lagi.
Kesya terdiam sebentar.
"Aku udah lama menahan ini, Mas. Tapi nggak pernah terlintas di dalam pikiranku bahwa aku akan benar-benar melakukannya." Kesya tarik napasnya.
"Apaan sih? Kamu sakit?" kusentuh keningnya, wajah Kesya berubah merah. Ia membuka matanya perlahan-lahan, sambil mengatur napasnya. Kini ia pandangi aku.
"Mas, aku mau jujur sama kamu." Kesya tutup bibirku dengan tangan kirinya. "Pertama, jangan minta maaf karena tidur di bahuku. Aku yang meminta Upik untuk bertukar tempat. Kedua, hal itu karena aku nggak tega kepala Mas Ojan bergerak kesana-kemari. Ketiga, karena aku suka kamu, Mas."
Suasana hening sebentar. Kesya melanjutkan:
"Tapi Mas Ojan nggak pernah melihatku sebagai seseorang yang menarik. Aku nggak nyerah, Mas. Karena Mas Ojan sangat kusukai. Mas Ojan berbeda dibanding cowok-cowok lainnya. Aku nggak bisa jelasin itu apa. Tapi, aura yang dimiliki Mas Ojan menyerap seluruh perhatianku. Sedih tauk rasanya, nggak bisa menarik perhatian Mas Ojan. Sedangkan aku nggak bisa berpura-pura menjadi sosok yang Mas Ojan sukai. Bahkan aku cemburu setiap ngeliat Mas Ojan dan Upik bertengkar. Aku juga ingin berinteraksi seintens itu. Pernah terlintas untuk melupakan Mas Ojan dan mengabaikan perasaan ini. Lucunya, perasaanku malah semakin menjadi-jadi dan aku nggak bisa menahan diri. Udah berulang-kali berusaha nyuekin, tapi justru rindu yang kudapat. Aku nggak ngerti lagi, Mas. Nyiksa banget. Sekarang kuberanikan diri buat nyatain perasaanku sebenarnya ke Mas Ojan. Agar hatiku nggak bandel lagi." Kesya berhenti sejenak, mengatur napasnya lagi. "Aku suka kamu, Mas."
*
Jarak menuju panahan rupanya cukup jauh dari yang kuperkirakan. Langkahku melambat dan nafasku mulai sesak. Sudah kuminum isotonik yang Kesya beli di pertengahan jalan. Tapi tak berpengaruh apa-apa. Sebaliknya, Kesya justru terlihat tak kelelahan sama sekali. Mungkin karena sibuk mendengarkan masa laluku.
"Tak pernah kuceritakan hal ini kepada siapapun kecuali kamu dan Alif, Sya. Dan kupinta Alif untuk tak menceritakannya kepada siapapun, sekalipun Ica memohon kepadanya. Dia tepati janjinya sampai sekarang. Jadi, aku mohon ke kamu juga untuk jaga aib ini."
Kesya tak menjawab.
"Aku nggak tau rasa mengganjal di hatimu kaya gimana. Kurasa akan lebih lega jika kuberterus terang."
Kesya tetap tak menjawab.
Semua perempuan juga akan marah mendengarnya, ketika mengetahui cowok yang ia sukai, ia pikir baik-baik, ia pikir suci, ternyata adalah sosok yang pernah dikuasai nafsu. Dan laki-laki itu kehilangan gairahnya setelah mantan kekasihnya, yang sering ia setubuhi, pergi meninggalkannya.
Ah, sebenarnya bukan gairahku yang pergi. Tapi gairah itu diselimuti kabut tebal yang bernama rasa bersalah. Maka, kubiarkan Kesya menikmati emosinya karena menyesal menyatakan rasa sukanya kepada cowok brengsek sepertiku. Cowok payah yang nggak bisa move on selama bertahun-tahun.
Dengan melihat reaksi Kesya begini, keputusanku untuk tetap menutup hati adalah tepat. Kulihat dia sedang memegang kepalanya dengan kedua tangan, masih tak percaya dengan apa yang kulakukan di masa lalu. Ia berbalik ke arahku. Kupersiapkan pipiku untuk menjadi sasaran tamparannya. Aku pejamkan mataku, bersiap-siap mendapatkan cap cowok brengsek dari telapak tangannya.
"Katakan, Mas. Di mana dia sekarang. Aku ingin menyuruhnya berhenti mengganggumu."
"Hah?" Kesya pegang kerah bajuku dengan kedua tangannya. "Kesya, dia bukan akar masalahnya. Aku masalahnya, Sya."
"Mas. Berhentilah membenarkannya. Itu menyakitimu, juga menyakitiku."
"Kes, dia nggak ngapa-ngapain."
"Kamu mesti selesain masa lalu kamu, Mas. Biar kamu bisa hidup lagi. Aku nggak keberatan kamu pernah berhubungan seksual dengan siapa saja dan seberapa banyak. Aku nggak ada di sana ketika kamu lakuin itu. Aku ada di sini, di depanmu. Aku ingin jadi bagian cerita kamu selanjutnya. A-a-a-a-ku," air mata tak sanggup lagi dibendung Kesya. Ia sesenggukan. Ucapannya terbata-bata. "a-a-a-a-ku, s-s-s-sangat m-m-m-enyukaimu, Mas." Kesya menunduk, memandangi tanah. Kepalanya ia sandarkan ke dadaku.
"Hei, sudah cukup." rayuku menenangkan Kesya. Kupeluk dirinya, kuusap-usap punggungnya. "Namanya Inggit." Ketika kusebut namanya, tangis Kesya mereda. "Dia meninggal tiga tahun yang lalu."