Jingga Memang Cantik, tapi Tak Kusukai

Tidak ada komentar

Jingga memang Cantik, tapi Tak Kusukai

Kulihat laut membentang tanpa batas. Warna birunya mempesonaku. Lautlah yang kemudian menjadi alasan mengapa aku menyukai warna biru. Dengan mata berkaca-kaca kukagumi agungnya laut. Gagah betul dia. Papa tahu, dalam diamku ada kekaguman yang tak bisa kudeskripsikan. Aku pun ingin bertanya banyak hal kepadanya. Tapi dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan itu, tak ada satu pun yang keluar dari mulutku. Jika kubedah isi kepalaku, pertanyaan-pertanyaan itu adalah berikut:

    "Laut berasal darimana?"
    "Apakah laut memiliki ujung?"
    "Apa yang ada di dalam laut?"
    "Apakah manusia bisa tinggal di laut?"
    "Apakah laut bisa habis?"
    "Apakah laut itu hidup dan memiliki nyawa?"
    "Jika iya, apakah ia bisa marah?"
    "Apa yang dilakukannya jika marah?"
    "Apakah seperti Papa?"

Satu-satunya yang keluar dari mulutku justru, "Indah ya, Pa." Papa tak membalas. Rupanya ia juga menikmati pemandangan laut.

"Ozan tau, siapa nama si indah ini?" tanya Papa.

"Siapa, Pa?" Tanyaku antusias.

"Laut Jawa."

"Laut Jawa?!" Pertanyaan di kepalaku bertambah. "Siapa yang menamainya, Pa?"

Papa diam sebentar.

"Para nelayan yang menamainya."

"Nelayan?!" ulangku. "Istri nelayan yang melahirkannya, Pa?"

Papa diam lagi.

"Ozan tau lagu 'nenek moyangku si pelaut' yang sering dinyanyikan Kakak?"

"Tau, Pa."

"Mereka 'lah yang menamai Laut Jawa. Hanya memberi nama. Tak melahirkannya. Paham?"

Aku menggeleng.

"Nggakpapa. Suatu saat Ozan akan paham sendiri." balas Papa sambil mengusap-usap rambutku.

*

Aku tak bisa tidur dengan tenang. Karena di dalam kapal kami tidur bersebelahan dengan orang lain. Seperti berada di rumah sakit. Tapi tanpa sekat, tanpa gorden. Ruangan ini terbuka antara penumpang satu dengan penumpang lainnya. Setiap baris terdiri dari sepuluh kasur berderet-deret tanpa jarak. Mama berada di ujung dekat jendela. Sedangkan Papa berada di ujung lain, bersebelahan dengan penumpang lain yang berasal dari Denmark. Papa bertugas sebagai pembatas wilayah privasi kami. Aku dan Kakak berada di tengah-tengah. Aku di dekat Mama, Kakak di dekat Papa.

Walaupun sudah malam, di dalam kapal masih berisik. Diperkirakan ada 2.000 penumpang yang menaiki kapal ini. Kami tergolong penumpang yang beruntung. Karena tak semua orang bisa menikmati kasur sebagaimana kami. Beberapa penumpang menggelar tikar di geladak dan tidur di sana.

Tapi keberuntungan kami bukanlah sebuah keberuntungan semata. Papa menciptakan keberuntungan itu dengan membayar lebih porter pelabuhan, agar bisa mencari tempat yang masih kosong untuk kami. Syukur-syukur yang dekat dengan jendela, kata Papa. Beruntungnya lagi, penumpang yang berasal dari Tanjung Priok hanya sedikit. Sehingga si porter mendapatkan tempat sesuai dengan keinginan kami.

Aroma semerbak bumbu Pop Mie merasuk ke dalam hidungku. Mengganggu pikiranku yang sedang berlari-lari kemana-mana. Kucari sumber aroma itu. Pelakunya adalah seorang perempuan berkaca mata, dengan buku tebal di pangkuannya. Ia sedang menyeduh Pop Mie rasa soto di hadapanku. Aku menelan ludah, dan perutku berbunyi. Perempuan itu menangkap gerak-gerikku yang sedang memandanginya. Ia tawarkan Pop Mienya, menyodorkan ke arahku dari jauh. Kubalas dengan gelengan kepala. Lebih baik kubangunkan Mama, daripada menerima barang-barang dari orang asing. Apalagi dalam bentuk makanan. Papa dan Mama sering memperingatkanku soal hal ini.

Mama berhasil kubangunkan. Selang beberapa menit, Pop Mie ayam bawang sudah siap kusantap. Mama kembali lanjutkan tidurnya. Perempuan tadi terkekeh-kekeh melihatku sedang memegang Pop Mie. Kutawarkan Pop Mie-ku kepadanya, menyodorkannya dari jauh. Dia mengangguk. Segera kutarik Pop Mie-ku, kurangkul erat-erat. Perempuan itu terkekeh-kekeh lagi. Kujulurkan lidah ke arahnya sambil menggoyangkan kepala, mengejeknya. Perempuan itu segera menutup bibirnya. Ia kesulitan menahan tawa.

*

Pagi betul Papa membawaku ke masjid kapal. Kami berempat solat subuh di sana. Barang-barang kami, Papa percayakan kepada Om Ivan, orang Denmark yang tidur di sampingnya. Begitu cepat Papa mempercayai orang, keluhku dalam hati. Sedangkan aku dan Kakak disuruhnya tetap waspada. Aneh. Tak sesuai dengan apa yang diajarkannya.

"Kenapa Papa percaya sama Om Ivan?" tanyaku ketika kami duduk di geladak kapal seusai solat, menanti matahari terbit. "Padahal Papa suruh Ozan dan Kakak buat jangan percaya sama siapa-siapa."

"Om Ivan itu pengecualian, Sayang."

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Teman Om Ivan teman Papa juga." Papa sruput kopinya. Ia rasai minuman itu masih panas. "Kamu tau Om Peter?" tanya Papa dengan mulut mengecap-ngecap karena masih kepanasan.

"Yang tinggi itu, Pa?" sela Kakak, mengikuti obrolan kami. Mungkin ia juga penasaran, mengapa Papa melanggar aturannya sendiri.

"Betul, yang suka gendong Kakak kalau kalian jenguk Papa ke Pabrik."

"Ozan tak kenal, Pa." jawabku tanpa berusaha mengingat-ingat sosok Peter itu.

"Kamu nempel Mama muluk sih." ejek Kakak.

"Biarin, wlee." balasku serta menjulurkan lidah ke arahnya.

"Sudah-sudah." Papa menengahi. "Om Ivan itu kerabatnya Om Peter. Beruntung kita satu baris dengannya. Kita jadi bisa menikmati pagi ini tanpa perlu khawatir."

Aku masih belum menerima pembenaran dari Papa, tapi perhatianku sudah beralih ke arah laut. Matahari telah menunjukkan sosoknya dari bawah Laut Jawa. Aku langsung berlari menempel pagar geladak untuk melihatnya lebih dekat. Kakak mendahuluiku. Papa masih duduk di tempatnya seraya menyicip kopinya tadi. Mama menemani kami di pagar geladak, berjaga-jaga jika kami berbuat sesuatu yang ceroboh. Kulihat jingga bertebaran di langit dan di laut. Menebarkan pesona yang tak kalah cantiknya dari pemandangan biru kemarin. Tapi jingga tak terlalu kusukai. Dia terburu-buru, dan cepat berlalu. Tak bisa kunikmati lama. Dia mudah berpaling.

*

Di tengah perjalanan, ketika kami hendak kembali ke dalam kapal, banyak orang berkumpul menghalangi jalan kami. Papa segera menggendongku. Sedangkan Mama menggenggam erat tangan Kakak. Kami melewati gerombolan itu dengan hati-hati. Sesekali Papa melihat ke belakang, memastikan Mama tepat di belakangnya. Dalam gendongan Papa, kuhadapkan tubuhku ke belakang guna mengawasi Mama. Jika ia terlihat jauh, tinggal kupukul pundak Papa.

Di tengah gerombolan itu Mama melihat Om Ivan. Aku juga melihatnya. Ekspresi Mama tiba-tiba berubah menjadi khawatir. Ia segera menepuk pundak Papa. Papa menengok.

"Kita kembali ke tempat kita dulu, Ma. Kasian anak-anak." Rupanya Papa mengerti apa yang sedang Mama khawatirkan.

Perlahan-lahan kami berhasil melewati gerombolan itu. Tapi perasaan Papa dan Mama tak lega. Aku pun tertular, ikut merasakan khawatir. Apa yang sedang dilakukan Om Ivan di sana, tanyaku di dalam hati. Mengapa tak menjaga barang-barang kami, keluhku lagi. Rasanya seperti pemandangan jingga di geladak tadi. Terburu-buru—diburu perasaan khawatir.

Komentar