"Ma, Mual, Ma"

Tidak ada komentar

"Ma, Mual, Ma"

"Ozaaan. Ambilkan gunting buat Papa, Nak." pinta Mama yang tengah sibuk merapikan isi koper. Rumah berantakan sekali. Barang-barang bertebaran di mana-mana, terutama baju-baju baru yang Papa beli untuk kerabat-kerabatnya nanti. Momen langka, kata Mama. Tahun ini Papa diberi rejeki lebih, dan kami memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Papa. Semua terlihat senang. Terutama Kakak, yang baru saja mendapat sepeda baru dari Papa.

Kuserahkan gunting kepada Papa. Ia balas dengan ucapan terima kasih.

"Nanti ada lumba-lumba, Pa?" tanyaku untuk menghilangkan bosan, karena hanya bisa memandangi Papa dan Mama yang sibuk mengemas barang-barang kami. Padahal aku juga ingin membantu mereka. Tetapi Mama bersikeras melarangku.

"Ada dong. Banyak." jawab Papa.

"Sama yang di Alfa banyakan mana, Pa?"

"Banyakan yang di kampung Papa dong, Sayang. Kalau kita beruntung, nanti kapal kita dipandu sama mereka."

"Harus dikasih upah berarti, Pa?"

Mama terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku. Papa tertular mendengarnya.

"Kan Papa sendiri yang bilang, kalau ada yang datang bantuin kita, baiknya diberi upah." sela Mama.

"Air susu dibalas air tuba." sambarku.

Mama tak mampu lagi menahan tawa. Papa juga.

"Bukan yang itu dong peribahasanya. Itu 'air susu dibalas air susu' namanya." Papa membenarkan. "Nggak setiap hal baik langsung kita balas dengan tindakan baik, Nak." Jelas Papa. "Balas sesuai dengan kapasitas yang kita punya, dan kapasitas si penerima. Lumba-lumba di laut udah senang kalau kita tak memburu mereka. Mereka juga senang kalau kita tak membuang sampah sembarangan di laut. Itu udah seperti upah buat lumba-lumba. Ozan tau apa kapasitas itu?"

"Buat bersihin luka, Pa?" jawabku polos.

"Bukan, Sayang." sanggah Papa gemas. "Itu kapas namanya. Kamu lihat Mama."

Kulihat Mama sebagaimana perintah Papa.

"Kenapa Mama masukin baju kita ke dalam koper, bukan ke kardus?"

"Gatau, Pa."

"Coba Ozan cari jawabannya dulu."

"Kardusnya kecil-kecil. Baju kita banyak. Gak muat, Pa." jawabku apa adanya.

"Betul, tapi ada jawaban lagi yang lebih baik."

"Apa, Pa?"

"Ozan lebih suka bajunya dimasukan ke dalam koper atau kardus?"

"Koper, Pa."

"Kenapa?"

"Kardus kecil. Ga akan muat buat baju kita, Pa."

Mama tertawa lagi mendengar jawabanku. Lalu terharu melihat Papa dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaanku yang masih berusia lima tahun.

"Baiklah. Papa anggap itu jawaban yang paling benar, sesuai dengan kapasitas kamu. Sekarang Ozan paham 'kan, apa itu kapasitas."

"Paham, Pa."

"Apa?"

"Koper, Pa."

Papa mengangkat tangannya, menyerah. Mama tertawa lagi. Aku menggaruk-garuk kepala.

*

Setelah maghrib kami berempat menuju ke Surabaya dengan travel hitam langganan Papa. Kami duduk di kursi paling belakang. Sebelum pergi Mama menyuruhku meminum antimo untuk menangkal mual. Tapi mual lebih gigih daripada obat itu. Mama sibuk merawatku. Tangan kanannya selalu siaga membawa plastik hitam. Jika perutku memberontak, diarahkanlah plastik itu ke wajahku. Papa sibuk menjaga Kakak yang sedang tidur di atas pahanya. Perjalanan baru saja dimulai. Tapi aku sudah tak kuat di rintangan pertama. Perut mengacau lagi. Dengan sigap, Mama meletakkan plastik hitam ke wajahku.

"Mama, kapan kita sampai?" tanyaku resah.

"Masih lama, Sayang. Kenapa? Ozan lapar? Mau roti?"

"Ga mau, Ma. Perutku sedang nggak berkapasitas buat makan."

Mama terkejut. Papa juga. Mereka terkekeh-kekeh. Perutku mual lagi.

Komentar