Keotentikan Inggit

Tidak ada komentar

Setelah Kesya nyatakan perasaannya kepadaku, kugenggam tangannya yang membungkam mulutku. Kuarahkan tangan itu tepat ke jantungku. Kupinta ia rasakan getarannya yang tak normal. Dia mengangguk, memvalidasi ucapanku. Kukatakan kepadanya bahwa aku terkesan dengan pernyataan sukanya kepadaku. Dia adalah orang pertama yang melakukan hal semacam ini. Kuhargai upayanya. Tapi, beberapa kali kumencoba untuk berhubungan lagi dengan perempuan lain, aku selalu gagal dan merasa bosan. Kesya tak bersuara. Mungkin ia sedang berpikir bahwa aku akan menolaknya.

Kurayu Kesya untuk mendengarkan sebuah rahasia. Tentang masa laluku yang menjadi penyebab kubegini. Hanya Alif yang tau perkara ini. Karena aku meminta saran darinya mengenai penyakit ini. Cerita ini adalah aibku dengan mantan pacarku. Maka kutekankan kepada Kesya untuk menjaga rahasia ini. Kesya hanya mengangguk, tanpa mengeluarkan suara.

Kumulai ceritaku dari pertama kali aku mengenal Inggit. Pertama kali melihatnya ketika aku berada di warung kopi—di dekat kampus, tempat biasanya kuberdiskusi dengan Alif. Inggit juga rutin ke kafe itu dengan teman-temannya. Alasannya sama, karena dekat dengan kampusnya. Kawasan itu tak begitu terkenal. Sehingga tak begitu ramai pengunjung. Bisa dibilang yang selalu berkunjung ke sana adalah orang-orang yang sama. Termasuk aku dan Alif, Inggit dan teman-temannya.

Inggit dan teman-temannya adalah sekumpulan perempuan-perempuan cantik yang kelasnya cukup tinggi. Gaya fashion mereka elegan. Nyaman dipandang. Perempuan secantik mereka tentu membuat banyak laki-laki ingin memilikinya. Bahkan beberapa kawan kami berusaha mendekati salah satu dari mereka. Mencuri-curi akun sosial media mereka. Dan mencoba mengajaknya berkenalan. Tapi, tak ada yang berhasil memikat mereka. Bahkan diabaikan oleh mereka. Padahal salah satu dari kawanku adalah orang kaya. Sosial medianya dipenuhi flexing kekayaan orang tuanya. Tapi tetap saja, tak mempan terhadap mereka. Mungkin karena mereka berprinsip pada sebuah pandangan filosofis, "money can't buy class". Dan benar, perempuan-perempuan itu adalah perempuan berkelas yang berpegang pada sebuah nilai yang tinggi. Yang tak hanya soal seberapa kamu terlihat kaya dengan barang branded yang kamu kenakan. Tapi bagaimana bisa kamu terlihat elegan walau tak memakai barang mewah. Kemewahan itu ada pada dirimu sendiri, melekat pada tubuhmu. "You branded yourselfBukan dari jam Rolex yang kamu kenakan. Atau tas Gucci yang kamu taruh di atas meja. Yang jika kedua itu tak ada, kemewahan menghilang darimu. Itu bukan kelas. It's just rich." kata Inggit.

Sebelumnya aku tak tertarik dengan mereka. Karena pendapat Alif cukup mempengaruhi hidupku, prinsipku, dan pandangan hidupku—terutama soal perempuan. Alif berpendapat bahwa semua perempuan itu cantik, karena memang sejak awal mereka diciptakan sudah cantik. Jika ada perempuan yang menurut kita kurang nyaman dipandang dan tak menarik, yang perlu dipertanyakan justru kita yang melihatnya. Mengapa tak menarik, mengapa tak cantik. Ada subjektivitas, ada perspektif. "Kecantikan itu bersifat asali, tidak bisa diintervensi oleh subjektivitas." kata Alif.

Ketika di kampus, kulihat semua perempuan itu cantik. Termasuk Kesya—yang sekarang sedang mendengarkanku bercerita. Adalah salah ketika dia menyatakan bahwa dirinya gagal mencuri perhatianku. Pandanganku terhadap perempuan lah yang membuatnya gagal. Dan diperkuat dengan masa laluku ini.

Sebegitu banyaknya perempuan cantik di kampus membuatku merasa bahwa cantik bukan lagi menjadi penilaian utama. Cantik tak menjadi otentik. Cantik sudah menjadi hal umum. Seperti yang Alif bilang, secara lahiriah perempuan memang diciptakan untuk cantik. Maka, jika mereka terlihat cantik, itu adalah lumrah.

*

Dari perkumpulan Inggit, hanya Inggit yang sering melirik ke meja kami. Dia tak pernah duduk membelakangi kami. Dia selalu berhasil memilih tempat yang dapat memandang kami. Mataku dan matanya sering bertemu. Tapi dia tak memedulikannya. Bahkan tak salah tingkah. Kusadari bahwa bukan aku yang menjadi pusat perhatian Inggit. Tapi, orang yang selalu berada di sampingku—Alif.

Banyak memang yang menyukai Alif. Dia memiliki aura yang tak bisa dimiliki kebanyakan laki-laki. Bahkan kami yang laki-laki pun terpesona oleh auranya. Tak heran jika banyak perempuan terpikat olehnya. Termasuk Inggit. Maka aku tak cemburu melihatnya. Karena aku juga mengagumi Alif. Juga karena aku belum tergoda oleh pesona Inggit. Masih belum kutemukan keotentikannya.

*

Waktu itu aku mengerjakan sebuah proposal yang tebal dan Alif memberikanku banyak tugas untuk dikerjakan. Sebagai seseorang yang diberi kepercayaan, kulaksanakan mandatnya. Aku berada di kafe hingga kafe itu tutup. Inggit dan teman-temannya—yang juga sibuk mengerjakan laporan—juga masih di sana hingga kafe itu tutup. Kami keluar bersamaan. Karena lapar, kuingin singgahi tempat makan di sekitar kawasan ini. Tempat yang bagiku masih asing, karena aku jarang mencari makan di kawasan ini. Karena bimbang dan karena banyak warung makan yang sudah tutup, kupilih warung makan secara acak, yakni sebuah Burjo. Ketika sampai di Burjo, kulihat Inggit makan di sana. Dan dia seorang diri.

"Teh, bungkus satu seperti biasanya ya." pinta Inggit kepada pemilik Burjo.

"Buat Pak Sapto, Non?"

"Iya, Teh. Pak Sapto belum lewatkan?"

"Belum, Non. Paling sebentar lagi."

"Yaudah deh. Aku tunggu aja."

"Non Inggit mau teh manis? Gratis kok."

"Nggakpapa, Teh?"

"Nggakpapa atuh, Non. Teteh juga mau bagi-bagi pahala. Masak Non Inggit aja yang dapet."

Inggit tersenyum, mengiyakan tawaran pemilik Burjo. Karena penasaran apa yang hendak dilakukan Inggit, aku ikut menunggunya.

Beberapa menit kemudian datang bapak-bapak berkopiah hitam membawa gerobak kayu melewati Burjo.

"Tuh, Non. Pak Sapto." tunjuk pemilik Burjo ke arah bapak-bapak berkopiah tadi.

Inggit keluar dan memanggilnya. Ia membawa nasi bungkus yang ia pesan tadi dan dua plastik berisi teh manis, lalu ia berikan kepada bapak itu. Mereka berdua berbincang sebentar. Lalu Inggit kembali ke dalam dan berpamitan kepada pemilik Burjo. Dia melewatiku. Aroma parfumnya begitu halus menyentuh hidungku. Bergemulai di antara bulu-bulu hidung. Lembut sekali. Tidak menyengat. Wanginya manis.

Inggit pergi meninggalkan Burjo. Ia pergi meninggalkan kesan yang tak pernah kubayangkan akan dilakukan oleh perempuan modern seperti dia. Perempuan secantik dia, sekaya dia, masih mau turun ke bawah. Itu adalah keotentikannya. Apakah ini 'kecantikan sejati' yang dimaksud Alif. Perasaanku dibuat kacau olehnya. Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri. Pikiranku selalu terlintas sosok Inggit. Perempuan seanggun itu, merusak nilai presentasiku keesokannya. Peduli setan nilai presentasi. Tak bisa kepalaku tajam sebagaimana biasanya. Inggit telah menumpulkanku. Apakah ini rasanya jatuh cinta.

Sejak hari itu, ketika kami berada di kafe, aku mulai suka memandangi Inggit. Inggit juga sering memandang ke arah meja kami. Lebih tepatnya ke arah Alif. Kupandangi mata Inggit lekat-lekat. Matanya berpijar karena sosok bintang yang ia pandangi. Untuk pertama kalinya aku cemburu kepada Alif. Dan mulai bertingkah membuatnya jengkel.

Gambar karya: Stefan Zweig TR (Instagram: stefanzweigtr)

Komentar