Sendiri tapi Tak Sepi

Tidak ada komentar

Sendiri tapi Tak Sepi

Remang-remang kompleks perumahan tak membuatku takut. Justru memberikan kesan nyaman. Tak ada rasa khawatir dikejutkan oleh sosok tak kasat mata. Bagiku mereka sudah seperti saudara sendiri—sama-sama ciptaan-Nya. Yang kukhawatirkan justru jiwaku yang tiba-tiba saja tersenyum, terpukau oleh keadaan sunyi. Ini adalah kali pertama, ketika aku bertugas jaga malam, tak kutemui satupun warga ketika sedang mengelilingi kompleks. Padahal malam ini adalah malam minggu. Dan jarum jam masih berada di angka sebelas. Tapi suasana kompleks sudah sepi. Lampu-lampu rumah telah dipadamkan. Tak ada suara bisik-bisik atau televisi dengan volume kencang, sebagaimana biasanya kudengar dari halaman depan rumah Pak Ruslan. Hari ini tak ada aktivitas apapun di sini. Kompleks sudah seperti kota mati. Bibirku tak bisa berhenti tersenyum. Jiwaku menikmati kemegahan malam ini. Momen langka, ucapnya.

Kududuk di kursi kayu di dekat masjid. Nyamuk-nyamuk yang mulanya mengerumuniku, kini tak lagi mengikuti. Kuluruskan kakiku, meletakkannya di atas kursi yang lain. Kurebahkan tubuhku pada punggung kursi, menikmati lagi kemegahan malam ini. "Waktu yang tepat untuk membedah diri sendiri," kataku kepada jiwa.

Mulanya, beberapa hari yang lalu, "sendiri" membuatku muak. Aku tak mengerti maksud dari "sendiri", kenapa harus mengalami "sendiri", dan bagaimana menyikapinya. Aku ingin memberontak karena tak tahan. Aku ingin keluar. Aku ingin bermain. Aku ingin menemui semua orang. Dan dengan sangat tiba-tiba aku ingin mencari seorang istri. Jiwaku mendengar keluhan itu dan mendorongku ke dalam dunianya. Dunia asliku, katanya. Dunia yang kekal. Dunia yang menurut Plato disebut "idea". Apa yang ada di sana sangat kompleks. Kepalaku menjadi pusing mendengarnya. Dan aku tak memiliki suatu pegangan yang dapat membuatku tetap berdiri. Hampir kurobohkan tubuhku, tapi jiwa datang mengulurkan tongkat untukku. Tongkat "moral", katanya. Kuraih tongkat itu, dan benar saja tubuhku kembali tegak karenanya. Tapi tongkat itu tak cukup membantuku untuk berjalan. Dia hanya mampu menyanggaku untuk tetap berdiri saja.

"Plato"—jiwaku berbicara dengan mengutip kalimat Plato lagi—"Plato bilang melarikan diri dalam pikiran dunia materiil, dan memilih hidup dalam dunia idea adalah perbuatan ideal." Aku diam sejenak. Mencerna ucapan jiwa. Jiwa memberikanku waktu untuk berpikir. Lalu kubalas pernyataannya bahwa aku bukan Plato.

"Aku adalah anak yatim yang kini tinggal dengan seorang ibu dan dua orang adik. Ideal bagiku adalah tetap hidup dalam dunia materiil, hadir untuk keluargaku—yang mana tak mengetahui adanya dunia idea ini." Bukan bermaksud menolak dunia idea. Aku pun ingin berjalan-jalan di sana. Tertarik dengan segala yang ada di dalamnya. Tapi aku tak memiliki waktu untuk itu. Dunia materiil "memaksa"-ku sibuk. Aku adalah pribadi yang tak hanya memiliki rasa penasaran yang tinggi. Aku juga memiliki nafsu yang perlu diekspresikan. Tak ada tempat yang tepat untuk mengekspresikannya selain di dalam dunia materiil. Aku bukan filsuf. Aku bukan Plato, yang mampu tak memiliki istri. Aku butuh seorang istri. Tak hanya untuk melampiaskan nafsu. Juga untuk mendeskripsikan apa "cantik" itu—walau definisi cantikku tak sesempurna dengan apa yang ada di dalam dunia idea.

Dunia idea terlalu sempurna. Tak cocok untukku yang serampangan. Tapi bukan berarti aku menyerah. Aku berusaha menyeimbangkannya: menghubungkan jiwa dengan dunia idea dan memuaskan ekspresi badaniah di dunia materiil. Naif memang mengejar keduanya. Tapi apalah makna hidupku tanpa adanya kedua itu.

Jiwaku diam, tak mengomentari pernyataanku. Mungkin kecewa dengan pilihanku. Aku paham. Dia sudah sangat merindukan dunia idea. Tapi butuh waktu untukku mampu menjelajahinya. Tak bisa kumengistimewakan jiwa. Raga juga ciptaan-Nya. Dia menciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Apa bijak mengabaikan ciptaan-Nya yang Dia ciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya. Menurutku, segala yang ada di dunia ini ada untuk dipahami.

Kulihat jiwaku murung. Kuulurkan salah satu ranselku ke arahnya. Dia memandangi ransel itu, bertanya, "Apa itu?" Kujawab bahwa ini adalah ransel yang berisi buah. Setiap perjalanan hidupku, aku memunguti beberapa buah dan menaruhnya di dalam ransel itu. Jika buah itu sudah matang, aku harus segera memakannya. Jika sudah melewati masa matangnya, buah itu menjadi busuk. Jika belum matang, dan aku memakannya, buah itu terasa pahit. Semakin banyak buah yang kuambil, semakin kecil aku mengalami kelaparan. Tapi, semakin banyak buah yang kuambil, semakin berat pula beban yang harus kubawa. Maka aku harus pandai-pandai memilih buah yang perlu aku pungut. Ada satu aturan dasar yang tak bisa ditolak oleh penjelajah sepertiku. Yakni ketika Dia memberikanku buah, sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa aku harus menerima buah itu. Jika aturan itu tak kujalani, buah-buah, yang sudah maupun akan kupungut, takkan lagi terasa nikmat.

Buah yang kumaksud di atas adalah representasi dari "tanggung jawab". Kuulurkan salah satu ransel berisi tanggung jawab kepada jiwaku. "Ambil lah. Demi menghubungkan dunia idea segera," rayuku kepadanya.

Jiwa menerima salah satu ranselku dengan ekspresi terbebani. "Berat juga," katanya.

"Itulah yang kubawa selama ini," balasku.

Menyerahkan sebagian tanggung jawab kepada jiwa membuatku sedikit mampu bergerak di dunia idea. Tongkat moral cukup efektif menghindariku dari lubang-lubang jebakan yang disiapkan-Nya. Perjalananku kini terasa sedikit lebih ringan. Hal ini karena aku dan jiwa memiliki komitmen yang sama. Dialogku dengan jiwa berjalan lancar karena tak ada yang mengintervensi obrolan kami. Kesunyian kompleks mempermudah interaksiku dengan jiwa.

"Sendiri" sangat efektif untuk mengingatkanku tentang pencarian makna hidup. Walau terkadang terasa menyiksa dan ingin mengakhirinya. Tetapi jiwa selalu hadir untuk menghiburku. Dia mengingatkanku soal tanggung jawab. "Belum saatnya," katanya. "Buah akan terasa nikmat kalau sudah matang," tambahnya memperkuat imanku.

Ya, aku akan mencari istri ketika buah sudah matang. Ya, itu akan nikmat rasanya.

Komentar