Mama—dengan mata sembab—menggenggam tanganku erat ketika kami sedang pergi mencari makan untuk makan malam. Mama memilih bakso langganan kami yang letaknya berada di pinggir jalan raya. Lumayan jauh dari rumah. Sedangkan kami menempuhnya dengan berjalan kaki. Hanya ada satu jalan yang dapat mengantarkan kami ke tukang bakso itu, yakni jalan utama desa yang lebarnya cukup luas untuk jalan yang bukan jalan raya. Jalan ini menghubungkan kampung ke jalan raya dan kampung ke kampung lainnya. Minimnya penerangan membuatku—yang masih berusia enam tahun—bergidik ngeri ketika melewatinya. Bagaimana tidak. Pandangan dari arah kiri dipenuhi sawah yang setiap petaknya terdapat petani palsu yang terbuat dari jerami. Petani palsu itu mengenakan baju berwarna putih dan memakai caping tua di atas kepalanya. Tangan petani palsu itu dibuat merentang seperti ingin memeluk. Jika terkena angin mereka terlihat seperti sedang menari. Tak hanya untuk mengusir para burung, sosok itu juga berhasil mengusir nyaliku. Tak kuberanikan memandangi mereka lama, karena gelap membuat petani palsu itu tampak hidup.
Dari arah kanan terdapat beberapa rumah kosong. Rumah-rumah lama yang tak terurus, yang bahkan di dalamnya ditumbuhi semak belukar. Di siang hari rumah-rumah itu selalu menjadi tempat para penggembala domba beristirahat. Sembari menjaga gembalanya menikmati makan siang yang melimpah di sana. Di malam hari rumah-rumah itu seperti rumah hantu. Tanpa adanya penerangan di sekitar, membuat seakan-akan ada suatu aktivitas di dalam rumah-rumah itu. Semak-semak yang ada di dalamnya sering bergerak-gerak tanpa ada angin yang menghendaki mereka bergoyang. Seperti ada yang sedang bersembunyi di balik semak itu.
Kunang-kunang yang ada di dalam rumah-rumah itu selalu berhasil mengejutkanku. Mereka terlihat seperti sepasang mata yang sedang melihat kami. Bulu kudukku berdiri lagi. Sudah kesekian kalinya ketakutan menguasaiku. Mengganti ketakutan lain yang beberapa menit lalu mendatangiku. Kupandangi wajah Mama. Gelap membuat sembabnya tak terlihat. Tapi kurasa sembab itu belum mereda. Karena beberapa kali tangan kanan Mama sibuk mengusap pipinya. Kami berhenti sebentar. Mama menghela napas, mencoba melenyapkan kesedihannya. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan.
"Ozan mau soda gembira?" Mama membuka pembicaraan. Intonasinya tak goyang seperti tadi ketika mengajakku pergi. Mama berhasil menenangkan dirinya.
"Boleh, Ma." jawabku.
"Nanti Mama belikan dua, ya. Satu kamu, satu lagi Kakakmu."
"Iya, Ma."
"Makasih, ya, udah mau nemenin Mama. Sebagai imbalan, nanti Mama kasih tambahan bakso."
"Iya. Ma."
"Anak pinter." Mama usap-usap kepalaku.
Kuketahui Mama juga takut menyusuri jalan ini sendirian. Namun ketakutan lain memaksanya harus berani. Ia menunjukku sebagai pengawal perjalanannya. Dengan rasa iba, kuberanikan diri menerima tawaran itu. Es soda gembira serta beberapa tambahan bakso adalah imbalan yang menguntungkan. Tak ada ruginya menerima misi ini, walau sebenarnya sangat takut.
*
Mama letakkan semua bakso ke dalam mangkok. Sedangkan aku sibuk memungut pecahan kaca di lantai. Mama tak melarang, karena dia sudah mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Kupunguti pecahan itu cukup lama, karena ada tiga piring yang dipecahkan. Apakah orang dewasa sering mengalami hal seperti ini. Jika iya, aku ingin selamanya menjadi anak kecil. Tapi aku tak ingin menjadi karakter yang selalu membersihkan pecahan kaca. Apakah orang dewasa tak pernah tahu bahwa itu merepotkan dan berbahaya. Padahal mereka lahir lebih awal, tapi tak pernah bisa memahaminya.
*
Mama bilang orang dewasa memikirkan banyak hal, maka lumrah jika mereka mudah emosi. Aku semakin tak paham. Kenapa anak kecil yang harus melumrahi emosi orang dewasa. Jika mereka memikirkan banyak hal, seharusnya kejadian semacam ini tak terjadi. Bukankah mereka dipanggil dewasa karena pola pikir mereka yang dewasa. Atau dewasa hanyalah persoalan usia saja. Aku bingung. Jadi dewasa itu sebenarnya apa. Kenapa masih seperti anak kecil, merengek jika keinginannya tak sesuai. Aku tak paham sama sekali. Mama tak menjawab semua pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum dan mengusap-usap kepalaku, berharap aku segera tidur. Malam ini Mama tidur lagi denganku. Aku senang Mama sering tidur di sini. Tapi tidak dengan cara yang begini. Kuharap besok Papa Mama akur lagi.
*
Sedari pukul enam pagi kami bertiga duduk di meja makan. Kakak di sampingku, sibuk memakan kue kering yang ia celupkan ke dalam teh. Di depan Kakak adalah Papa. Ia sedang membaca koran langganannya. Mama sibuk mondar-mandir menyiapkan sarapan kami. Kurasai mood Papa telah membaik, karena setiap Mama meletakkan masakannya, Papa selalu mengucapkan, "Terima kasih, Mama." atau "Matur suwun, cantik." Dan Mama membalasnya dengan, "Sama-sama, Suamiku." atau "Sami-sami, Sayangku." Orang dewasa mudah sekali berubah. Kemarin bagaikan kucing dan anjing. Sekarang bagaikan burung merpati. Aneh. Tak normal. Aku menggelengkan kepala, heran. Melihat tingkahku, Papa dan Mama terkekeh-kekeh. "Dasar, orang aneh." batinku seraya minum susu.