S-Y-I-F-A. Begitulah rangkaian huruf yang kubaca pada name tag-nya. Segera kubuka kembali daftar pemilih tetap yang ada pada genggamanku. Hanya ada satu nama di sana. Syifa, yang memiliki arti 'penyembuh'. Namanya indah dan berfilosofi. Mulanya ku tak menaruh perhatian kepada Syifa. Tujuanku di sini hanya bekerja, melaporkan yang janggal, lalu bersegera pulang. Tak ada yang istimewa, hingga pesona itu muncul.
Aku lupa sejak kapan kumulai memperhatikan Syifa. Satu-satunya yang kusadari adalah aku telah terperangkap. Aku telah jatuh cinta kepadanya. Bagaimana bisa, tanya Otak kepada Hati. Hati tak sanggup menjawab. Sedangkan Otak tiada hentinya mencari jawaban. Dia tak suka jika aku mudah terjebak dalam hal cinta-cintaan. Memang, Syifa adalah perempuan cantik. Tapi, si A juga cantik. Si B juga cantik. Lantas kenapa hanya dengan Syifa perasaanku bisa berbeda, tanya Otak lagi. Otak berusaha memilah-milah jawaban logis untuk mengalahkan rasa yang mengganggu pikiran. Bukankah terlalu cepat merasa jatuh cinta kepada Syifa. Benar juga, jawab Hati. Otak mulai mengerti sekarang. Mungkin ini hanya perasaan kagum kepada Syifa. Bisa jadi karena caranya menyelesaikan pekerjaan membuatku suka pada pandangan pertama. Karena dari sekian orang yang ada, Syifa yang paling kompeten. Dia mampu bekerja cepat. Dapat diandalkan. Berbanding terbalik dengan rekan-rekannya. Dia yang paling mencolok. Bagiku perempuan seterampil Syifa tak lumrah. Jarang ada. Maka bisa jadi benar, bahwa aku jatuh cinta karena kemampuan Syifa menyelesaikan pekerjaannya. Besok rasa kagum itu bisa menghilang. Dan perasaanku bisa kembali normal. Tak masalah hari ini ku dikuasai Syifa. Karena besok kuakan kembali menjadi diriku lagi. Maka hari ini kubiarkan perasaanku bersenang-senang. Otak sepakat dengan keputusanku. Toh sudah lama Hati tak segirang ini.
*
Hari sudah berganti. Rupanya pekerjaan ini tak secepat sebagaimana yang kupikirkan. Tapi aku tak mengeluh. Karena Syifa ada di sini. Kami terjebak dalam pekerjaan yang sama. Malah aku ingin lebih lama lagi bersamanya. Aku tau ini tak benar. Syifa berharap pekerjaannya segera selesai. Sedangkan aku justru berharap tak segera selesai, hanya karena ingin memandangnya lama. Keegoisan ini bukan bentuk cinta yang tepat. Kucoba ikut membantunya. Memastikan jumlah perhitungan suara benar. Meminta kawan-kawan saksi lain bersegera menyelesaikan tarafnya.
*
Ayam mulai berkokok. Subuh segera tiba. Hari-hari bersama Syifa akan segera berakhir. Ada perasaan tak rela harus berpisah dengan Syifa. Hati menjadi sedih. Otak ingin membujuknya, tapi dia juga bersedih. Padahal baru sehari, tapi Syifa begitu merepotkan. kuharus segera sadar dan kembali menjalani hidup sebagaimana kemarin. Kuharus menyudahi rasa ini.
Ini adalah kali pertama sejak masa SMA berakhir, kujatuh cinta lagi pada pandangan pertama. Juga sudah lama ku tak pernah bersosial selama ini dengan orang-orang baru. Pekerjaan yang tak terduga ini, yang harusnya bukan aku yang menjalaninya, adalah sebuah takdir hidup yang mengesankan. Membuatku selalu kagum dengan cara Tuhan menuntunku ke dalam hidup yang lebih bermakna. Termasuk ketika perasaanku dikuasai Syifa. Kegilaan ini lama tak pernah kurasakan. Rasanya senang, karena rasa ini kembali hadir. Rasa di mana duniaku penuh dengan warna. Dan taman bunga di hatiku bermekaran. Aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukanku dengan Syifa, walau hanya sesaat.
*
Kucoba menghibur diri dengan menikmati bubur kacang ijo di Slamet Riyadi. Sambil menyuapi diri sendiri, kutulis nama Syifa dalam kolom pencarian Instagram. Kutemukan akunnya. Ada rasa gelisah di benak hatiku. Pertama, kusudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mendekati perempuan mana pun tahun ini. Kedua, Syifa adalah perempuan unik, jarang ada. Presentase kesempatan bertemu dengan perempuan seperti Syifa sangat kecil. Bagaimana jika kesempatan itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Ya Tuhan, kenapa Kau coba menggoyahkan pendirianku.
Kutekan tombol follow sebagai upaya mengurangi rasa gelisah. Perihal pendirianku bagaimana biar kupikirkan nanti. Bisa saja Syifa kudekati nanti setelah kuliahku selesai. Sehingga tak ada istilah "di waktu yang salah" diantara kami. Sekarang sudah saatnya aku memikirkan cara untuk kembali menjalani realitas hidup seperti kemarin dan melepas perasaan kagum ini.
*
"Ini mas kacamata kemarin? Mas, berkasmu masih ada nggak? Berkasku kurang ini, ..." Selain mengikutiku balik, Syifa juga mengirim pesan kepadaku. Tanpa basa-basi, pesannya langsung soal pekerjaan. Perempuan gila. Tapi karena pesan itu, taman di hatiku bermekaran, lagi.