Berpikir dialektis berarti mengakui bahwa konsep-konsep yang telah digunakan untuk menjelaskan banyak hal bisa menjadi usang dari waktu ke waktu. Denis Goulet berpendapat bahwa seorang dialektikus sejati adalah mereka yang mampu "mengatasi" konsep berpikir lama (yang usang) tanpa menolaknya atas nama kesadaran baru, pemahaman baru yang lebih kritis, yang sekarang dimiliki. Menurut Denis, dalam meneliti persoalan kesadaran kritis, Freire adalah tokoh yang paling mutakhir (up to date, aktuil). "Dia (Freire) tak berhenti mencari bentuk-bentuk baru dari kesadaran kritis." kata Denis. Apalagi Freire memiliki pengalaman multikultural yang membuat konsep kesadaran kritis lebih intensif (mendalam). Maka, karya-karya Freire adalah karya fundamental untuk memahami persoalan dunia (terutama dalam dunia pendidikan). Buku ini lahir dari usaha-usaha Freire dalam upaya pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa di Brisilia sebelum terjadi kudeta militer 1 April 1964.
Identitas Buku
- Judul Buku: Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan
- Pengarang: Prof. Dr. Paulo Freire
- Penerbit: Gramedia, Jakarta
- Tanggal Terbit: 1984
- ISBN: -
- Tebal Halaman: xxiv+157
- Lebar:
- Panjang:
Originally published as "Educacão como Práctica da Liberdade", Editora Paze Terra, Rio de Janeiro, 1967
"Extension y Comunication", Institute for Agricultural Reform, Santiago (Chile), 1969
PENDIDIKAN SEBAGAI PRAKTEK PEMBEBASAN
oleh Prof. Dr. Paulo Freire
Diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho
Kata Pengantar oleh Abdurrahman Wahid
Desain sampul dan lay-out oleh Rahardjo
Diterbitkan pertama kali dalam terjemahan Indonesia oleh Penerbit PT. Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta 1984
Daftar Isi "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan"
Prakata: Denis Goulet (vii)
Kata Pengantar: Abdurrahman Wahid (xv)
Bagian Pertama: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (1)
- Bab I: Masyarakat dalam Peralihan (3)
- Bab II: Masyarakat Tertutup dan Tiadanya Pengalaman Demokrasi (21)
- Bab III: Pendidikan Berhadapan dengan Masifikasi (32)
- Bab IV: Pendidikan dan Konsientisasi (41)
Bagian Kedua: Ekstensi atau Komunikasi (59)
- Bab V
- Analisis Semantik atas Kata "Ekstensi" (65)
- Ekstensi dan Kesalahpahaman Gnosiologis (70)
- Bab VI
- Ekstensi dan Invasi Kultural—Sebuah Kritik Penting (82)
- Reformasi Agraris, Transformasi Kultural, dan Peranan Agronom—Pendidik (98)
- Bab VII
- Ekstensi dan Komunikasi (105)
- Pendidikan sebagai Kondisi Gnosiologis (114)
Apendiks (133)
Riwayat Hidup Paulo Freire (157)
Prakata (Ditulis oleh Denis Goulet)
Berpikir dialektis berarti mengakui bahwa konsep-konsep yang telah digunakan untuk menjelaskan banyak hal bisa menjadi usang dari waktu ke waktu. Denis Goulet berpendapat bahwa seorang dialektikus sejati adalah mereka yang mampu "mengatasi" konsep berpikir lama (yang usang) tanpa menolaknya atas nama kesadaran baru, pemahaman baru yang lebih kritis, yang sekarang dimiliki.¹ Menurut Denis, dalam meneliti persoalan kesadaran kritis, Freire adalah tokoh yang paling mutakhir (up to date, aktuil). "Dia (Freire) tak berhenti mencari bentuk-bentuk baru dari kesadaran kritis." kata Denis. Apalagi Freire memiliki pengalaman multikultural yang membuat konsep kesadaran kritis lebih intensif (mendalam).² Maka, karya-karya Freire adalah karya fundamental untuk memahami persoalan dunia (terutama dalam dunia pendidikan). Buku ini lahir dari usaha-usaha Freire dalam upaya pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa di Brisilia sebelum terjadi kudeta militer 1 April 1964.³
Dalam konsep "kebebasan", Freire melihatnya sebagai proses dinamis yang tertanam di dalam sejarah, di mana kaum tertindas memiliki kesadaran yang sebelumnya "diinternaliasasi"⁴ oleh kaum penindas. Akhir-akhir ini, Freire berfokus pada penindasan yang berkedok di balik "kebebasan" demokratis atau "kebebasan" warga negara. Oleh karenanya, Freire melihat pembebasan sekarang sebagai suatu aktivitas yang dinamis.⁵
¹ Prof. Dr. Paulo Freire, "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan", Jakarta: PT. Gramedia, 1984, hlm. vii.
² Ibid.
³ Ibid., hlm. vii-viii.
⁴ "Diinternalisasi" adalah proses di mana seseorang menerima dan memahami informasi atau nilai-nilai tertentu secara mendalam, sehingga informasi atau nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari pemikiran atau sikapnya secara internal. Dalam konteks psikologi atau pendidikan, ini mengacu pada proses di mana pengetahuan, norma, atau nilai-nilai diadopsi secara pribadi dan digunakan sebagai dasar untuk tindakan dan pengambilan keputusan individu.
⁵ Paulo Freire, Pendidikan sebagai..., hlm. viii.
Pendidikan perspektif Freire adalah sebuah praktek dalam upaya pembebasan. Pertama ialah membebaskan sosok yang disebut dengan 'terdidik' (murid). Terdidik adalah sosok yang mulanya diakui sebagai objek (pasif).⁶ Mereka hanya datang, diam, mendengarkan 'pendidik' berbicara. Menurut Freire, kegiatan monolog semacam itu adalah sistem perbudakan pendidikan. Dalam kegiatan belajar-mengajar, tak boleh ada sosok yang dinilai sebagai objek. Kegiatan belajar-mengajar adalah hubungan antara subjek dengan subjek. Maka dari itu, Freire berusaha membebaskan kebiasaan lama—terdidik (murid) sebagai objek dan pasif—dengan menjadikan terdidik sebagai subjek dan aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Sehingga ada sebuah dialektika dalam kegiatan belajar-mengajar. Juga—menurut Freire, terdidik sebagai objek membuat mereka merasa rendah diri, kecil, dan tak berharga—membebaskan terdidik dari belenggu ketidakpantasan mereka. Kedua membebaskan 'pendidik' (guru) dari peranan yang terlalu aktif karena sistem pendidikan yang monolog. Freire berupaya membebaskan kedua sosok itu dari sistem lama, yang awalnya subjek (pendidik) mendidik objek (terdidik) menjadi subjek berdialektik dengan subjek. Sehingga menghasilkan sebuah kesadaran kritis karena kedua-duanya memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan realitasnya, kulturnya, dan historis yang melingkungi mereka.
Freire berpesan bahwa untuk memahami dunia di sekitarnya, seseorang harus mempertanyakan secara intensif realitas natural, kultural, dan historis yang melingkunginya. Konsep Freire tersebut berlawanan dengan pendekatan yang—oleh—teknokrat sebut dengan istilah problem-solving, di mana ahli cenderung memisahkan diri dari realitas, menganalisisnya secara terpisah, dan mencari solusi efisien tanpa mempertimbangkan secara menyeluruh keterlibatan manusia dalam konteksnya. Pendekatan seperti itu—bagi Freire—mengabaikan keutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan hanya memandangnya sebagai entitas yang harus menyelesaikan masalah. Sebaliknya, Freire mendorong masyarakat untuk mempermasalahkan realitas secara menyeluruh dan melibatkan masyarakat. Melalui dialog reflektif (mendalam) dan partisipatif (semua pihak terlibat), Freire percaya bahwa masyarakat dapat menjadi subjek mereka sendiri, bukan hanya objek dari kebijakan.⁷
⁶ Paulo Freire, Pendidikan sebagai..., hlm. ix.
⁷ Ibid.
Freire berkata, bahwa tindakan (atau aksi) tanpa refleksi kritis (kontemplasi yang mendalam) adalah aktivisme yang berbahaya (beresiko). Di sisi lain, suatu konsep (teori) tanpa disertai tindakan (sikap, aksi) sosial kolektif hanyalah wishful thinking (idealisme) kosong yang melarikan diri. Teori sejati—bagi Freire—hanya dapat disimpulkan dari beberapa "praksis"⁸ yang berakar dalam pergumulan sejarah.⁹
⁸ "Praksis" adalah proses atau kegiatan nyata dalam menjalankan atau menerapkan sesuatu, tidak hanya sekadar teori atau konsep. Dalam konteks filosofi atau ilmu sosial, praksis sering kali merujuk pada tindakan manusia yang diarahkan untuk mencapai tujuan atau mengubah kondisi nyata.
⁹ Paulo Freire, Pendidikan sebagai..., hlm. ix-x.
Dalam esai "Ekstensi atau Komunikasi", Freire menerapkan sebuah konsep "konsientasi¹⁰" yang disebut dengan "ekstensi pedesaan¹¹". Freire juga merasa, bahwa esainya, "Ekstensi atau Komunikasi", dapat berlaku luas, tak hanya relevan untuk masyarakat pedesaan saja. Ekstensi juga bisa berlaku untuk pekerja sosial, perencana kota, administratur, politisi, dan profesi lainnya.
¹⁰ "Konsientisasi" adalah istilah yang diperkenalkan oleh Paulo Freire yang sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "conscientization" atau "consciousness-raising" dalam konteks pembelajaran dan perubahan sosial. Secara umum, konsientisasi merujuk pada proses di mana individu atau kelompok masyarakat menjadi lebih sadar secara kritis terhadap realitas sosial, politik, dan ekonomi mereka. Proses ini tidak hanya tentang memperoleh pengetahuan baru atau informasi, tetapi lebih kepada pengembangan pemahaman yang mendalam tentang struktur kekuasaan, ketidakadilan, dan konflik dalam masyarakat. Tujuan dari konsientisasi adalah untuk membantu individu atau kelompok untuk memahami sumber-sumber ketidakadilan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara kolektif untuk mengubah kondisi tersebut. Freire menggunakan konsep konsientisasi dalam konteks pendidikan untuk memfasilitasi proses di mana peserta didik tidak hanya belajar untuk mengenali realitas mereka dengan lebih baik, tetapi juga untuk bertindak sebagai agen perubahan yang aktif dalam masyarakat. Ini merupakan bagian integral dari pendekatan pendidikan pembebasan yang ditekankan oleh Freire, yang bertujuan untuk mengatasi penindasan dan mempromosikan kemerdekaan individu dan kolektif.
¹¹ "Ekstensi Pedesaan" mengacu pada program atau inisiatif di daerah pedesaan yang bertujuan untuk membawa teknologi maju, praktik pertanian terbaru, atau pengetahuan lainnya kepada petani dan masyarakat lokal. Contohnya adalah program di Amerika Serikat di mana pekerja ekstensi (county agents) bekerja untuk mendukung pertanian dan pendidikan pertanian di komunitas pedesaan. Dalam pemikiran Paulo Freire, "Ekstensi atau Mengekstensikan" tidak hanya merujuk pada transfer teknis (atau keterampilan) kepada orang lain. Freire menekankan bahwa pendekatan yang lebih dalam diperlukan, yang melibatkan dialog yang sejati dan konsientisasi terhadap struktur bantuan atau sumbangan yang mendasarinya. Ini mengarah pada gagasan bahwa ekstensi seharusnya tidak hanya tentang memberikan bantuan teknis, tetapi juga tentang memahami dan mengatasi ketidaksetaraan kekuasaan dan struktur sosial yang ada.
Freire melihat bahwa ada ideologi lain yang tersirat dalam implementasi ekstensi pertanian. Ideologi itu berupa paternalisme¹² (sikap mengesampingkan kebebasan), kontrol sosial, dan monolog (hubungan satu arah) dari para ahli kepada mereka yang dibantu. Freire mengkritik upaya implisit tersebut, dengan menekankan kepada mereka (si ahli atau si pembawa pengetahuan) agar terlibat dalam dialog dengan petani untuk belajar bagaimana menerapkan pengetahuan mereka secara holistik¹³ (menyeluruh) dalam konteks pedesaan yang kompleks. Sehingga ekstensi dapat berjalan sebagaimana mestinya.
¹² Paternalisme adalah sikap atau praktik di mana seseorang atau kelompok menganggap diri mereka memiliki otoritas atau pengetahuan yang lebih baik, dan dengan demikian mereka merasa berhak untuk mengambil keputusan atau bertindak atas nama individu atau kelompok lain, dengan tujuan untuk melindungi atau mengatur mereka, meskipun tanpa persetujuan atau partisipasi aktif dari pihak yang bersangkutan. Biasanya, paternalisme dianggap sebagai sikap yang mengesampingkan atau mengabaikan otonomi atau kebebasan individu atau kelompok yang diperlakukan sebagai bawahan atau penerima bantuan.
¹³ "Holistik" mengacu pada pendekatan atau pandangan yang memandang sesuatu secara menyeluruh, utuh, atau komprehensif. Dalam konteks berbagai bidang—seperti kesehatan, pendidikan, atau filosofi—holistik berfokus pada integrasi aspek-aspek yang berbeda menjadi satu kesatuan yang lebih besar, yang mengakui bahwa bagian-bagian tersebut saling terhubung dan tidak dapat dipisahkan. Misalnya, pendekatan holistik dalam kesehatan dapat mencakup perhatian terhadap aspek fisik, mental, emosional, dan spiritual individu sebagai satu kesatuan untuk mencapai keseimbangan dan kesehatan yang optimal.
Dalam suatu diskusi mengenai "modernisasi mekanistik¹⁴", Freire berpendapat bahwa modernisasi yang mekanistik, di mana hanya bergantung pada teknisi atau para manipulator yang berusaha mengontrol keputusan masyarakat agar pengambilan keputusan tetap berada di luar masyarakat, dapat menghalangi masyarakat untuk menjadi subjek atas perubahan mereka sendiri. Bagi Freire, modernisasi tak menumbuhkan masyarakat menjadi sosok yang aktif. Justru membuat mereka menjadi pasif. Sehingga muncul satu kutipan dari Freire, "Meskipun semua pembangunan adalah modernisasi, namun tidak semua modernisasi adalah pembangunan (yang membangun masyarakat)."
¹⁴ Modernisasi mekanistik mengacu pada penggunaan teknologi dan mesin-mesin terkini untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan akurasi dalam proses-proses mekanis. Ini mencakup penggunaan otomatisasi, robotika, dan sistem kontrol yang canggih untuk menggantikan atau meningkatkan pekerjaan manual dalam berbagai industri. Dengan modernisasi ini, tujuan utamanya adalah untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan kualitas produk, dan mengoptimalkan waktu produksi.
Kesulitan utama yang dihadapi oleh pendidik atau agen perubahan (untuk masyarakat) adalah bagaimana mencapai hasil yang maksimal dengan efisiensi yang tinggi. Apakah dengan berdialog dan berkomunikasi (secara intensif) dengan masyarakat hanya akan membuang-buang waktu dan menunda peningkatan produksi yang sangat penting untuk pembangunan nasional. Merespon pertanyaan itu, Freire berpendapat bahwa waktu akan terbuang sia-sia jika masyarakat hanya terjebak dalam aktivisme teknokratis¹⁵ yang tak relevan dengan praksis sehari-hari.
¹⁵ Aktivisme teknokratis adalah upaya yang dilakukan oleh para teknokrat untuk menerapkan solusi teknologi dan pendekatan ilmiah dalam penyelesaian masalah sosial, politik, atau ekonomi. Dalam konteks aktivisme teknokratis, mereka yang terlibat sering kali percaya bahwa solusi terbaik untuk masalah-masalah kompleks adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip teknis dan ilmiah secara langsung, tanpa banyak campur tangan politik atau ideologis.
Denis Goulet
Daftar Isi:
- Buku: Paulo Freire "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan" - Part 1: Prakata Denis Goulet
- Buku: Paulo Freire "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan" - Part 2: Gus Dur, "Pembebasan Melalui Pendidikan Punyakah Keabsahan?"
- Buku: Paulo Freire "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan" - Versi Full
Denis Goulet adalah seorang filsuf dan pakar dalam bidang etika pembangunan internasional. Ia berkontribusi dalam memadukan konsep pembangunan dengan nilai-nilai etika, termasuk keadilan sosial dan keberlanjutan. Karya-karyanya sering kali membahas tentang bagaimana pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap masyarakat global.