Buku: Paulo Freire "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan" - Part 2: Gus Dur, "Pembebasan Melalui Pendidikan Punyakah Keabsahan?"

Tidak ada komentar

Resensi Buku: Paulo Freire "Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan"

Menurut Gus Dur, pendidikan adalah cara terpenting untuk mencapai kemerdekaan. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pejuang kemerdekaan memulai gerakannya dari pendidikan. Contohnya: Rabindranath Tagore¹⁶ yang berjuang dengan gerakan budaya dan pendidikan di India. Sudirman, yang kemudian menjadi Panglima Besar APRI¹⁷ dan berpangkat Jenderal, juga berawal dari pendidikan. Banyak pejuang kemerdekaan berasal dari guru—selain dokter, insinyur, dan pengacara. Gus Dur menyebut ada dua alasan mengapa profesi guru sering dianggap cocok untuk menambahkan semangat kemerdekaan. Pertama, karena idealisme guru yang tinggi. Kedua, karena guru di masa kolonial berasal dari kelas 'priyayi kecil' (lesser nobility), yang kecewa dan marah pada penjajah karena tak memuliakan profesi mereka. Lantas kekesalan itu mereka lampiaskan dalam bentuk perjuangan kemerdekaan.

¹⁶ Rabindranath Tagore adalah seorang penyair, penulis, dan filsuf dari India. Pernah memenangkan Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913. Tagore terkenal karena usahanya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
¹⁷ Angkatan Perang Republik Indonesia (sekarang TNI).


Kata Pengantar

Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?

(Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan)¹⁸

Setelah kemerdekaan tercapai, mayoritas guru pejuang kemerdekaan berpindah profesi, dari pendidikan, ke dunia politik dan pemerintahan. Mereka sering kali terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan korupsi ketika mereka menjadi pejabat pemerintahan, menjadi pemimpin partai-partai politik dan menjadi elit negara. Mereka mengembangkan sikap otoriter dan melupakan idealisme serta prinsip keteladanan. Kejujuran yang dulu penting digantikan oleh kemunafikan yang mengabaikan norma susila.

¹⁸ Gambaran Singkat Mengenai Suatu Metode.


Tak hanya itu. Menurut Gus Dur, dunia pendidikan juga kehilangan guru-guru berkualitas, dan ini bukan masalah kecil. Bertambahnya jumlah sekolah secara masif, mengakibatkan ketidaktersedianya guru berkualitas karena waktu yang terbatas. Sehingga terpaksa meluluskan guru-guru yang kurang memenuhi standar. Ini terjadi di Mesir dan India pada 1960-an, serta Indonesia pada 1970-an. Permasalahan ini takkan bisa diselesaikan dalam dua dekade. Di sisi lain, gaji rendah juga membuat profesi guru tak menarik bagi orang-orang berkualitas.

Masalah lain dalam dunia pendidikan adalah tidak jelasnya arah pendidikan nasional. Pada masa kolonial, pendidikan bertujuan untuk menciptakan pegawai rendahan bagi pemerintah jajahan. Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia kesulitan menentukan arah yang tepat. Mulanya pendidikan diarahkan pada "semangat kemerdekaan", menggantikan fokus sebelumnya pada kelas kerani¹⁹. Namun, semangat itu tak cukup menyediakan lapangan kerja bagi lulusan. Setelah beberapa dekade, pendidikan mengubah fokusnya untuk "melayani kebutuhan pembangunan nasional", menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi dan industri.

¹⁹ Kelas kerani adalah tenaga kerja administrasi. Pemerintah melakukan program atau pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan administratif dan manajemen kantor. Program ini mencakup topik seperti pengelolaan dokumen, komunikasi bisnis, penggunaan perangkat lunak kantor, dan keterampilan organisasi lainnya yang diperlukan untuk mendukung operasional instansi.


Perubahan arah pendidikan tak memberikan hasil yang diharapkan karena "mentalitas kerani" masih ada bahkan semakin menjadi-jadi. Keterampilan dan kecakapan yang dimiliki akan sia-sia jika lulusan tak menghilangkan mentalitas ini.

Mentalitas ini tetap dipertahankan oleh sistem perekonomian yang mirip dengan masa kolonial, yakni perekonomian masih berfokus pada penyediaan barang murah dari negara-negara baru merdeka untuk negara-negara industri maju, yang dulunya adalah penjajah. Barang yang diekspor (dikirim) ke bekas negara penjajah, apakah masih berupa bahan mentah atau sudah diolah, tidak terlalu penting. Yang penting adalah harganya murah, sehingga memungkinkan pengolahan lebih lanjut dengan keuntungan yang besar. Pola ekspor ini juga berarti penekanan upah pekerja serendah mungkin di negara-negara pengekspor.

Negara bekas jajahan, menjadi negara-negara pengekspor yang dimanfaatkan sumber daya alam dan manusianya oleh negara-negara industri maju atau negara bekas penjajah untuk meraup keuntungan sebesar mungkin.


Ada dua akibat di bidang pendidikan dari sistem perekonomian tersebut. Pertama, terbatasnya ruang gerak sektor usaha membuat kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan menjadi sangat sedikit. Kedua, jika pun ada kesempatan kerja, gajinya sangat rendah. Kesempatan kerja yang terbatas dan upah yang rendah membuat arah pendidikan berfokus pada pelatihan untuk posisi yang dibutuhkan. Perhatian tertuju pada mencapai gelar di bidang-bidang yang banyak diminati seperti: ekonomi, kedokteran, teknik, dan bahasa, atau memilih jalur menjadi pegawai negeri yang menawarkan pendapatan yang cukup memadai (kata Gus Dur bukan karena gajinya yang tinggi, tetapi karena dapat memperoleh penghasilan lain melalui berbagai cara).

Pendidikan sebelumnya seringkali hanya dianggap sebagai "pemenuhan kebutuhan pembangunan", khususnya dalam konteks menyediakan tenaga kerja untuk ekspor barang murah ke negara industri maju. Akibatnya, pendidikan lebih berfokus pada menghasilkan tenaga kerja tingkat rendah daripada mengembangkan tenaga kerja tingkat tinggi. Banyak profesi lain kurang diperhatikan, atau hanya sebatas berfokus pada bidang-bidang populer seperti kedokteran atau teknik. Sementara itu, pendidikan untuk menghasilkan petani mandiri, pengusaha kecil, dan pengrajin yang bisa bersaing dengan barang impor hampir tak pernah tercapai. Padahal, inilah yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat, terutama di negara-negara yang baru merdeka.

Dalam keadaan seperti ini, pendidikan menjadi bagian dari jaringan ketergantungan global, di mana negara-negara berkembang bergantung pada negara maju mengenai modal, teknologi, pengelolaan usaha, dan jasa, sementara negara maju membutuhkan barang murah dari negara berkembang. Ketergantungan ini menimbulkan beban berat, yaitu sistem pemerasan yang tidak mengangkat mayoritas penduduk negara berkembang dari kemiskinan secara signifikan (Gus Dur menyebut fenomena ini dengan istilah "sistem pemerasan keringat²⁰"). Meskipun tampak adanya "tetesan ke bawah²¹" berupa peningkatan penghasilan per kapita, kenyataannya proses kemiskinan masih berlanjut dan tidak ada perbaikan signifikan.

²⁰ "Sistem pemerasan keringat" merujuk pada situasi di mana tenaga kerja dari negara berkembang dieksploitasi secara tidak adil oleh negara maju atau perusahaan besar. Ini sering terjadi dalam bentuk upah rendah, kondisi kerja yang buruk, dan beban kerja yang tinggi, sehingga pekerja dari negara berkembang tidak mendapatkan manfaat yang signifikan dari kontribusi mereka dan tetap terjebak dalam kemiskinan.
²¹ Istilah Gus Dur: "tetesan ke bawah", mengacu pada gagasan bahwa manfaat pembangunan seharusnya mengalir ke lapisan masyarakat bawah.


Pendidikan kehilangan relevansinya bagi banyak orang di negara berkembang, kecuali untuk memberikan status sosial sebagai "orang yang pernah bersekolah". Sistem pendidikan sering kali terasa asing bagi masyarakat karena mereka tidak memahami konsep dasarnya, tidak peduli dengan masalah yang dihadapi, dan tidak menyadari dampaknya. Masyarakat membiayai pendidikan hanya sebatas agar tersedia, karena dianggap penting (sebagai syarat dan kelayakan suatu bangsa) meski belum tentu memadai. Walau ada dukungan dari sebagian kecil masyarakat untuk sistem pendidikan yang elit, jarang ada yang mempertanyakan apakah biaya tersebut sebanding dengan hasil pendidikannya.

Kritik terhadap pendidikan di negara berkembang muncul karena berbagai alasan. Awalnya, kritik ini hanya mengenai metode dan pengajaran. Namun, seiring waktu, orang mulai mempertanyakan orientasi pendidikan dan asumsi dasarnya—diikuti pertanyaan mengenai manfaat sebenarnya. Pada tahun 1970-an, muncul konsep pendidikan alternatif yang menantang sistem lama. Pemikiran ini berkembang pesat, terutama setelah Paulo Freire dan Ivan Illich mengkritik sistem yang dianggap menindas (opresif)

Konsep pendidikan alternatif menarik perhatian banyak orang, terutama di kalangan intelektual dan pendidik. Banyak upaya telah dilakukan untuk menawarkan alternatif terhadap sistem pendidikan yang ada. Di berbagai tempat, seperti India, Sri Lanka, Afrika, dan Indonesia, ada upaya untuk mencoba sistem pendidikan yang berbeda. Contohnya sistem ashram²² dihidupkan kembali di India, ada gerakan Sarvodaya²³ di Sri Lanka, pendidikan berbasis budaya di Afrika, serta pesantren dan pendidikan pedesaan di Indonesia. Semua ini (secara tergesa-gesa) disebut sebagai 'pendidikan alternatif'. Namun, upaya ini lebih berakar pada kebangkitan budaya daripada kesadaran politik dari 'pendidikan alternatif' seperti yang dipikirkan oleh tokoh seperti Freire dan Illich.

²² Sistem ashram di India adalah institusi tradisional yang sering berfungsi sebagai tempat belajar, meditasi, dan pengembangan spiritual. Ashram biasanya dipimpin oleh seorang guru atau spiritual leader dan menyediakan lingkungan yang tenang dan terpencil bagi para penghuninya untuk mendalami ajaran spiritual atau filsafat tertentu. Ashram sering kali menawarkan program retret, kursus yoga, dan meditasi, serta kegiatan lain yang berfokus pada pengembangan diri dan spiritual. Para penghuni bisa tinggal untuk waktu yang singkat atau menetap dalam jangka panjang, tergantung pada tujuan pribadi mereka.
²³ Gerakan Sarvodaya adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi semua orang. Ini didasarkan pada prinsip-prinsip Mahatma Gandhi, yang menekankan pada pembangunan komunitas, keadilan sosial, dan pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. Sarvodaya mendorong kemandirian, non-kekerasan, dan kerja sama untuk membangun masyarakat yang adil dan harmonis.


Di sini akan dilakukan tinjauan singkat tentang sistem pendidikan alternatif, terutama mengenai penerapannya di negara kita. Tinjauan ini penting karena meningkatnya minat terhadap sistem ini (dapat dilihat dari terbitnya buku terjemahan Freire). Tanpa tinjauan, pemahaman kita akan sistem ini tidak lengkap dan penerapannya bisa salah, bertentangan dengan tujuannya. Penerapan yang tidak tepat bisa memicu perlawanan terhadap kekuasaan, yang bisa memicu reaksi balasan dari pihak penguasa. Padahal, tujuan utama sistem ini adalah mengubah pola pikir dan cara hidup masyarakat, bukan menentang kekuasaan.

Ada kecenderungan kuat untuk menerima pengaruh dari luar tanpa memeriksa dampak dan penerapannya di negara kita. Ini terjadi karena kita cenderung menerima berbagai hal, mulai dari budaya konsumtif hingga gaya hidup santai dan penggunaan teknologi tinggi tanpa mempertimbangkan kegunaannya. Seiring dengan itu, muncul juga pemikiran dan konsep yang menentangnya, seperti revitalisasi nasionalisme²⁴ di Filipina oleh Renato Constantino, konsep 'transnasionalisasi tandingan' dari Amerika Latin²⁵, dan 'Islam sebagai sistem alternatif²⁶'.

²⁴ Revitalisasi nasionalisme oleh Renato Constantino di Filipina adalah upaya untuk memperkuat kesadaran nasional dengan menekankan pentingnya sejarah dan identitas Filipina. Constantino mengkritik pengaruh kolonial dan menekankan perlunya pendidikan yang berfokus pada perspektif lokal, agar masyarakat lebih memahami dan menghargai warisan budaya dan sejarah mereka sendiri.
²⁵ Konsep "transnasionalisasi tandingan" dari Amerika Latin merujuk pada gerakan yang menentang dominasi ekonomi dan budaya global dengan mempromosikan solidaritas dan kerjasama antar negara di kawasan. Ini melibatkan pembentukan aliansi dan jaringan untuk mempertahankan kemandirian politik dan ekonomi, serta melestarikan identitas budaya lokal.

²⁶ "Islam sebagai sistem alternatif" adalah gagasan bahwa Islam dapat menjadi landasan untuk sistem sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda dari model Barat. Ini menekankan prinsip-prinsip Islam seperti keadilan sosial, pemerintahan yang etis, dan kesejahteraan bersama, sebagai solusi untuk masalah-masalah modern yang dihadapi masyarakat.


Ada banyak gagasan dan pemikiran tentang sistem pendidikan alternatif, sehingga sudah saatnya kita meninjau keseluruhan proses pencarian alternatif tersebut. Tinjauan bisa dilakukan secara global atau sektoral untuk mendapatkan visi yang lebih dalam. Ini adalah langkah awal untuk memahami berbagai pemikiran alternatif di bidang pendidikan.

Alternatif pemikiran dalam pendidikan muncul karena ketimpangan masyarakat di negara-negara berkembang. Struktur sosial di negara-negara tersebut sering kali menindas rakyat kecil dan cenderung menguntungkan pemilik modal yang berasal dari negara maju. Hubungan internasional yang ada mendukung proses penindasan ini, termasuk melalui pendidikan, yang justru memperburuk kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, pendidikan tidak bisa diandalkan untuk mengatasi kemiskinan jika tidak diubah agar tidak terikat dengan struktur masyarakat yang tidak adil.

Struktur masyarakat yang tidak seimbang ini memengaruhi semua sektor kehidupan—seperti pendidikan, agama, budaya, dan politik—dan membuat kepentingan rakyat luas tidak terwakili. Sektor kehidupan itu membelenggu rakyat dalam struktur masyarakat yang tidak adil, yang terikat pada sistem yang didominasi oleh kapitalisme tinggi, yang mana tak hanya menguasai teknologi tapi juga informasi. Kapitalisme internasional menyebabkan ketidakadilan dalam masyarakat. Sedangkan kebisuan di berbagai sektor di setiap negara adalah salah satu ujung mata rantainya.

Kemerdekaan politik tidak membawa banyak perubahan, malah memperkuat struktur yang ada dan melegitimasi kondisi tersebut, dikarenakan negara dianggap 'tidak lagi dijajah'. 'Kebudayaan nasional' yang dikembangkan setelah kemerdekaan justru melupakan rakyat kecil dari masalah mereka yang sebenarnya, yaitu ketidakadilan struktural global. Agama juga demikian, ia mengalihkan perhatian dari perjuangan melawan ketidakadilan ini, memisahkan umat beragama dari fokus sebenarnya. Semua ini berpangkal pada masalah yang sama, yaitu kapitalisme internasional.

"Struktur" di sini merujuk pada sistem sosial dan ekonomi yang ada, termasuk hierarki dan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Ini mencakup bagaimana kekuasaan dan sumber daya didistribusikan dan dipertahankan oleh institusi dan sistem global seperti kapitalisme internasional.


Menghadapi kenyataan yang begitu jelas dan tak terhindarkan, rakyat memilih diam karena merasa tak berdaya. Mereka memilih terkungkung dan terbelenggu.

Sejarah menunjukkan bahwa setiap usaha untuk mengubah 'keadaan' selalu gagal karena ketidakadilan struktur itu sendiri. Bahkan negara-negara sosialis, produk ideologi Marxisme-Leninisme, yang seharusnya membebaskan rakyat, justru menindas ketika kekuasaan dipegang oleh aparatchik yang bekerja sama dengan birokrasi dan industri-militer, membentuk apa yang disebut Milovan Djilas sebagai 'kelas baru'. Kegagalan komunisme ini, yang disebut Mao Zedong sebagai "munculnya hegemonisme Rusia", semakin jelas ketika Maoisme dihancurkan di Tiongkok dan digantikan oleh kebijakan "Empat Modernisasi" Deng Xiaoping.

Menurut Milovan Djilas, "kelas baru" merujuk pada kelompok elit yang muncul di negara-negara komunis, terutama di Uni Soviet. Kelas ini terdiri dari pejabat partai, birokrat, dan anggota militer yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Djilas berpendapat bahwa meskipun negara-negara ini mengklaim menjalankan sosialisme atau komunisme untuk membebaskan rakyat dari penindasan kelas, kenyataannya mereka malah menciptakan bentuk baru dari penindasan kelas, dengan kelas baru ini yang mengendalikan kekuasaan dan sumber daya.


Rakyat kecil semakin menderita. Mereka terjebak dalam sistem yang tidak adil, kehilangan ideologi pembebasan, serta menjaga jarak dengan teman seperjuangan. Diperlukan refleksi dan introspeksi mendalam untuk memahami situasi ini. Dari refleksi tersebut, ditemukan bahwa rakyat sebenarnya memiliki potensi untuk membebaskan diri dari kemiskinan. Potensi ini terletak pada kekuatan budaya mereka, termasuk kemampuan mendidik diri untuk mencapai kebebasan dengan cara dan program yang mereka tentukan sendiri.

Permasalahannya adalah kekuatan ini hanya akan menjadi nyata jika rakyat menyadarinya. Maka rakyat harus disadarkan akan kekuatan ini, agar kekuatan ini tidak hanya digunakan untuk tujuan kecil, tetapi (juga) untuk membebaskan mereka (sepenuhnya) dari ketidakadilan struktural. Penyadaran itu, dalam pembangunan alternatif sering disebut "konsientasi", adalah kunci untuk membantu rakyat dalam upaya membebaskan diri. Paulo Freire menjelaskan dalam buku ini bahwa rakyat harus belajar mengenali kemampuan mereka untuk membangun demokrasi sejati. Pengenalan itu dilakukan dengan membiasakan mereka pada praktik kebebasan melalui pendidikan. Program pendidikan sebagai praktik kebebasan melibatkan banyak hal, yakni: merumuskan masalah dengan tepat, membuat materi pendidikan yang sesuai, dan menciptakan jaringan global untuk menerapkannya. Lantas bagaimana kita memandang konsep ini dalam konteks bangsa kita saat ini, tanya Gus Dur.

Kritik utama terhadap konsep ini adalah bahwa pendekatannya terlalu politis. Konsep ini cenderung mengadu rakyat dengan pemerintah dan menempatkan 'alternatif' dalam posisi yang 'konfrontatif' (berlawanan) dengan kekuasaan. Jika dipaksakan, gagasan ini bisa menjadi tidak relevan karena tidak cocok dengan realitas di negeri kita. Di negara kita, sulit menerima konsep 'pertentangan kelas' karena itu mengandaikan hubungan yang konfrontatif antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai. Ini karena keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya kita yang tinggi, sehingga sulit untuk menerapkan hubungan hierarkis yang tegas.

Indonesia memiliki keberagaman etnis (hubungan horizontal), sehingga konsep pertentangan kelas (hubungan vertikal 'atas-bawah') tidak relevan.


Pendekatan kultural lebih tepat digunakan di negeri ini. Pendekatan ini bertujuan menghilangkan sekat-sekat horizontal, berbeda dari pendekatan politis yang berfokus pada analisis kelas dan anti-kekuasaan. Jika digunakan dengan benar, pendekatan kultural bisa sama efektifnya dalam membebaskan manusia dari kemiskinan. Pendekatan ini mendorong kesadaran diri secara kultural, menumbuhkan moral yang menolak perbedaan yang tidak mendasar, penundukan pada yang salah, dan keputusasaan. Pada akhirnya, kekuatan moral ini, jika dimiliki banyak orang, dapat mengubah masyarakat secara menyeluruh.

Tetapi, pendekatan kultural rentan dikritik karena sulit ditempatkan dalam kerangka teoretis seperti dalam literatur sistem alternatif. Berbeda dengan pendekatan politik yang memiliki rumusan pasti, pendekatan kultural berkembang dinamis dan tak pernah mencapai rumusan final. Pendekatan kultural tidak berfokus pada sistem kekuasaan, melainkan pada kemampuan individu untuk mengenali diri sendiri dan memilih cara pembebasan sesuai dengan pemahaman tersebut. Dengan kata lain, pendekatan politik menawarkan program sistemik, sedangkan pendekatan kultural menekankan program yang terus berkembang dan tidak bisa dibakukan hanya dalam satu sistem saja.

Pendekatan kultural sering kali dianggap tidak rasional oleh pendekatan politik. Namun, orang-orang dalam sistem kekuasaan dapat menyadari perlunya perbaikan mendasar dalam struktur masyarakat. Perubahan ini biasanya dilakukan secara bertahap, bukan secara drastis atau radikal, melainkan dengan meningkatkan cara kerja dan efisiensi. Orang-orang yang memiliki pandangan yang sama, yang berada di luar sistem kekuasaan, bekerja sama untuk mencapai perbaikan bertahap tersebut. Oleh karena itu, perbedaan antara 'di dalam' dan 'di luar' sistem tidak harus selalu dianggap jelas atau tegas secara politis. Karena perbedaan antara kedua kelompok itu sangat tipis, maka mereka tidak perlu memiliki program kerja yang saling bertentangan secara langsung.

Program kerja yang dimaksud adalah rencana atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu, baik oleh kelompok di dalam maupun di luar sistem kekuasaan. Ini mencakup langkah-langkah atau kebijakan yang diambil untuk perbaikan.


Pada intinya, harus dipahami bahwa program pemerintah dan program swasta/masyarakat memiliki fungsi yang saling melengkapi. Masing-masing mengakui perannya (counterparting functions) dalam bekerja sama untuk keberhasilan pembangunan. Kardinal Jaime Sin dari Filipina menyebut ini sebagai 'kerja sama kritis' (critical collaboration) dengan pemerintahan Marcos. Dalam kerja sama ini, kedua pihak saling mengakui pentingnya keberadaan satu sama lain, sambil tetap memiliki hak untuk mencari jalan masing-masing sebagai bentuk kolaborasi.

Ini adalah sudut pandang yang sebaiknya digunakan untuk menilai tesis-tesis dalam buku Freire. Perbedaan utama antara pendekatan kultural dan politik adalah bahwa pendekatan kultural jarang membahas 'penyusunan kekuatan' (machtvorming). Apakah pendekatan ini dapat membebaskan manusia sepenuhnya dari kemiskinan? Itu tergantung pada sejarah dan penilaian individu saat ini.


Catatan:

"Otoriter" berarti memerintah secara keras dan seringkali tanpa memperhatikan pendapat orang lain. Sikap ini cenderung mengabaikan kebebasan individu dan menuntut kepatuhan mutlak.

Keteladanan adalah perilaku atau sikap yang bisa dijadikan contoh baik bagi orang lain.

Meluluskan guru-guru yang kurang memenuhi standar berarti membiarkan atau menyetujui guru-guru tersebut untuk tetap mengajar meskipun mereka belum mencapai kriteria atau kualitas yang diharapkan. Ini bisa berdampak negatif pada kualitas pendidikan yang diberikan kepada siswa.

"Opresif" berarti bersifat menindas atau menekan, sering kali digunakan untuk menggambarkan tindakan atau kebijakan yang mengekang kebebasan dan hak individu. Biasanya terkait dengan penggunaan kekuasaan secara berlebihan atau tidak adil. Dalam konteks sosial atau politik, opresif bisa berarti peraturan atau tindakan yang merampas hak-hak dasar atau kebebasan orang-orang.

Pauperisasi merujuk pada proses atau keadaan di mana sekelompok orang atau masyarakat menjadi semakin miskin atau terpuruk dalam kemiskinan. Ini seringkali terjadi akibat faktor-faktor seperti pengangguran, inflasi, ketidakstabilan ekonomi, atau kebijakan pemerintah yang tidak efektif. Pauperisasi dapat mengakibatkan peningkatan ketidaksetaraan sosial dan mengurangi kualitas hidup masyarakat yang terkena dampak.

"Aparatchik" merujuk pada anggota fungsionaris partai dalam sistem komunis, khususnya dalam konteks Uni Soviet. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pejabat partai yang seringkali terlibat dalam birokrasi dan pengambilan keputusan, seringkali tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.

Maoisme adalah bentuk Marxisme yang dikembangkan oleh Mao Zedong, pemimpin Revolusi Tiongkok dan pendiri Republik Rakyat Tiongkok. Ideologi ini mengadaptasi prinsip-prinsip Marxisme-Leninisme dengan fokus pada peran revolusi petani, perjuangan kelas, dan pemberdayaan rakyat pedesaan dalam mencapai sosialisme. Maoisme juga menekankan pentingnya revolusi terus-menerus dan kekuatan partai komunis sebagai pemimpin mutlak. Setelah Mao Zedong, Maoisme mengalami penurunan pengaruh, terutama setelah Deng Xiaoping memperkenalkan reformasi ekonomi dan kebijakan "Empat Modernisasi".

*

"Empat Modernisasi" Deng Xiaoping adalah serangkaian kebijakan reformasi yang diluncurkan pada akhir 1970-an untuk memperbarui dan mengembangkan sektor-sektor kunci di Tiongkok. Empat bidang yang dimodernisasi adalah:

  1. Pertanian: Meningkatkan efisiensi dan produktivitas pertanian melalui sistem tanggung jawab rumah tangga dan pengenalan mekanisasi.
  2. Industri: Meningkatkan teknologi, manajemen, dan efisiensi industri dengan memperkenalkan elemen-elemen pasar dan investasi asing.
  3. Pertahanan: Memperkuat kekuatan militer dengan teknologi dan strategi modern, serta meningkatkan efisiensi pertahanan.
  4. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Meningkatkan penelitian dan pengembangan untuk mendukung inovasi dan kemajuan teknologi.

Kebijakan ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Tiongkok dan meningkatkan standar hidup rakyat.

*

"Diametral" berarti berlawanan atau bertentangan secara langsung. Biasanya digunakan untuk menggambarkan perbedaan yang sangat jelas atau ekstrem antara dua hal.


Daftar Isi:

Komentar