Muhammad Nasib ar Rifa'i - Tafsir Surah ke-18: Al Kahfi "Part 1"

Tidak ada komentar

Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Barra yang berkata: Ada seseorang yang membaca surah al Kahfi, dan di rumahnya ada binatang ternak. Ketika dia membaca surat tersebut, binatang itu tiba-tiba lari¹, dan dia melihat ada kabut atau awan yang muncul di sekitarnya. Dia pun melaporkan kejadian itu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Nabi ﷺ menjelaskan bahwa kabut atau awan tersebut adalah "ketenangan" yang turun dari Allah, sebagai bentuk keberkahan bagi orang yang membaca Al-Qur'an.

Hadis ini disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadis Syu'bah. Orang yang membaca surah al-Kahfi ini adalah Asid bin Hudair, seperti yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah.

¹ Binatang itu lari karena merasakan sesuatu yang tidak biasa, yaitu munculnya kabut atau awan yang meliputi tempat tersebut. Dalam hadis, kabut atau awan tersebut dijelaskan sebagai ketenangan (sakinah) yang Allah turunkan sebagai keberkahan ketika Al-Qur'an, khususnya surah Al-Kahfi, dibacakan. Binatang, yang memiliki insting tajam, merasakan keberadaan sakinah itu sebagai sesuatu yang berbeda, sehingga mereka bereaksi dengan lari. Jadi, maksudnya, ketika seseorang membaca Al-Qur'an (dalam hal ini surah Al-Kahfi), Allah mengirimkan ketenangan dan keberkahan yang bisa dirasakan di sekitarnya, bahkan oleh makhluk lain seperti binatang.


1. Al Quran tidak bengkok, ada peringatan yang pedih, juga ada kabar gembira berupa Surga yang kekal untuk orang-orang yang beriman. Al Quran membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya (Ayat 1-3)

"Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya," (1) "sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik." (2) "Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya." (3)

Allah memuji diri-Nya setiap kali memulai atau mengakhiri sesuatu, karena segala pujian memang milik Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Allah memuji diri-Nya ketika menurunkan Al-Qur'an kepada rasul-Nya, yang mulia pula, Muhammad ﷺ, karena Al-Qur'an adalah nikmat terbesar yang diberikan kepada manusia. Al-Qur'an adalah petunjuk yang membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya. Selain itu, Al-Qur'an adalah kitab yang lurus, tanpa kebengkokan atau penyimpangan di dalam isinya.

Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kafir tentang hukuman yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat. Di sisi lain, Al-Qur'an juga memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman, yakni surga, sebagai balasan keimanan mereka dari Allah. Pahala mereka akan abadi dan mereka akan tinggal di dalam surga selamanya, tanpa ada akhir.²

² Muhammad Nasib ar-Rifa'i, "Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir 3", Jakarta: Gema Insani, 2012, hlm. 80.


2. Allah tidak memiliki anak. Malaikat bukan anak-anak perempuan Allah

"Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, 'Allah mengambil seorang anak' (bahwa Allah memiliki anak)." (4) "Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan, kecuali dusta." (5)

Ayat ini ditujukan kepada siapa saja yang menyatakan hal tersebut, dari golongan mana pun, meskipun awalnya diturunkan karena kaum musyrik Arab yang mengatakan bahwa mereka menyembah malaikat yang dianggap sebagai anak perempuan Allah: "Kami menyembah para malaikat yang merupakan anak-anak perempuan Allah." Mereka sama sekali tidak tahu tentang kebohongan ini, begitu pula nenek moyang mereka. Betapa buruknya ucapan yang keluar dari mulut mereka, karena perkataan itu hanya berdasarkan dugaan, tanpa bukti, kecuali kebohongan mereka sendiri. Karena itu, Allah berfirman, "Mereka tidak mengatakan kecuali dusta." (Bahwa perkataan mereka itu tidak lebih dari dusta).³

³ Muhammad Nasib ar-Rifa'i, "Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir 3..., hlm. 80.

Muhammad bin Ishak menjelaskan alasan turunnya ayat ini. Ia menceritakan secara singkat bahwa Ibnu Abbas berkata,

"Kaum Quraisy mengutus an-Nadhar bin al-Harits dan Uqbah bin Abi Mu'ith untuk menemui pendeta Yahudi di Madinah. Mereka diminta bertanya kepada pendeta tentang Muhammad dan ciri-cirinya, karena kaum Yahudi adalah Ahli Kitab yang memiliki pengetahuan tentang para nabi, yang tidak dimiliki oleh kaum Quraisy. Kedua utusan itu pun pergi hingga sampai di Madinah. Mereka bertanya kepada pendeta Yahudi tentang Rasulullah saw. dan menjelaskan keadaan serta beberapa ucapan beliau."

"Pendeta berkata, 'Tanyakan kepadanya tiga hal. Jika dia bisa menjawabnya, maka dia adalah nabi yang diutus. Jika tidak, dia hanya mengada-ada. Tanyakan tentang sekelompok pemuda yang hidup di masa lalu, apa yang terjadi pada mereka karena ceritanya sangat menarik. Tanyakan juga tentang seorang penjelajah yang bepergian ke timur dan barat, bagaimana kisahnya. Terakhir, tanyakan tentang ruh, apa sebenarnya ruh itu. Jika dia bisa menjawab semuanya, maka dia adalah nabi, jadi ikutilah dia.'"

"An-Nadhar dan Uqbah kembali ke Quraisy dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh pendeta Yahudi. Kemudian, kaum Quraisy menemui Nabi saw. dan menanyakan hal-hal tersebut. Nabi saw. berkata, 'Aku akan memberi jawaban besok pagi,' namun beliau tidak mengucapkan 'insya Allah.' Setelah itu, mereka pergi. Nabi menunggu selama 15 hari, tetapi Jibril tidak datang membawa wahyu. Akibatnya, penduduk Mekah heboh dan berkata, 'Muhammad berjanji untuk menjawab keesokan hari, tapi sekarang sudah hari ke-15 dan dia belum memberi jawaban.' Rasulullah saw. pun merasa sedih karena wahyu tertunda dan terganggu oleh gunjingan orang-orang Mekah."

"Akhirnya, Jibril a.s. datang membawa surah al-Kahfi dari Allah. Surah ini berisi teguran kepada Nabi karena kesedihannya terhadap kaum Quraisy, serta jawaban atas pertanyaan tentang para pemuda, penjelajah, dan tentang ruh."

⁴ Muhammad Nasib ar-Rifa'i, "Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir 3..., hlm. 81.

Komentar