Sirine Berbunyi, Peringatan agar Jangan Menyusahkan Diri

Tidak ada komentar

Sirine Berbunyi, Peringatan agar Jangan Menyusahkan Diri

Suara sirine bergema dari balik tebu-tebu yang menjulang tinggi di belakangku, di tempat biasanya aku duduk jika berada di warung mas Mar. Entah siapa yang sedang sekarat, entah apa yang sedang terjadi di jam 2 pagi ini, tak membuatku penasaran sama sekali.

Mejaku berada di ujung. Jauh dari dapur warung, juga jauh dari keramaian pengunjung lain mas Mar. Meski jauh, meja ini masih memperoleh penerangan, walau remang.

Kopi yang ada di depanku dan teh bergelas kaca besar dengan tutup plastik merah jambunya, masih terisi penuh. Bacaan kali ini menarik, membuatku tak sempat menaruh perhatian sedetik pun pada dua minuman itu. Tentang ajaran Hindu yang menyatakan "bahwa bahkan pecahan dari keseluruhan tetap merupakan keseluruhan," atau "Apakah keseluruhan itu; inilah keseluruhan itu; apa yang berasal dari keseluruhan juga merupakan keseluruhan. Ketika keseluruhan diambil dari keseluruhan, keseluruhan akan tetap tinggal sebagai keseluruhan."

Kucoba menginterpretasikan kalimat itu: bahwa meskipun sesuatu dipecah atau dibagi, setiap bagiannya tetap mengandung sifat-sifat atau esensi dari keseluruhan tersebut. Misalnya sebuah lingkaran dipecah menjadi beberapa bagian. Meski bagian-bagian itu sudah tak berbentuk lingkaran lagi, tapi mereka masih memiliki sifat atau ciri-ciri lingkaran, meski tidak utuh.

Ini seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, "Kau bukanlah setetes air dalam lautan. Kau adalah lautan dalam sebuah tetesan." Dua premis itu memiliki makna yang berbeda. Premis pertama menyatakan bahwa kamu hanyalah seorang hamba yang hidup diantara hamba-hamba lainnya. Sedangkan premis terakhir menyatakan bahwa kamu adalah bagian dari Keagungan Tuhan. Kamu ada, eksis, dan diciptakan berkat Agungnya Tuhan. Sehingga sifat Keagungan itu sebenarnya juga ada pada kamu, manusia.

Kamu bukanlah entitas kecil yang, hidup di dunia luas ini, hanya sebagai pelengkap dunia. Kamu hidup bukan hanya sekadar menjadi manusia, yang hanya menjalani dunia. Kamu adalah Agungnya Tuhan dalam wujud manusia. Ada kesifatan-kesifatan mulia-Nya pada dirimu, agar kamu hidup tak hanya menjalani dunia-Nya. Tapi juga mentadaburi mengapa kamu harus menjalani dunia.

Salah satu sifat mulia Tuhan adalah ar Rahman dan ar Rahim. Rahman untuk seluruh makhluk Tuhan, dan Rahim untuk hamba-Nya yang berhasil mentadaburi dunia dengan iman dan moralnya. Dua sifat itu menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi bagi mereka, manusia, yang benar-benar bertuhan.

Sama seperti meja yang kupilih ini. Meski jauh dari dapur mas Mar, meja ini masih tetap bagian dari warung mas Mar. Meski jauh dari pusat penerangan, meja ini masih memperoleh cahaya, walau hanya remang. Dalam konteks toleransi: seburuk-buruknya kita melihat manusia, seberbedanya kita dengan pandangan mereka, dan merasa lebih baik dari mereka, manusia yang kita cap buruk itu tetaplah bagian dari Agungnya Tuhan. Bahkan mereka, di hari akhir nanti, bisa jadi lebih baik darimu—yang merasa lebih baik dari mereka.

Kalimat 'entitas besar dalam wujud entitas kecil' itu, meski muncul sebentar dalam kisah Ramayana—karena dikatakan Rama dan saudara-saudaranya adalah entitas kecil Wisnu—membuatku tersadar akan adanya sifat Mulia Tuhan dalam diri manusia, termasuk dalam diriku. Kalimat itu membantuku menjawab dan meredam perasaan kesalku yang awalnya tak tau harus kuapakan.

Kebencian yang terimajinasikan dalam pikiranku akhir-akhir ini, telah lenyap, tergantikan oleh perspektif baru dalam menangani suatu masalah. "Character development", hiburku pada diriku sendiri ketika menjalani hidup yang tak sesuai rencana. Celaan-celaan yang kulekatkan pada setiap individu, kini berubah menjadi kesabaran dan pujian untukku sendiri dalam menyikapi tingkah laku manusia. Ini adalah jembatanku menuju sifat mulia Tuhan, ar Rahman.

Kebencian tak menyelesaikan masalah, celaan juga bukan sebuah solusi. Dalam dunia yang kompleks ini tak bisa menjawab suatu persoalan hanya dengan akal saja. Perlu adanya hati untuk mencairkan luapan emosi yang hampir menguasai pribadi ini.

Untuk meyikapi manusia-manusia bedebah ini, aku harus bersabar. Mengapa? Selain manusia-manusia ini tak bisa kujangkau dan kuubah, mencela mereka juga menghabiskan waktu dan tenaga. Membuat hidupku menjadi tak nikmat lagi. Padahal hidup ini adalah anugerah dan layak kunikmati.

Seperti kopi dan teh yang ada dihadapanku, meski sudah dingin, mereka masih terasa nikmat. Karena kenikmatan itu bukan berasal dari teh atau kopi yang kuminum. Tapi karena buku yang kubaca mengagumkan, membuatku menutup mata bahwa teh dan kopi itu sudah dingin.

Sama dengan manusia. Meski bedebah, manusia-manusia itu membuatku merasakan kenikmatan iman yang dapat menjembataniku dengan ar Rahman, dan mendekatkanku dengan ar Rahim. Manusia yang lahir karena Keagungan Tuhan itu, mengantarkan sifat Agung Tuhan untukku. Semua ini berkat perspektif baruku dalam menemukan nikmat di balik bedebahnya manusia. Meski bedebah, kenikmatan dalam berpikir dan bersikap membuat bedebah itu tak terasa menyebalkan.

Dunia dan negeri ini begitu menarik. Meski tampak berantakan dan kacau, mereka layak untuk dinikmati. Maka jangan menyusahkan diri dengan terlalu peduli untuk merubahnya. Cukup menyikapi dengan bijak kehancuran-kehancuran itu, agar dunia terasa nikmat.

Demikian sabda Reza di warung mas Mar, di meja paling ujung, di bawah remang-remang, di tempat paling sunyi diantara keramaian, diantara kopi dan teh dingin, di jam 2 pagi.


Jum'at, 25 Oktober 2024.



Ide dan inspirasi dari:

Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2023), Cetakan Pertama.

Ibnul Jauzi, "Perangkap Iblis", (Solo: Pustaka Arafah, 2012), Cetakan Keenam (Maret 2022).

C. Rajagopalachari, "Kitab Ramayana", (Yogyakarta: Laksana, 2014), Cetakan Pertama.


Sirine Berbunyi, Peringatan agar Jangan Menyusahkan Diri

Komentar