Jika engkau mengharapkan kebenaran dari Allah 'Azza wa Jalla, maka hendaklah kalian menyibukkan diri dengan berbagai ketaatan disertai dengan kesabaran. (hlm. 15)
Identitas Buku
- Judul Buku: Fathur Robbani "Mensucikan Jiwa Membuat Hati Menjadi Tenang dan Damai"
- Pengarang: Syaikh Abdul Qadir Jailani
- Penerbit: Jabal, Bandung
- Tanggal Terbit: Februari 2021
- ISBN: 979242382-6
- Tebal Halaman: 532
- Lebar:
- Panjang:
FATHUR ROBBANI "MENSUCIKAN JIWA MEMBUAT HATI MENJADI TENANG DAN DAMAI"
oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani
Penerjemah oleh Zenal Mutaqin
Desain Sampul & Tata Letak oleh Jimmy Lesmana
Penyunting oleh Tedi Ruhiat
Cetakan Pertama, Juli 2010
Cetakan Ketujuh, Februari 2021
Silsilah Syaikh Muhyidin Abdul Qadir Jailani (470-561 H)
Nama Syaikh Muhyidin Abdul Qadir Jailani adalah Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa bin Abdullah al-Jaili bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah al Mukhdhi bin al-Hasan al-Matsna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a.
Majelis 1
Tidak Menentang Takdir Allah Swt.
Allah berfirman, "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya." (hlm. 13)
Apabila jiwa telah terlepas dari belenggu hawa nafsu, nasab jiwa tersebut akan sampai kepada Ibrahim as. (hlm. 13)
"Dan hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya dengan tanpa batasan." Q.S. az-Zumar ayat 10. (hlm. 14)
Jika engkau mengharapkan kebenaran dari Allah 'Azza wa Jalla, maka hendaklah kalian menyibukkan diri dengan berbagai ketaatan disertai dengan kesabaran. (hlm. 15)
Para wali itu bersungguh-sungguh untuk mengambil bagian dalam urusan dunianya dengan tangan-tangan ketakwaan, disertai dengan ke-wara'-an (kehati-hatian). (hlm. 15)
Kalimat di atas menyatakan bahwa orang-orang saleh (para wali) juga menjalankan kehidupan duniawi, namun dengan cara yang benar dan sesuai ajaran agama. Mereka menyikapi duniawi dengan ketakwaan (ketaatan dan rasa takut kepada Allah) dan kehati-hatian (wara'). Dengan sikap ini, mereka tetap fokus pada tujuan akhirat meski beraktivitas di dunia.
Para wali menasihati dirinya pribadi, serta memberikan nasihat bagi orang lain. (hlm. 15)
Hati-hatilah dengan dirimu sendiri. Jangan menghakimi orang lain dengan keburukan. (hlm. 15)
Engkau harus menentang keinginan hawa nafsu yang dikendalikan setan. (hlm. 16)
Janganlah membiasakan hal-hal yang buruk. Mukmin yang senantiasa berjihad adalah mereka yang tidak pernah melepaskan topi bajanya, tidak menyarungkan pedanganya, dan tidak pernah menanggalkan pelana kudanya. Mereka tidur dengan tidur yang sedikit, sehingga dapat mengalahkan musuh. (hlm. 16)
"Ulama adalah pewaris para nabi." H.R. Tirmidzi. (hlm. 17)
Tundukkanlah nafsu itu dengan mujahadah (penuh perjuangan). (hlm. 18)
Himpunlah dunia dan akhirat menjadi satu. Dan menyendirilah bersama Tuhanmu dengan ketetapan hatimu tanpa gangguan, baik urusan yang bersifat dunia bahkan urusan akhirat. Teguhlah bersama-Nya saja. (hlm. 19)
Kalimat di atas manyatakan bahwa manusia dianjurkan untuk menjalani kehidupan dunia dan mengejar akhirat secara seimbang, tanpa memisahkan keduanya. Namun, hal yang paling penting adalah bahwa semua ini semata-mata karena Allah. Urusan dunia dan akhirat tak boleh mengganggu keteguhan hati dan hubungan intimnya dengan Tuhan.
Lepaskanlah 'pakaian' maksiat dan tukarkan dengan taubatan nashuha serta diiringi rasa malu terhadap Allah dengan sebenar-benar rasa malu. (hlm. 19)
Wahai manusia, jika datang rasa sakit, maka bersabarlah menunggu datangnya obat. Jika obat penyembuh telah datang, terimalah dengan penuh kesyukuran. Dengan begitu engkau akan berada dalam kehidupan yang ringan. (hlm. 20)
Ketakutan atas api neraka akan meyakinkan hati orang mukmin, akan menjadikan wajahnya menjadi cerah, dan membuat sedih di dalam hatinya. Jika sudah seperti itu, maka Allah akan melimpahkan "air" rahmat dan "embun" kelembutan baginya. (hlm. 20)
Jangan jadikan apa yang kamu makan dan minum, yang kamu pakai, yang kamu nikahi dan berkumpul dengannya sebagai tujuan dan cita-cita. Karena semua itu adalah dorongan hasrat dan hawa nafsu. Jadikanlah Allah dan segala yang ada pada-Nya sebagai tujuan dan cita-citamu. (hlm. 20)
Segala sesuatu yang kamu tinggalkan di dunia, akan engkau dapati pengganti yang lebih baik di dalam kehidupan yang akan datang. (hlm. 20)
Jika semangat dari Allah telah datang, maka dunia dan akhirat akan tertutupi. Sehingga dia akan berdiri di antara keduanya, tidak kepada dunia dan tidak kepada akhirat. (hlm. 21)
Ketika seseorang mencapai tingkat spiritual yang tinggi dan memperoleh "semangat dari Allah", maka perhatian utamanya adalah Allah semata. Dunia dan Akhirat menjadi hal yang tak lagi utama baginya karena hatinya sudah sepenuhnya tertuju kepada Allah.
Rasulullah berkata, "Jadikanlah ujian-Nya sebagai 'pakaianmu'". (hlm. 21)
Seseorang harus menerima ujian dengan ikhlas. Memahaminya sebagai bagian dari kehendak Allah. Menjadikannya sebagai bagian dari hidup yang diterima dengan sabar dan penuh rasa syukur. Alih-alih melihat ujian sebagai beban, seseorang diajak untuk menjadikannya sebagai sarana mendekat kepada Allah, untuk memperkuat iman dan memperbaiki diri. Ujian bukan untuk dihindari, tetapi diterima sebagai sesuatu yang akan membawa kebaikan dan kemuliaan bagi jiwa jika disikapi dengan benar.