Dalam kehidupan modern saat ini, dunia begitu cepat berjalan. Perkembangan teknologi dan komunikasi adalah faktor fundamental yang membuat situasi saat ini menjadi begitu cepat. Salah satu yang menjadi dampaknya adalah perkembangan ekonomi. Masyarakat dihimbau untuk terus adaptif terhadap perkembangan tersebut. Jika tidak, mereka akan tertinggal, dan dampak adanya yang tertinggal adalah munculnya kesenjangan ekonomi. Semakin lebar kesenjangan ekonomi tersebut akan berdampak pada kemajuan negara. Karena indikator negara maju adalah terjaminnya kesejahteraan warga negaranya. Maka dari itu, negara sebagai pemilik otoritas, membuat kebijakan melalui perundangan-undangan untuk mengurangi jarak kesenjangan tersebut. (Perkembangan teknologi mempengaruhi perkembangan ekonomi yang kemudian juga mempengaruhi perkembangan hukum)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Salah satu dampak dari kesenjangan ekonomi adalah munculnya eksploitasi anak, yang mana anak harusnya memiliki waktu untuk bermain dan belajar, justru dialihkan waktu dan tenaganya untuk bekerja atau hal tak patut lainnya. Anak tak diperhatikan hak dan kesejahteraannya. Bentuk eksploitasi ini bermacam-macam. Ada yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi (memulung, mengamen, meminta-minta), maupun dimanfaatkan untuk kepentingan seksual.
Jika hal semacam ini dibiarkan, maka negara akan hancur karena mereka kehilangan generasi emas penerus bangsa. Kriminalitas juga akan meningkat setiap tahunnya. Melihat permasalahan tersebut, negara harus segera bertindak. Salah satu tindakan esensial tersebut adalah membuat kebijakan yang menjamin anak hidup sesuai dengan usianya. Tidak untuk dimanfaatkan untuk bekerja, terutama untuk kepentingan seksual. Dengan masih melihat anak-anak yang mengamen, mengemis, menjadi manusia silver, dan memulung, menandakan bahwa masih ada celah dalam sistem hukum mengenai perlindungan anak yang perlu ditangani dengan serius.
Berdasarkan sistem otonomi daerah di Indonesia dan Pasal 1 ayat 12 UU Perlindungan Anak, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan wilayahnya, termasuk mengenai isu eksploitasi anak. Untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi, Pemerintah Daerah memiliki peran penting, berupa merancang dan mengimplementasikan kebijakannya. Meskipun das sollen (yang seharusnya) telah diupayakan, faktanya hukum yang dijalankan di masyarakat (das sein) tak sesuai dengan konsep ideal yang diupayakan Pemerintah Daerah. Banyak tantangan yang perlu diperhatikan, dimulai dari keterbatasan sumber daya, rendahnya kesadaran masyarakat, dan faktor dari anak sendiri.¹
¹ Assyifa Mahend Zaradiva & Wenny Megawati, "Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Anak Jalanan (Studi Kasus di Dinas Sosial Kota Semarang)", Jurnal Swara Justisia UNES, Volume 7, Nomor 3, Oktober 2023, hlm. 860-861.
*Bunyi Pasal 1 ayat 12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Ada beberapa daerah di Indonesia yang berhasil mengimplementasikan kebijakan penanganan eksploitasi anak, tetapi juga ada beberapa daerah yang masih belum maksimal menangani isu ini. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk mengkaji bagaimana tindakan dan kebijakan yang tepat Pemerintah Daerah dalam menangani isu eksploitasi anak. Serta hambatan-hambatan apa saja yang dilalui. Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang efektivitas kebijakan Pemerintah Daerah dalam menangani isu eksploitasi anak. Juga diharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan yang lebih komprehensif dan efektif di masa mendatang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang berfokus pada kajian terhadap aturan hukum yang berlaku, yang mengenai isu eksploitasi anak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan pustaka (library research) dengan mengkomparasikan beberapa jurnal yang membahas mengenai isu ini, terutama penelitian yang dilakukan oleh Assyifa dan Wenny dalam jurnal mereka, "Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Anak Jalanan (Studi Kasus di Dinas Sosial Kota Semarang)" dan penelitian yang dilakukan oleh Dede, Febri, dan Hellen dalam jurnal mereka, "Peran Pemerintah dalam Melaksanakan Perlindungan Khusus bagi Anak Jalanan yang di Eksploitasi secara Ekonomi" yang di dalam kedua penelitian tersebut membahas implementasi kebijakan Pemerintah Daerah Kota Semarang dan kebijakan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dalam menangani isu eksploitasi anak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
A. Peran Pemerintah Daerah Kota Semarang dalam Upaya Menangani Eksploitasi Anak
Pemerintah Daerah Kota Semarang menunjuk Dinas Sosial Kota Semarang sebagai lembaga yang menangani isu eksploitasi anak di Kota Semarang dengan mengeluarkan Peraturan Walikota Kota Semarang Nomor 68 Tahun 2016 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Sosial Kota Semarang. Dinas Sosial Kota Semarang termasuk Dinas Sosial yang berhasil mengatasi isu eksploitasi anak. Hal ini dapat dilihat dari data tahun 2021, 2022, dan 2023, yang menunjukkan adanya penurunan jumlah angka anak jalanan dan terlantar di Kota Semarang.²
² Ibid., hlm. 857-858.
Keberhasilan itu salah satu faktornya karena Dinas Sosial Kota Semarang berpedoman pada Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2014, yang mana di dalam Pasal 11 Perda tersebut mengatur upaya penanggulangan dan perlindungan terkait eksploitasi anak jalanan di Kota Semarang. Penanggulangan tersebut meliputi: Perlindungan, Pengendalian sewaktu-waktu, Penampungan Sementara, Pendekatan Awal, Pengungkapan dan Pemahaman Masalah, Bimbingan Sosial dan Pemberdayaan, dan Rujukan.
1. Perlindungan
Perlindungan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Semarang adalah dengan mendirikan posko berbasis masyarakat di lokasi strategis yang sering ditemukan anak jalanan. Menurut Dinas Sosial Kota Semarang, anak jalanan paling sering ditemui di jalan-jalan besar seperti daerah Tugu Muda. Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Semarang rutin melakukan razia di beberapa lokasi di Kota Semarang sehingga banyak anak jalanan terjaring dengan berbagai macam permasalahan, termasuk masalah ekonomi. Posko ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi anak-anak jalanan berdasarkan situasi mereka, tanpa melakukan penangkapan.
Posko berbasis masyarakat adalah pos atau tempat layanan yang dibentuk dan dijalankan oleh Dinas Sosial Kota Semarang yang berkerja sama dengan masyarakat setempat dan relawan.
2. Pengendalian sewaktu-waktu
Anak jalanan adalah masalah sosial besar yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat, sehingga perlu penanganan intensif. Karena itu, Dinas Sosial Kota Semarang bekerja sama dengan Satpol PP secara rutin melakukan razia dan patroli di titik yang rawan anak jalanan. Razia ini bertujuan untuk mengendalikan masalah tersebut sambil tetap memperhatikan hak asasi manusia, perlindungan anak, dan tujuan penanganan yang tepat.³
³ Ibid., hlm. 858.
3. Penampungan Sementara
Penampungan sementara adalah langkah lanjutan dari penerapan Peraturan Daerah, yakni setelah anak-anak jalanan terjaring razia, mereka dibawa ke rumah singgah Amingjiwo di Ngaliyan untuk dibina dan ditampung maksimal 10 hari. Selama di penampungan, kebutuan fisik anak-anak tersebut dipenuhi dan dijamin oleh Dinas Sosial kota Semarang. Sesuai dengan Peraturan Daerah, mereka juga akan mendapat bimbingan sosial, mental, spiritual, hukum, dan adaptasi sosial.
4. Pendekatan Awal
Dinas Sosial kota Semarang melakukan pendekatan awal dengan anak jalanan yang terjaring untuk mengenali lingkungan sosial mereka serta menyeleksi berdasarkan identitas, latar belakang pendidikan, status sosial, dan masalah sosial yang mereka hadapi. Hasil identifikasi dan seleksi ini menjadi dasar untuk menentukan langkah penanganan selanjutntnya.
5. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah
Tahap selanjutnya anak jalanan akan melalui proses asesmen untuk memahami masalah yang mereka hadapi, baik faktor diri sendiri maupun keluarga dan lingkungan. Asesmen ini adalah proses pendataan yang mencakup identitas anak, melputi: nama, umur, alamat, nama orang tua, dan alasan kenapa hidup di jalan. Data tersebut disimpan Dinas Sosial sebagai dokumen referensi untuk penanganan. Dokumen itu bersifat rahasia karena berisi informasi pribadi anak jalanan dan hanya bisa diakses oleh tim Dinas Sosial kota Semarang. Setelah memahami masalah yang dihadapi anak jalanan, Dinas Sosial kota Semarang bertanggung jawab untuk menangani masalah tersebut.
6. Bimbingan Sosial dan Pemberdayaan
Setelah sekitar 10 hari di Rumah Singgah Amingjiwo, anak jalanan akan dikembalikan kepada orang tua atau keluarganya dengan disaksikan oleh RT/RW setempat agar mereka ikut menjaga dan memantau agar anak tersebut tidak kembali ke jalan. Setelah rehabilitasi sosial, Dinas Sosial kota Semarang memberikan bimbingan dan pemberdayaan rutin bagi anak jalanan dan keluarganya. Pemberdayaan ini berupa keterampilan dasar, seperti memasak dan menjahit untuk anak perempuan, serta pelatihan bengkel dan tambal ban untuk anak laki-laki.⁴
⁴ Ibid., hlm. 859.
7. Rujukan
Tahap terakhir dalam penerapan Perda adalah rujukan, yakni anak jalanan mendapat fasilitas seperti layanan kesehatan gratis, akses pendidikan forman dan nonformal, pengembalian bersyarat, rehabilitasi sosial di panti atau melalui dukungan masyarakat, layanan rumah sakit untuk kondisi tertentu, pendampingan hukum, dan perlindungan khusus sesuai aturan yang berlaku.⁵
⁵ Ibid., hlm. 860.