Untuk istriku di masa depan. Hari ini telah kuputuskan untuk melakukan jurnaling lagi, setelah kemarin keimananku runtuh; dimana kewajiban Tuhan tak lagi kulakukan; dan aku tak merasa takut kepada-Nya. Aku tau bahwa perbuatan itu tak tepat. Tapi tetap saja aku menjauhkan diri dari-Nya—memberontak tak tau tujuannya apa. Mungkin aku hanya lelah dengan nasib ini. Mungkin aku muak dengan menjalani hidup yang selalu sama seperti ini. Kemungkinan-kemungkinan itu tak kutafsirkan lebih dalam lagi—karena aku sudah lelah dengan terus-menerus memikirkannya.
Kucoba menjalani hidup tanpa memikirkan apapun. Tapi aku malah semakin jauh dari-Nya. Sukmaku yang paling bijak sadar, jika ini tak segera diperbaiki, aku akan menderita dalam penyesalan. Entah karena Neraka Jahannam dari-Nya. Atau penyesalan karena melewatkan kesempatan (duniawi) yang ada.
Aku diam memikirkannya. Menjauhkan segala alat elektronik yang ada di dekatku. Menatap biawak liar yang sedang melawan arus di pinggir sungai, di kedai pak Dodo, di samping CT Arsa, di seberang masjid Asy-Syuhada. Apa yang harus kulakukan untuk mengakhiri ketidakbijaksanaan ini.
Tiba-tiba teringat podkes Raditya Dika dengan Dr. Andreas Kurniawan (penulis buku: "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring") yang kudengar kemarin, di mana mereka berdua membahas mengenai masalah mental yang dialami oleh kebanyakan orang. Pada beberapa obrolan itu, mereka selalu menyarankan pentingnya jurnaling. Karena dengan jurnaling kita dapat dengan mudah menyadari kesedihan (duka) atau kebahagiaan yang sedang kita alami saat itu. Aku rasa itu bukanlah ide yang buruk. Maka, hari ini kucoba melakukan saran mereka berdua, agar aku memahami kenapa jiwaku saat ini sangat buruk sekali. Dan alasan lain kenapa aku mulai jurnaling lagi selain untuk menjaga kewarasan jiwaku adalah juga untuk menjaga kewarasan imanku. Aku merasa aku sedang kesepian saat ini. Dan jurnaling membantuku untuk menjauh dari perbuatan yang melanggar aturan-Nya. Aku berusaha menyadari batasanku dan menjaganya agar tetap pada ketakwaan.
Pertanyaan pertama untuk hari ini: "Mengapa kesepian itu muncul lagi?"
Dalam podkes dengan Kefvin, aku menyatakan bahwa kesepian itu adalah hal normal bagi seorang bujang. Kita hanya perlu berdamai dan menerima keadaan itu. Memang membutuhkan waktu. Tapi itu lebih baik daripada kita merespon kesepian dengan berusaha menghadirkan seseorang untuk hadir di dalam hidup kita. Karena menurutku niat itu kurang etis, menjauhkan diri dari ketakwaan, dan tak menyelesaikan permasalahan kesepian secara fundamental.
Ketika podkes, aku bisa mengucapkan kalimat itu secara spontan. Karena kenyataannya, pada saat itu, aku sudah berdamai dengan kesepianku. Tapi entah bagaimana, beberapa hari setelah podkes itu dipublikasikan, kesepian itu datang lagi.
Aku rasa kesepian inilah yang menyebabkan aku muak dengan Tuhan dan mulai meninggalkan kewajiban-Nya. Dan kesepian ini juga mempengaruhi produktivitasku. Segala hal yang kubuat tak lagi objektif dan sesuai dengan semestinya. Malah menjadi subjektif dan berusaha memikat lawan jenis. Ah, menjijikkan. Ini tak estetik sekali. Aku perlu menyadarkan diriku yang norak ini dengan menamparnya sangat keras dan membentaknya, "Lu ngapain, Bajingan?! Norak! Gak keren sama sekali!"
Semakin kucari muasal kesepian ini, semakin kubingung dan tak tau arah. Kucoba isi dengan baca buku, malah buku yang sedang membaca isi pikiranku. Ia mencoba mencari ruang kosong di kepala(ku) untuk meletakkan informasi penting yang ada pada setiap lembar tubuhnya. Kenyataannya ruang kosong itu tak buku temukan. Alhasil apa yang kubaca tak masuk di kepala. Informasi penting yang ada pada setiap lembar buku hanya lewat saja. Buang-buang waktu. Apalagi kucoba produktif dengan mengerjakan tugas. Kepala malah jadi pusing. Sialan. Bagaimana cara mengatasi masalah ini?
Sukoharjo - Jumat, 16 Mei 2025