Eksperimen ini bisa dikatakan benar sembilan puluh persen. Terus terang, aku pernah mengalaminya sendiri. Dan itu pun diperkuat dengan sosial eksperimen yang dilakukan oleh sebuah channel Youtube yang bernama 'History Channel - Brain'. Dalam salah satu video channel tersebut Anda akan dipertontonkan sekumpulan orang yang sedang mengantri di sebuah klinik mata. Awalnya sekumpulan orang itu adalah orang-orang yang sengaja mengantri untuk eksperimen ini. Lalu datang pasien asli ikut mengantri. Ketika ada bel berbunyi, orang-orang yang sengaja mengantri tadi berdiri semua. Pasien asli yang baru saja datang tadi terheran dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang ini. Tentu saja, karena semua orang yang mengantri di sini tiba-tiba berdiri ketika bel berbunyi kecuali dirinya seorang.
Bel kedua berbunyi. Lagi-lagi semua orang berdiri kecuali pasien asli seorang. Pasien asli semakin bingung. Anehnya ia tidak bertanya tentang alasan "kenapa sih pada berdiri ketika bel berbunyi?". Mungkin karena takut atau malu menanyakannya. Kemudian ketika bel ketiga berbunyi, tanpa mengetahui alasan yang pasti, pasien asli itu ikut berdiri mengikuti tingkah laku sekumpulan orang tadi. Inilah yang dimaksud dengan keputusan yang diambil bukan karena pilihan diri sendiri. Melainkan sebuah keputusan yang dibuat karena tekanan sosial. Jika kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas orang, kita merasa nyaman. dan tanpa disadari kita ikut terbawa arus.
Bukan hanya itu saja. Setelah sekumpulan orang yang dengan sengaja mengantri tadi pergi satu-persatu hingga tinggal pasien asli seorang diri di sana, pasien asli itu tetap melanjutkan kebiasaan tak jelas tadi walaupun tak ada orang lain yang melihatnya. Seolah-olah kebiasaan itu harus dilakukan. Dan seolah-olah kebiasaan itu adalah benar.
Kemudian datang pasien asli kedua. Sama dengan sikap pasien asli pertama, ia bingung kenapa orang ini berdiri setiap ada bel berbunyi. Ia pun bertanya dengan pasien asli pertama, dan jawabannya adalah hanya karena semua orang tadi melakukan hal itu. Pasien asli kedua pun mau tak mau mengikuti kebiasaan yang tidak jelas tujuannya ini. Dan itu menular ke pasien asli ketiga, keempat, kelima, dan pasien-pasien baru lainnya. Tanpa pasien asli pertama sadari ia telah menjadi bagian dari penyebar kebiasaan tidak jelas itu.
Menurut seorang pakar, Jonah Berger, dari Universitas Pennsylvania menyatakan bahwa kebiasaan yang dilakukan itu adalah sebuah bagian dari bersosialisasi. Akan tetapi kebiasaan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang lain tanpa alasan yang pasti juga bisa membangun sebuah kebiasaan buruk.
*
Sejujurnya untuk melawan tekanan sosial itu cukup sulit. Aku pribadi pernah mengalaminya. Waktu itu aku dan kawan-kawan berada di Dieng. Kami sedang mendaki gunung Prau. Setelah turun kami beristirahat di basecamp Patak Banteng. Hari itu adalah hari Jum'at. Kami menuju ke masjid terdekat untuk melaksanakan sholat Jum'at.
Di dalam masjid yang kukunjungi terdapat sekat ditengahnya. Sekat tersebut berguna untuk membatasi shaf bagian depan dengan shaf bagian belakang. Kawan-kawanku memilih duduk di belakang sekat tersebut. Namun aku tidak. Aku bersama dua orang pendaki lain masuk lebih dalam. Alasannya karena jika kita mendapat shaf yang terdepan, kita akan mendapatkan keberkahan lebih banyak ketimbang shaf yang berada di belakang.
Ketika muadzin sudah menyelesaikan adzannya, tiba-tiba semua orang berdiri lalu berhamburan ke depan untuk mengisi shaf yang masih kosong. Waktu itu aku dan dua pendaki lain masih duduk. Tiba-tiba semua orang di sana melakukan takbiratul ihram. Mulailah aku dan dua pendaki tadi kebingungan. Apa jangan-jangan di sini sholat Jum'at dulu baru ceramah, ya. Aku bingung harus bagaimana. Mau bertanya tapi sulit. Karena semua orang dalam keadaan sholat kecuali aku dan dua pendaki tadi. Bertanya ke dua pendaki tadi juga rasanya bukan keputusan yang tepat. Karena mereka sama bingungnya. Aku masih memutuskan untuk duduk saja. Akan tetapi dua pendaki tadi justru ikut berdiri dan juga ikut melaksanakan sholat. Aku semakin bingung harus berbuat apa. Karena merasa terasingkan, aku ikut melaksanakan sholat. Niatku melakukan sholat rawatib. Walaupun sebenarnya terpaksa gara-gara merasa terasingkan. Mau bagaimana lagi. Yang aku rasakan waktu itu adalah ketidaknyamanan kalau hanya aku yang duduk sendirian. Sedangkan semua orang disekitarku sedang melaksanakan sholat, bahkan anak kecil pun ikut berdiri melaksanakan sholat.
Dua rekaat sudah kulaksanakan. Pendaki tadi juga sama, mereka juga melaksanakan sholat dua rekaat. Beruntungnya, apa yang mayoritas tadi lakukan adalah sholat sunnah, bukan sholat Jum'at.
Seperti itulah rasanya memutuskan sebuah keputusan tanpa dilandasi alasan yang benar-benar jelas. Memutuskan sebuah keputusan yang hanya dikarenakan ikut-ikutan, takut terasingkan, dan tanpa alasan yang jelas hanya membuat hidup kita menjadi tak berprinsip. Untuk melawan itu memang sulit. Otak kita serasa digerakkan. Seperti sudah terprogram untuk melakukan perbuatan yang sama dengan mayoritas.
Memang benar, terkadang keputusan yang kita ambil bukan atas pilihan dari diri sendiri. Tekanan sosial turut serta mempengaruhinya.
*gambar karya: Jon Lim (Instagram: @whereartjon)