Malam ini sepi. Hanya terdengar suara kendaraan berlalu-lalang. Entah itu suara mobil, motor, kereta, maupun pesawat. Kodok juga tak mau kalah. Ramai, tapi sepi. Ramai di luar, sepi di dalam, kira-kira begitulah yang kurasakan. Ingin beranjak keluar untuk menghilangkan penat, tetapi raga ini menolaknya. Smartphone berdering, sebuah panggilan masuk dari ibu. Tetapi aku tak mengangkatnya, karena sudah lelah akibat perjalanan panjang menuju kemari. Lelah membuatku tertidur. Malam itu ibu mengirim pesan, menanyakan apakah aku sudah sampai atau belum. Pesan itu kubaca keesokannya dan membuatku menjadi rindu kepada ibu. Atau mungkin rasa bersalah, karena aku pergi dalam keadaan marah.
Ibu adalah manusia super. Ia hanya ibu rumah tangga, bukan seorang wanita karir. Apapun pekerjaan rumah selalu dikerjakan. Ketika rumah berantakan, siapa pun akan dimarahinya. Itulah keributan yang saat ini aku rindukan. Atau lebih tepatnya bukan keributan. Tetapi suaranya. Tidak begitu merdu, tidak begitu sumbang. Hanya keras, seperti tak ada tetangga disamping kanan-kiri.
Kalau bercerita tentang ibu, aku mengingat satu momen yang aku suka. Momen ini adalah momen yang berarti dari seluruh hidupku. Karena pada momen ini, aku hanya tinggal bersama ibu. Reza kecil, yang berusia tujuh tahun, tinggal berdua saja dengan seorang ibu yang sangat kuat. Abang sedang merantau di Tangerang saat itu, dan Ayah pulang ke tanah kelahirannya untuk waktu yang lama.
Pada saat itu aku sudah ikut berlatih bulutangkis di tempat abangku dulu. Ibu tidak bisa naik motor, apalagi saat itu kami hanya memiliki vespa, ibu semakin tidak bisa menggunakannya. Kemana-mana kami hanya naik bus. Mulai dari aku berangkat sekolah, pulang sekolah, berangkat latian, dan juga pulang latian, semua-muanya menggunakan bus. Bus sudah menjadi angkutan favorit kami.
Sepulang sekolah aku merasa lelah, ibu menyuruhku untuk tidur dulu agar ketika latian aku masih memiliki tenaga. Aku menurutinnya. Tidurku cukup pulas. Ibu membangunkanku dengan lembut. Aku mendengarkan kata-katanya, tetapi mataku masih terpejam. Rasanya masih ingin memeluk guling, dan membolos latian untuk sekali saja. Tapi apa yang ibu ucapkan selanjutnya membuatku terpaksa harus bangun. Kata-kata yang paling aku takuti, "Ayah nanti marah lho." Reza kecil paling takut dengan kemarahan ayahnya seorang.
Aku bergegas mandi, ibu menyiapkan segalanya untuk dibawa. Di dalam bus kami sering bercanda. Bahkan sesekali kernet bus ikut bercanda dengan kami. Mungkin kernet bus terbawa suasana akan bahagianya kami. Betapa rindunya aku dengan momen itu, dimana aku bisa ceplas-ceplos membicarakan semuanya kepada ibu. Misalnya membicarakan orang sekitar seperti tetangga, guru maupun teman sekolah. Banyak hal yang bisa kami bicarakan di dalam bus. Rasanya ingin kembali menjadi anak-anak.
Ketika latian, aku banyak tingkahnya, banyak bercandanya, banyak main-mainnya, dan banyak ngomongnya. Ibu selalu mengingatkanku untuk serius, dan menebar ancaman, "Ayah nanti marah lho." Haha. Akan tetapi tetap saja aku bertingkah semauku, menggoda para pelatihku, bermain dengan teman-temanku. Dan ibu tak ada hentinya menebarkan ancaman.
Pada malamnya, kami pulang menggunakan bus. Di dalamnya sepi. Jika musim hujan, bus menjadi semakin sepi. Aku yang kelelahan, bisa tertidur di tengah perjalanan karena begitu sepinya situasi di dalam bus. Suasana tenang melelapkanku.
Momen ini membuatku mengerti kerja keras ibu itu seperti apa. Mulai dari pagi hingga malamnya. Bayangkan disaat dulu belum ada mesin cuci, ibu mencuci secara manual di pagi hari, kemudian membangunkanku, menyiapkan sarapan, mengantarkan aku ke sekolah dengan bus, dan meninggalkanku di sekolah.
Ibu pulang kembali ke rumah, menjemur cuciannya yang ia cuci di pagi hari tadi. Ketika sudah waktunya pulang, ibu menjemputku. Terkadang setelah sepulang sekolah kami mampir dulu ke pasar, membeli kelapa di tempat biasa, aku jajan di tempat biasa. Es buah, sate, ketan dan getuk, kuhabiskan sekaligus. Sampai di rumah aku beristirahat, sedangkan ibu menyiapkan makan untukku latian. Lalu mengantarku latian dan menemaniku sambil membaca majalah kesukaannya saat itu, yakni majalah ar-Risalah dan Hidayah.
Pada malamnya, kadang ibu membantuku belajar. Kadang kami melihat sinetron bersama hingga aku tertidur pulas, lalu ibu mencuci piring, dan kembali lagi ke rutinitas seperti tadi ketika pagi menjelang. Siklus itu kami alami berdua saja. Dan jujur, Reza kecil adalah Reza yang sangat cerewet. Momen itu aku merasakan kasih sayang seorang ibu yang seutuhnya hanya untuk diriku. Tidak dibagi dengan abangku maupun ayahku. Hanya terfokus pada diriku.
Sampai sekarang aku tidak tau bagaimana mengucapkan kalimat "aku sayang ibu". Aku payah dalam berucap. Aku merasa malu dan tidak tau harus bersikap bagaimana. Reza sekarang berbeda dengan Reza kecil yang bisa ceplas-ceplos seenaknya.
Maka dari itu, aku ucapkan kata "aku sayang ibu", "aku rindu ibu", lewat tulisanku ini. Mungkin kurang bermakna, atau bahkan tidak bermakna sama sekali. Tapi lewat tulisan ini aku ingin semua orang mengetahui bahwa sebenarnya Reza itu sangat sayang kepada ibunya.
Hidup ini sungguh menawan dengan ditakdirkannya dirimu menjadi ibuku.
Untuk ibuku,
Hidup ini pasti akan berakhir, mungkin kita akan terpisah suatu saat. Aku berharap dirimu sehat-sehat saja sampai engkau melihatku sukses, memiliki istri, dan memberikanmu cucu terlucu. Aku ingin cucuku mengenalmu dan engkau menggendongnya. Aku ingin melihat kalian dalam satu foto. Dan aku ingin kita berfoto bersama, aku, dirimu, dan generasi ketigamu. Semoga Tuhan panjangkan umurmu hingga saat itu tiba.
Aku tidak tahu siapa yang akan pergi terlebih dahulu. Apakah aku atau dirimu, aku tidak tahu. Tetapi aku ingin kita di Surga yang sama suatu saat nanti. Aku ingin menjadi Reza kecil, yang selalu menceritakan banyak hal kepadamu. Mungkin tentang sekolah atau kuliah, tentang perempuan, tentang teman, dan tentang betapa aku menyayangi dirimu yang selama ini tidak pernah aku ucapkan lewat mulutku karena malu.
Tersiarkan kisah lelakiTangguh bagai k'satriaNamun saat ia tertatihTakluk oleh duniaSiapa yang jadi sandarannya?Tajam rasa racun duniaIa punya penawarnyaKelembutannya kekuatannyaBisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita?Yang di setiap sujudnya terbisik namamuIa cerminan sisi terbaikmuLindungi hatinyaSekalipun di dalam amarah"Raisa Andriana - Teduhnya Wanita"
Akan datang masa dimana kitaHanya mampu berkeluh dan menyesalBerharap doa dapat memutar waktuPercayalah waktu masih tersisaPercayalah hanya kita yang bisaBeri nyawa segala harapan"Raisa Andriana - Nyawa dan Harapan"
18 Desember 2017
*gambar karya: Hessah (Instagram: @hessah._.art)