Sánchez & Arsenal

Tidak ada komentar

“Sánchez & Arsenal”

Alexis Sánchez, 2008 berada di Serie A membela Udinese selama tiga musim. Menciptakan 20 gol dalam 95 penampilannya. Hijrah ke Barcelona pada 2011. Tiga tahun berselang ia datang ke Emirates Stadium membawa harapan The Gooners agar menjuarai titel yang sangat dirindukan, yakni Premier League.

Squad The Gunners pada saat itu sangat memungkinkan untuk menjuarai Premier League. Ada Mesut Ozil, Hector Ballerin, Theo Walcott, Jack Wilshere, Santi Cazorla, Aaron Ramsey, David Ospina, Alex Oxlade-Chamberlain, Olivier Giroud, Laurent Koscielny, Danny Welbeck, Francis Coquelin, Mikel Arteta, Mathieu Flamini, Lukas Podolski, Tomas Rosicky, Abou Diaby, dan lain sebagainya.

Di awal musimnya, Alexis menggeser kedudukan Giroud untuk menjadi top skor klub, membawa Arsenal naik satu peringkat dari musim sebelumnya, mempertahankan FA Cup dan menjuarai FA Community Shield. Sebuah pencapaian yang mengagumkan untuk musim pertamanya.

Musim berikutnya hampir menjuarai Liga. Arsenal berada di peringkat kedua, selisih sepuluh poin dari Leicester City, sang underdog, sang juara Premier League. Musim itu Arsenal hanya menjuarai FA Community Shield. Pada Round of 16 UEFA Champions League, Alexis bertemu dengan mantan klubnya, Barcelona, dan kalah dengan agregat telak, 5-1. Musim kedua yang menegangkan tapi tidak seberlian musim pertamanya. Alexis kalah bersaing dengan Olivier Giroud untuk menjadi top skor klub. Ia berada di urutan kedua.

Musim ketiganya bersama The Gunners, Alexis mulai kecewa dan frustasi. Rekor sering bermain di Liga Champions Arsenal selama 16 musim berturut-turut harus kandas karena di akhir musim mereka terjebak di peringkat lima. Ditambah mereka dipermalukan pada saat Arsenal melakoni laga 16 Besar Liga Champions. Bayern Munchen tanpa ampun, sekaligus menikmatinya, menertawakan Arsenal dengan agregat 10-2 nya. Arsenal dilecehkan.

Selain itu rekor Arsenal yang selalu berada di atas Tottenham Hotspurs harus pupus. Mereka selalu berada di atas Spurs selama 20 tahun lebih. Sangat disesalkan, kenapa harus di jaman saya Arsenal gagal merayakan St. Totteringham Day. Di sisi lain, Alexis kembali merebut top skor klub dari Giroud.

Bulan ini, di Januari 2018, Alexis pergi, mengganti baju merah dengan warna merah lainnya. Dengan gagah memainkan piano. Mengenakan kostum tujuh di punggungnya. Menghembuskan nafas lega dan kemudian tersenyum. Seperti seseorang yang sedang merayakan kemenangannya karena berhasil melawan narkotika. Dia tidak ingin menjadi pecandu lagi. Tidak ingin masuk bui. Dan tidak ingin merasakan rehabilitasi untuk kesekian kali.

Ketika lagu Glory-Glory Manchester United dinyanyikan, Alexis melangkah ke luar lorong, menuju ke tengah lapangan. Ia menikmatinya, merasakan suasana Old Trafford, dan optimis melangkah ke depan. Bagi saya ini sakit, tapi saya tau apa yang Alexis rasakan. Ini adalah mimpinya. Sesuatu yang Ia inginkan sejak kecil.

Salah satu hal yang saya ingat dari Alexis adalah saat speech pertamanya di Arsenal ialah membicarakan tentang klub ini. Ia bahagia datang kesini. Arsenal adalah klub yang baik, memiliki manajer yang hebat, para pemain yang berkelas, stadion yang mengagumkan, dan suporter yang luar biasa banyak di dunia. Ia berjanji akan melakukan yang terbaik untuk Arsenal, dan benar Ia melakukannya. Sayangnya dalam speech tersebut, Ia tak berkata, "Arsenal adalah mimpi saya." Ia tak pernah mengatakan itu. Jadi saya memaklumi kepindahannya, walaupun terdapat rasa kekecewaan.

Tapi bukan berarti saya menyalahkan Arsene Wenger atas kepindahannya. Klub ini mengagumkan, dan Arsene Wenger adalah pelatih yang tepat. Ada beberapa laga yang sangat saya nikmati. Salah satunya ketika menghadapi AS Monaco pada leg kedua 16 Besar Liga Champions. Arsenal menang, tetapi secara agregat mereka kalah. Saya benar-benar menikmati pertandingan ini. Mereka menyerang habis-habisan, banyak peluang, tapi sayang bukan sebuah gol.

Bahkan saya terbayang-bayang permainan mereka ketika solat subuh (pasca menonton pertandingan melawan AS Monaco). Kenapa sundulan Giroud off target, bahkan tendangannya pelan sekali. Free kick Ozil yang tertepis. Dan peluang lainnya tapi tidak menjadi gol. Kenapa bisa seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan disertai peluang-peluang match itu membuyarkan kekhusyukkan saya.

Melawan Leicester City juga merupakan laga yang sangat menegangkan. Terutama pada musim 2015-2016, disaat Arsenal dan Leicester menjadi kandidat perebutan juara Liga. Arsenal tertinggal melalui pinalti. Nacho Monreal menjatuhkan Jamie Vardy di kotak pinalti. Tanpa ampun, Vardy menendang keras bola dua belas pas ke sisi kiri Cech. Cech tertipu, ia justru mengarah ke kanan gawang, 0-1 untuk Leicester City.

Pada menit ke-70, umpan Ballerin menuju Giroud tidak disia-siakan. Giroud melihat Walcott kosong di sebelah kiri gawang Leicester. Bola disundul, diumpan ke arah Walcott. Memanfaatkan ruang kosong, Walcott berhasil menyamakan kedudukan, 1-1 kedudukan sementara. Taktik Wenger benar-benar tepat memasukkan Walcott di menit 61, menggantikan Francis Coquelin.

Di penghujung laga, di menit-menit yang sudah melebihi tambahan waktu, Ozil berdiri dengan nafas terengah-engah, bersiap menendang bola. Ia menatap rekannya kemudian menatap bola, kembali lagi menatap rekannya. Seperti sedang berkomunikasi, meminta bola dan rekannya menyatu dalam rasa, sehingga mereka (bola dan rekan Ozil) dapat saling berbicara.

Peluit dibunyikan. Ozil mengambil nafas panjang. Ia melangkah perlahan, menendang dengan tenang. Bola mengudara dengan mulus. Bola dan Welbeck menyatu dalam rasa. Mereka saling berbicara. Welbeck meyakinkan diri, meloncat dengan tinggi. Kepalanya berancang-ancang, berharap sundulannya masuk ke gawang lawan. Dannnnnnnnnnn, GOAL!!! Welbeck!!! Selalu dengan khasnya mencetak gol penentu. Sudah jelas Arsenal memenangkan match. Peluang juara masih ada di depan mata (pada saat itu).

Saya semakin bahagia menjadi bagian dari Arsenal, walaupun hanya fans layar kaca. Dengan pemain seadanya, tidak begitu banyak pemain bintang, mereka bermain dengan anggun dan menawan. Membuat suporter lawan girang karena merasa menang duluan, lalu di bungkam di penghujung permainan. Bola masuk di dalam gawang. Welbeck dan kebiasaannya menciptakan gol penentu dan di saat penghujung laga, mengingatkan saya ketika Arsenal mempermalukan tuan rumah, Manchester United, ketika pertandingan Round Six FA Cup 2015.

Trik dan strategi Wenger benar-benar mengagumkan. Taktik yang entah disengaja atau hanya keberuntungan semata. Mengeluarkan Coquelin dan memasukkan Walcott. Terbukti berhasil dengan Walcott menjadi pencetak gol. Mengeluarkan Chamberlain dan memasukkan Welbeck di menit ke-83. Terbukti ampuh dengan Welbeck mencetak gol di akhir laga.

Laga yang tak kalah seru adalah laga pembuka Liga Inggris 2016-2017, Liverpool bertandang ke Emirates Stadium. Arsenal memiliki peluang pertama dengan dijatuhkannya Walcott di dalam kotak terlarang. Sangat disayangkan tendangannya tertebak dan tertepis oleh Mignolet. Akan tetapi, beberapa menit berselang, Walcott membayar kesalahannya. Skor 1-0 untuk tuan rumah.

Menit sudah menunjukkan bahwa babak pertama akan segera berakhir. Tetapi sebelum itu, Liverpool mendapat kesempatan menendang free kick karena dijatuhkannya Coutinho oleh Holding. Jaraknya cukup jauh. Kemungkinan gol dengan sekali tendang sangat kecil. Tapi apa yang saya pikirkan tidak sependapat dengan apa yang dipikirkan Coutinho. Dengan kemampuan sihirnya, ia mampu mencetak gol dari tendangan bebas yang jaraknya cukup jauh dari gawang Arsenal. Skor 1-1 untuk babak pertama.

Awal babak kedua Arsenal tidak fokus pada pertandingan. Lallana berhasil mencuri gol. Coutinho kembali mencetak gol. Bahkan Mane, dengan gaya individunya mempermalukan Chambers dan Monreal, membuat Cech tak berkutik. Buruk sekali permainan Arsenal.

Harapan Gooners muncul ketika Chamberlain, pemain yang menggantikan Iwobi, mencetak skor setelah beberapa detik dari gol Mane. Giliran Chambers memperkecil kedudukan dengan sundulannya. Fans tuan rumah sedang harap-harap cemas. Pertandingan masih cukup lama untuk menambah satu maupun dua gol lagi. Akan tetapi, harus diakui Liverpool memang bermain lebih baik. Kesalahan Arsenal adalah pada ketidakfokusan mereka pada awal babak kedua.

Bukan berarti Wenger salah. Justru saya memuji Wenger akan keterampilannya dalam membaca pertandingan. Arsenal mampu memperkecil ketinggalan saja, bagiku sudah menakjuban. Saya rasa itu adalah bakat Wenger. Tidak hanya satu atau dua pertandingan ia dapat melakukan hal seperti ini. Tapi di banyak pertandingan. Walaupun dalam partai pembuka Liga Arsenal harus kalah, saya tetap terkesima.

Kemampuan Wenger selalu terbukti dengan pemain cadangan yang ia masukkan selalu menjadi pengubah keadaan. Misalnya seperti Walcott yang mengubah pertandingan saat menjamu Leicester City. Atau Welbeck sebagai penentu kemenangan Arsenal saat bertandang ke mantan klubnya, Manchester United. Atau Chamberlain yang meningkatkan pola serangan Arsenal ketika melawan Liverpool. Kejelian itu membuat Wenger patut dipertahankan. Ia mampu memanfaatkan pemain seadanya menjadi pemain berkelas.

Fokus saya justru kepada pemilik saham Arsenal, Stan Kroenke. Ia seperti tidak berniat menjadikan Arsenal juara, mendapatkan trophy, dan mengukir sebuah sejarah baru dalam persepakbolaan dunia. Mungkin baginya money is the real trophy, dan sebuah sejarah tidak menguntungkannya. Baginya, juara adalah mereka yang berada diurutan pertama dalam hal laba terbanyak. Maka bukan hal yang tidak mungkin Arsenal gagal mendapatkan pemain yang pemainnya sendiri ingin datang ke Arsenal (terutama kasus Luis Suarez). Padahal dalam beberapa tahun terakhir Arsenal masuk dalam 10 besar klub terkaya sedunia.

Permasalahan dari gagalnya transfer Luis Suarez ke Arsenal adalah karena nilai harga Suarez yang tidak sesuai dengan kualitasnya. Di dalam buku Steven Gerrard, My Story, dengan jelas mengatakan bahwa Suarez sudah putus asa dengan klub (Liverpool). Ia sangat ingin ke Arsenal. Sayangnya Arsenal tidak dapat memanfaatkan momen pertengkaran Suarez dengan pemilik klub (Liverpool) dan Brendan Rodgers yang masih melatih Liverpool saat itu.

Arsenal justru menawar harga yang sangat luar biasa rendah, yaitu sekitar 40 juta lebih satu poundsterling untuk membeli Suarez. Klausul pelepasan Suarez hanya 40 juta poundsterling keatas, sedangkan 1 juta poundsterling adalah syarat dari klausul pelepasan. Memang memenuhi syarat pelepasan, tetapi transfer ini bak ejekan bagi Liverpool. Jika saya menjadi Liverpool jelas saya menolaknya. Hanya 1 juta poundsterling saja yang saya dapatkan sebagai bonus setelah menggaji dan mengembangkan Suarez. Apakah ini adil untuk pemain sekelas Suarez?

Maka bukan hal yang menyakitkan bagi saya ketika Arsenal selalu diistilahkan klub terpelit. Sehingga banyak klub-klub yang enggan menjual pemainnya kepada Arsenal. Bagi saya, ini adalah dasar kenapa saya tidak menyalahkan Alexis berhijrah menuju Manchester United. Ini juga bukan salah Wenger gagal mendapatkan Suarez. Para pemilik saham inilah yang patut dipersalahkan, terutama Kroenke. Jika ia tetap berpikir money is the real trophy, maka jangan harap Arsenal akan menjuarai Liga Champions.

Bahkan menjadi salah satu kandidat perebut juara Liga rasanya tidak patut. Ini klub bola, bukan sekolah sepak bola. Memang bagus dapat mengembangkan bakat para pemain, tapi juara harus menjadi tujuan utama. Apalagi menjadi raja Eropa. Saya sependapat dengan Coach Justin, Arsenal harus terdegradasi dulu agar mereka sadar diri, agar sang pemilik klub tidak merasa aman. Kalau seperti ini mereka tidak akan berkembang.

Saya salah satu pecinta Arsenal yang menyayangkan kepergian Alexis. Memang benar dirinya egois, dan kekanakan. Tapi lihatlah Cristiano Ronaldo, mampu membawa Manchester United dan Real Madrid menjuarai Liga Champions karena keegoisannya bercampur dengan ambisi. Bahkan Manchester United pernah kalah melawan Sporting Lisbon karena Ronaldo. Ditambah ia membawa Portugal menjadi juara Eropa padahal cedera. Tapi ambisinya tetap ia salurkan dari pinggir lapangan.

Pemain egois dan berambisi itu perlu. Dan dari sekian pemain Arsenal musim kemarin, Alexis lah yang memiliki ambisi terbesar. Setiap film selalu ada pemeran utamanya, dan Alexis adalah orang yang tepat menjabatnya. Bisa dilihat dari perannya yang beberapa kali menjadi top skor klub. Sayangnya Mourinho paham akan hal ini, dan ia memilikinya sekarang. Ini bukan salah Alexis. Tapi saya akan selalu berada di sisi Arsenal bagaimanapun keadaannya. Tidak bijaksana menganggap Alexis seorang pengkhianat (snake) setalah partisipasinya kepada Arsenal. Come On You Gunners! Victoria Concordia Crescit! Ya Gunners Ya!


Kota Yogyakarta, Yogyakarta

Januari 2018

Komentar