Segera kurobohkan tubuh di atas kasur. Berharap lelah segera berakhir. Banyaknya orang yang kutemui membuat social batteryku habis. Satu-satunya yang dapat membuat bateraiku penuh lagi adalah kamar ini. Dia adalah obatku. Sedari tadi kusudah merindukannya. Ruangan hampa yang gelap dan beraroma buku. Tak ada ruangan lain yang senyaman kamar ini.
Kurogoh sakuku, memungut smartphone yang mengganjal di paha. Kunyalakan tepat di atas kepala. Cahayanya menyilaukan mata. Kulihat jam menunjukkan pukul satu pagi. Segera kutaruh smartphoneku di atas meja, di samping ranjang, di dekat kepala. Tak butuh lima menit bagi gelap untuk membuatku terlelap.
*
Pagiku tak pernah terlewat. Bagi penghuni rumah, suara ibu sudah seperti alarm yang takkan terjeda hingga kami benar-benar membuka mata. Akhir-akhir ini alarm itu berbunyi lebih awal—berbeda dengan dua bulan lalu. Volumenya pun lebih kencang—berbeda dengan dua bulan lalu. Aku harus segera bangun walau kepalaku masih terasa pusing. Karena akan lebih pusing jika tak kupaksakan bangun. Ibu akan menghabisiku.
Kutuju kamar mandi dengan sempoyongan. Sesekali bibir menguap hebat. Tangan kiriku berusaha membungkamnya. Sedangkan tangan kanan sibuk menggenggam handuk. Bibir menguap lagi. Kali ini tak bisa kubungkam. Karena tangan kiriku sibuk memainkan air di dalam bak sebagai bentuk beradaptasi dengan suhu air pagi ini. Hal ini berguna untuk kulitku. Agar mereka tak terkejut oleh dinginnya air.
Dua bulan lalu masakan ibu selalu siap setiap kami selesai mandi. Kini masakan ibu sering terlambat. Dan kebiasaan sarapan kami mulai pudar. Aku tak mempermasalahkannya. Karena mungkin ibu masih belum terbiasa dengan keadaan sekarang. Malah, sikap ibu yang lain lah yang lebih membuatku kesal. Sikap yang terlalu mengandalkanku. Padahal ia memiliki tiga orang anak. Si sulung beralasan sibuk kerja—aku pun kerja. Si bungsu beralasan sibuk sekolah—aku pun masih sekolah. Tapi tetap aku yang selalu menjadi sasarannya setiap ada masalah.
Ibu seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Mengadu dan uring-uringan tanpa henti hingga permennya sedia lagi. Dan hanya kepadaku ekspresi itu dilampiaskan.
*
Rumah tak pernah bersih. Setiap hari selalu berantakan. Piring-piring kotor tergeletak di mana-mana. Si sulung tak pernah peduli. Dia jarang berada di rumah. Si bungsu malasnya minta ampun. Kepribadian itu dapat dilihat dari dalam kamarnya. Pakaian kotor, gelas-gelas bekas, bahkan sampah sisa jajanan tersebar di kolong ranjang. Jorok memang, tapi aku muak menasehatinya. Sudah tak mampu lagi aku marah padanya. Pernah sekali emosi. Tapi bukan kata-kata kasar yang keluar. Malah, kulempar kunci motor ke arahnya. Kutendang kakinya. Dia pincang selama sebulan. Ibu dan ayah menyalahkan, aku hanya diam tak membenarkan perbuatanku. Sejak kejadian itu kuberi jarak pada si bungsu. Hingga sekarang jarak itu masih ada.
Kuletakkan piring-piring kotor di atas wastafel. Tak kucuci karena bukan tugasku. Hari ini adalah hari Minggu. Hari libur yang selalu kunanti-nantikan. Kumatikan smartphone, kunyalakan lampu belajar. Telah kurencanakan kegiatan liburku dengan membaca buku di dalam kamar. Belum ada lima menit, terdengar suara ketukan dari balik pintu. Pintu dibuka selebar-lebarnya. Ibu berdiri di tengah pintu. "Antar ibu ke pasar." katanya. Kutanya keberadaan si bungsu. "Di dalam kamar. Nggak jawab." aku mengehela nafas. Kuiyakan pinta ibu, meski tidak ikhlas. Aku tak ingin berkompromi dengan si bungsu. Buang-buang waktu. Prinsipku pun juga jelas, tak terlalu berharap pada apa yang namanya 'manusia'. Sekalipun kita berasal dari rahim yang sama.
Aku berdiri dengan kakiku sendiri. Pun juga dengan ibuku. Sudah dua bulan suaminya pergi untuk selama-lamanya. Pondasinya runtuh. Tak sanggup ia berdiri sendiri. Jika anak-anaknya yang lain tak mau memapahnya, aku sendiri yang akan memapahnya. Walaupun lama-lama lelah, lama-lama tak ikhlas. Tapi akan terus kupaksa dan kupaksa untuk tetap memapahnya. Sekalipun ibu tak sanggup lagi berdiri, akan kugendong dia di pundakku. Lelah memang. Tapi dari rahimnya lah aku dilahirkan. Kudengarkan rewelnya, kudengarkan gundahnya, kudengarkan segala hal yang keluar dari mulutnya. Hanya kudengarkan, dan sering tak kuamalkan. Dia seperti anak kecil yang merengek, meminta mainan yang disuka. Kuberikan apa yang dia mau. Meski kesal. Meski tak ikhlas. Tetap saja dia ibuku. Berhak dia mendapatkan pelayanan terbaik dariku. Akulah abdinya.
Kuantar ibu ke pasar. Kutunggui dia di kursi dekat tempat parkir, di samping pedagang es cendol, di depan toko mainan koh Ah Tjong. Kulihat anak kecil merengek, meminta mainan kepada ibunya. Rewel sekali. Hingga menjadi pusat perhatian banyak orang. Si ibu kekeuh menolak. Diketahui mainan si anak sudah banyak. Tampak seperti aku kecil, sering merengek meminta segala hal. Dan ibu sering mengiyakan. Kini giliran ibu yang merengek, dan aku usahakan mengiyakan.
Dari jauh kulihat kawanku, Nakir, bersama ibunya. Dia memarkirkan kendaraan sebagaimana instruksi abang parkir. Ibunya masuk ke dalam pasar, sedangkan Nakir menghampiriku. Dia pesan segelas es cendol lalu duduk di samping kiriku. Kubuka obrolan seputar hasil bola semalam. Jagoan Nakir takluk semua. Sebaliknya, tim favoritku tak ada yang kalah. Kuolok-olok tim kesayangannya hingga dia tak mampu membantah lagi. Dia alihkan pembicaraan dengan menanyakan alasanku yang akhir-akhir ini jarang main lagi. Sebelum kujawab, kujelaskan dulu duduk perkaranya.
Beberapa bulan silam, aku, Nakir dan kawan-kawan sering keluar malam untuk sekadar futsal atau menonton salah satu tim sepak bola kesayangan kami. Kami terbiasa pulang pagi, karena kami suka membicarakan banyak hal. Entah itu sepak bola, kehidupan pribadi, maupun persoalan negara. Tapi setelah ayahku meninggal kukurangi kebiasaan itu. Bahkan akhir-akhir ini tak kulakukan sama sekali. Penyebabnya adalah ibuku.
Pernah kutemui ibu tidur di atas sofa, di depan tv yang menyala ketika aku pulang pagi. Kubangunkan pelan-pelan. Ibu bangun. Kutanyai mengapa tidur di sini. "Nunggu kamu ga pulang-pulang. Ibu ga bisa tidur di kamar kalau kamu belum pulang." Entah bagaimana, malam yang tadinya kulewati dengan bahagia, runtuh karena melihat ibu kesulitan tidur. Terlebih aku lah muasalnya. Kupapah ibu ke kamar. Kuberjanji padanya takkan lagi pulang pagi.
Nakir memahami alasanku. Dia adalah seniorku, karena lebih dulu menjadi yatim beberapa tahun lalu. Dia balas bercerita tentang sikap ibunya yang juga berubah setelah dua bulan kepergian ayahnya. Ibu Nakir menjadi lebih emosional, suka merengek, dan menyebalkan.
"Kayak anak kecil, dikasih tau yang bener malah ngotot."
"Loh, sama. Ibuku juga gitu, Kir." sahutku sepakat. "Setelah kepergian ayah, ibu jadi jarang masak. Seolah gak ada lagi sosok yang ingin dibuatnya terkesan." Nakir mengangguk kegirangan. Dia pikir hanya ibunya saja yang begitu.
*
Setelah kulakukan penelitian secara deskriptif-analitik dengan teknik field research berupa wawancara, kusimpulkan bahwa tak hanya ibuku yang berubah menjadi menyebalkan. Setiap istri yang ditinggal mati suaminya pun akan demikian. Mereka mengalami guncangan pada psikisnya. Belahan hatinya telah pergi, tersisa setengah, dan yang setengah itu tak mampu menahan luapan emosi. Jadilah mereka seperti anak kecil yang suka merengek.
*
Dari kejauhan ibu memanggilku. Buru-buru kumeninggalkan Nakir, karena anak laki-laki tak boleh membuat ibunya menunggu.
Seperti tangan kiriku yang sibuk memainkan air di dalam bak. Aku perlu beradaptasi dengan perubahan sikap ibu. Meski menyebalkan meski melelahkan, ibu adalah ibuku. Dan aku adalah abdinya. Kuraih tas belanja ibu. Kuberikan minuman kesukaannya yang kubeli tadi. Ibu tersenyum kecil dan aku tersenyum lebar.
Lukisan berasal dari: Classic Art Archive (Instagram: classicartarchive)