Menyelam

Tidak ada komentar

Menyelam

Tanpa rasa takut, tanpa kacamata renang, kupaksakan tubuhku terjun dari dermaga. Begitu dalam kumenyelam hingga ke dasar lautan. Kulihat banyak ikan bergerombol kesana-kemari di atas terumbu karang yang tertata rapi. Terumbu karang itu masih cantik tanpa cacat sedikitpun. Rumput-rumput laut yang berada di sekitar terumbu karang meliuk-liuk sesuai arus. Seperti seorang petugas lalu lintas yang sedang menertibkan mobilisasi ikan. Beginikah pemandangan yang pernah Ayah ceritakan kepada kami. Wujud asli laut di tempat kelahirannya sendiri, Pulau Makian, Maluku Utara. Aku sanggup melihatnya, namun dalam bentuk mimpi.

Aku terbangun karena mendengar suara tangisan dari luar kamar. Kubuka pintu dan segera menghampiri sumber tangisan itu. Kutemui Bunda sedang memasak opor, memasukkan beberapa sayuran ke dalam wajan. Tubuhnya tergagap-gagap.

Kedatanganku mengejutkan Bunda. Tangisannya semakin menjadi-jadi. Kurangkul Bunda dari belakang. Kuusap-usap pundaknya, berusaha menguatkan Bunda. Tangisannya sedikit mereda. Tak pernah Bunda menangis di depankukecuali satu hal. Tapi prasangka itu masih dugaan semata, hingga kuberanikan diri bertanya kepada Bunda.

"Bunda kenapa nangis?" tanyaku. Bunda tak menjawab. Masih menangis. "Kangen Ayah?" tanyaku lagi. Tangisan Bunda kembali menjadi-jadi. Aku jadi mengerti perkaranya. Sesuai dugaan. "Nggakpapa, Bun, nangis aja." Bunda tergagap-gagap. Kuusap-usap kedua lengannya, berusaha menguatkan Bunda lagi.

Aku kembali ke kamar setelah tangisan Bunda mereda. Menjatuhkan diri di atas ranjang dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Kuraih bantal, kutaruh di bawah kepala. Kubenarkan posisi tidurku. Mataku memandang jauh langit-langit rumah. Penasaran, apalah arti mimpiku semalam. Apakah Ayah datang ke rumah ini, tanyaku seorang diri. Tidak, tidak. Tak bisa kusimpulkan dengan begitu sederhana. Mula-mula kuanggap ini sebuah kebetulan saja. Aku memimpikan tanah kelahiran Ayah, dan keesokannya Bunda merindukan Ayah. Ya, terlalu sederhana jika kusimpulkan bahwa arwah Ayah kemari dan merasuki pikiran kami. Belum kutemukan jawaban secara spiritual untuk hal-hal semacam ini. Barangkali karena ilmuku yang sedikit.

*

Setelah sarapan, kududuk di ruang tamu sembari membaca buku. Kurasai dingin menjamah kulitku, merasuki pori-pori. Kutengok kanan-kiri, mencari sumber masalah. Kulihat kipas angin tak menyala. Pintu depan juga tak terbuka. Kurasai lagi dingin itu. Siapa pagi-pagi gini lupa mematikan AC, tanyaku dalam hati. Masih kucari sumber dingin itu. Rupanya berasal dari kamar Bunda. Kumatikan segera dan kembali duduk di ruang tamu. Belum kubuka bukuku, sebuah asumsi menerobos ke dalam kepala. Bagaimana jika dingin yang kurasai tadi sama seperti mimpi yang kudapat semalam.

Nah.

Pasti membingungkan. Akan kujelaskan begini:

Aku merasa kedinginan karena AC kamar Bunda menyala. Dingin berasal dari AC, atau AC menghasilkan dingin. Maka pelakunya adalah AC. Kusebut pelaku itu X. Sedangkan Y adalah suatu akibat dari X, yakni dingin.

  • X (pelaku) = AC kamar Bunda lupa dimatikan
  • Y (menyebabkan) = Aku ikut terkena dampak dingin

Begitu juga dengan mimpiku tentang tanah kalahiran Ayah. Bukankah ini bisa juga disebabkan dari perasaan rindu Bunda yang teramat besar kepada Ayah. Sehingga molekul-molekul "rindu" itu memenuhi seluruh ruangan rumah. Hingga aku ikut terkena dampak "rindu"nya. (Sama halnya dengan Bunda lupa mematikan AC. Molekul-molekul "dingin" itu memenuhi seluruh ruangan rumah. Hingga aku ikut terkena dampak dinginnya.) Maka:

  • X (pelaku) = Kerinduan Bunda
  • Y (menyebabkan) = Aku tertular rindu, sehingga aku bermimpi tentang tanah kelahiran Ayah

Dingin yang kualami barusan, bukan aku yang menghendakinya. Tapi kealpaan Bunda menghendakiku merasakan dingin. Juga bukan aku yang menghendaki mimpi tentang tanah kelahiran Ayah. Tapi, kerinduan yang Bunda kumpulkan menghendakiku bermimpi itu. Masih tak rasional memang, tapi sedikit lebih dapat dipertanggungjawabkan daripada arwah Ayah yang datang kemari.

*

Kulanjutkan bacaanku, "Anak Semua Bangsa" karya Pramoedya Ananta Toer. Salah satu buku Ayah yang kupinjam akhir-akhir ini. Ketika hendak kuawali, asumsi lain muncul. Atau akulah penyebab Bunda rindu Ayah karena melihatku mulai gemar membaca lagi, sebagaimana Ayah hobi membaca. Terlebih, buku Ayahlah yang akhir-akhir ini kubaca. Apakah demikian kebenarannya, tanyaku dalam hati. Maka:

  • X (pelaku) = Aku baca buku Ayah di hadapan Bunda
  • Y (menyebabkan) = Bunda merindukan Ayah

Lantas molekul kerinduan bunda memenuhi seluruh ruangan rumah, dan menyebabkan aku bermimpi tentang tanah kelahiran Ayah.

  • X¹ (pelaku) = Aku baca buku Ayah di hadapan Bunda
  • Y¹ (menyebabkan) = Bunda merindukan Ayah
  • X² (pelaku) = Kerinduan Bunda
  • Y² (menyebabkan) = Aku tertular rindu, sehingga aku bermimpi tentang tanah kelahiran Ayah

Aih, pikiran ini suka meracau kesana-kemari. Kututup bukuku. Tak sanggup lagi berkonsentrasi. Pikiranku menyelam terlalu dalam. Dia tak mau berhenti berenang. Kali ini tak kutemui ikan dan terumbu karang. Hanya lautan gelap tak berdasar. Kusudahi penyelaman ini. Jika kuteruskan aku bisa tenggelam.


Sukoharjo, 1 November 2023

Komentar