HAKI adalah hak milik intelektual yang merupakan lawan kata dari hak milik kebendaan.¹⁹ Dalam Pasal 499 KUHPerdata yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Ada dua makna benda dalam kalimat tersebut, yakni barang yang berupa benda material dan hak yang berupa benda immaterial. Sejalan dengan Pasal 503 KUHPerdata yang menggolongkan benda ke dalam kelompok bendak berwujud dan benda tidak berwujud.²⁰ Perbedaan kebendaan atas benda berwujud dan tidak berwujud pada Pasal 503 KUHPerdata menjelaskan bahwa benda berwujud atau bertubuh adalah benda yang dapat dilihat dengan mata atau diraba dengan tangan, sedangkan benda yang tidak berwujud adalah benda yang berupa hak-hak atau tagihan-tagihan. Perbedaan benda berwujud dan tidak berwujud adalah penting untuk penyerahan dan cara menggadaikannya. Berdasarkan Pasal 612 dan Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda berwujud yang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata dari tangan ke tangan, sedangkan penyerahan benda berwujud yang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama.²¹ Sementara menurut Pasal 613 KUHPerdata berbunyi: “...untuk penyerahan kebendaan yang tidak berwujud dan piutang atas nama (op naam) dilakukan dengan cara cessie, penyerahan piutang atas tunjuk atau atas bawa (aan toonder) dilakukan dengan penyerahan surat itu dari tangan ke tangan dan penyerahan piutang atas pengganti dilakukan dengan endosemen yang selanjutnya diikuti penyerahan surat itu dari tangan ke tangan.”
¹⁹ Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto D. P., Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2018, hlm. 12.
²⁰ Hari Sasangka, Kompilasi Undang-Undang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 1.
²¹ Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society), (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hlm. 59.
BAB II
TINJAUAN TENTANG HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN JAMINAN FIDUSIA
A. Tinjauan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual
Dilihat dari cara menggadaikannya, benda bergerak yang berwujud dan yang tidak berwujud juga memiliki perbedaan. Berdasarkan Pasal 1152 dan Pasal 1153 KUHPerdata berbunyi: “...apabila yang digadaikan itu adalah kebendaan yang bergerak yang berwujud dan surat piutang atas bawa, benda yang digadaikan itu harus berada di bawah kekuasaan pemegang gadai (bisa yang berpiutang atau seorang pihak ketiga). Jika yang digadaikan itu objek kebendaan bergerak tidak bertubuh berupa piutang atas nama, penggadaian dilakukan dengan cara memberitahukan perihal penggadaiannya kepada debiturnya.”
Dari rumusan di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa penguasaan dalam bentuk hak milik ini adalah penguasaan yang memiliki nilai ekonomis. Suatu kebendaan yang dapat dimiliki, tetapi tidak memiliki nilai ekonomis bukanlah kebendaan yang menjadi objek diatas.²² Sebagaimana dengan Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi: “Segala kebendaan, yang bergerak dan tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Misalnya udara dan air, dapat dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, tetapi karena sifat dan penggunaannya, kebendaan udara dan air tersebut dapat memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna ekonomis, menurut KUHPerdata tidak bersifat rigit.²³ Pemahaman makna ekonomis dalam konteks Pasal 499 jo. Pasal 1131 KUHPerdata harus dilihat dan dinilai secara kasuistis dan dalam hal ini merupakan kewajiban para debitur untuk memelihara kebendaan yang dimiliki olehnya dan tidak untuk melakukan suatu tindakan yang tidak diperlukan, yang dapat mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis dari kebendaan yang merupakan harta kekayaan tersebut. Apabila debitur melakukan tindakan yang tidak diperlukan, yang tidak diwajibkan, yang ternyata mengakibatkan kerugian pada harta kekayaannya, Pasal 1341 KUHPerdata memberikan hak kepada kreditur untuk menuntut pembatalan tindakan atau perbuatan yang tidak diwajibkan tersebut.²⁴ Dapat disimpulkan bahwa benda dalam KUHPerdata, selain benda berwujud, ada juga benda tidak berwujud. Sehingga benda itu tidak hanya materiil yang dapat dilihat, tetapi juga benda yang tidak dapat diraba, dilihat, atau dipegang (immateriil). Kekayaan intelektual merupakan salah satu dari benda tidak berwujud tersebut.²⁵
²² Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society), (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hlm. 60.
²³ Ibid.
²⁴ Ibid., hlm. 61.
²⁵ Ibid.
HAKI yang diciptakan oleh seorang pencipta atau inovator dengan kemampuan intelektualnya membutuhkan suatu pengorbanan yang dapat berupa waktu, tenaga, pikiran dan biaya. Semua pengorbanan yang dilakukan oleh pencipta atau inovator merupakan sebuah investasi dari pencipta atau inovator yang harus diakui, dihormati, dan diberi perlindungan hukum.²⁶
HAKI adalah hak hukum yang bersifat ekslusif yang dimiliki pencipta sebagai hasil aktivitas intelektual dan kreatifitas yang bersifat khas dan baru. Karya-karya tersebut dihasilkan berkat kemampuan intelektual manusia melalui pengorbanan tenaga, waktu, pikiran, perasaan, dan hasil intuisi, ilham, atau hati nurani. HAKI memiliki hak ekslusif (istimewa) dimana pencipta memiliki kebebasan untuk memakai sendiri hasil karyanya atau melisensikan hak tersebut kepada pihak lain tanpa takut terkena Undang-Undang Anti Monopoli.²⁷ Hak istimewa ini juga memiliki fungsi untuk melarang orang lain menikmati hasil jerih payah pencipta atau inovatornya. Pemberian hak istimewa ini diharapkan agar pencipta maupun inovator dapat terus mengembangkan hasil karyanya dan melahirkan ciptaan-ciptaan baru.
Hak moral juga ada pada HAKI yang mana nama pencipta tetap melekat pada hasil karyanya walaupun sudah dialihkan kepada pihak lain. Kemudian hak lain yang melekat pada HAKI juga adalah hak ekonomi yang mana pencipta diperbolehkan mengambil manfaat ekonomi dari karya intelektualnya.²⁸
²⁶ Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society), (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hlm. 57.
²⁷ Muchtar Anshary Hamid Labetubun, “Aspek Hukum Hak Cipta Terhadap Buku Elektronik (E-Book) Sebagai Karya Kekayaan Intelektual”, Jurnal Sasi, Volume 24, Nomor 2, Juli, 2018, hlm. 146.
²⁸ Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto D. P., Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2018, hlm. 13.
HAKI ada dua jenis, Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri (Hak Merek, Hak Paten, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Hak Indikasi Geografis, Hak Desain Industri, Hak Perlindungan Varietas Tanaman, dan Rahasia Dagang). Hak Cipta menggunakan sistem first-to-use, yakni seseorang dianggap memiliki hak cipta apabila sesuatu yang ia ciptakan sudah dipublikasikan, sejak itulah hak cipta melekat. Akan tetapi hak cipta perlu didaftarkan ke Ditjen HKI untuk keperluan pemberian Hak Lisensi. Pendaftaran dilakukan hanya untuk mempermudah pembuktian pemilikan hak cipta oleh pencipta dalam hal apabila terjadi sengketa.²⁹ Sedangkan Hak Kekayaan Industri menggunakan sistem first-to-file yang mana seseorang akan dilindungi haknya apabila telah mendaftakannya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Kecuali untuk Rahasia Dagang yang tidak wajib didaftarkan kecuali jika hak tersebut akan dilisensikan kepada pihak lain. Sebab Rahasia Dagang akan mendapatkan perlindungan hukum secara otomatis, asalkan pemilik hak tersebut terbukti mampu menjaga kerahasiaan inovasinya secara patut dan layak.³⁰
Hak Cipta memiliki fungsi khusus sebagai alat untuk menyebarluaskan, memperkaya, dan memperkenalkan kebudayaan bangsa. Sedangkan Hak Kekayaan Industri memiliki fungsi sebagai upaya untuk memajukan dan meningkatkan kreatifitas dan inovasi untuk masyarakat.³¹ Istilah pencipta digunakan untuk Hak Cipta, sedangkan istilah inovator digunakan untuk Hak Kekayaan Industri. Pembedaan istilah inovator dan pencipta dalam kacamata hukum diperlukan karena keduanya memiliki akibat hukum yang berbeda.³²
²⁹ Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society), (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hlm. 66-67.
³⁰ Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto D. P., Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2018, hlm. 14.
³¹ Denny Kusnamawan, “Perlindungan Hak Cipta Atas Buku”, Jurnal Perspektif, Volume XIX, Nomor 2, Mei, 2014, hlm. 137.
³² Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto D. P., Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, 2018, hlm. 13.