Buku: Yohanes Theo "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa" - Part 1: Pengantar

Tidak ada komentar

Buku: Yohanes Theo - "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa"

Buku "Filosofi untuk Hidup Yang Layak Ala Stoa" adalah hasil pengembangan dari Tesis Magister Yohanes Theo di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, yang diuji dan lulus dengan baik pada tahun 2021. Sebagai pengantar, Setyo Wibowo ingin memberikan gambaran umum tentang Stoikisme dan kebaruan yang dibawa Theo dalam diskusi Stoikisme di Indonesia.

Buku: Yohanes Theo - "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa"

Identitas Buku

  • Judul Buku: Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa "Belajar Menumbuhkan Cinta pada Sesama dari Marcus Tullius Cicero"
  • Pengarang: Yohanes Theo
  • Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
  • Tanggal Terbit: Maret 2022
  • ISBN: 978-623-6063-31-6
  • Tebal Halaman: xx+160
  • Lebar:20 cm
  • Panjang:14 cm


FILOSOFI UNTUK HIDUP YANG LAYAK ALA STOA

oleh Yohanes Theo

Editor oleh Khoiril Maqin

Desain Isi & Sampul oleh Maw

Ilustrasi isi oleh Miftah Farid

Cetakan Pertama, Maret 2022



Pengantar (A. Setyo Wibowo)

Sejarah Stoikisme

Sejarah Stoikisme biasanya dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, Stoikisme Antik, yang dimulai oleh Zeno dari Cittium (322-264 SM) dan beberapa muridnya seperti Cleanthes dan Chrysippos. Kemudian ada Stoikisme Tengah, yang dipengaruhi oleh Panetius dari Rhodes (185-112 SM) dan Posidonius dari Apamea (135-51 SM). Terakhir, ada Stoikisme Imperial atau Neo-Stoikisme, dengan tokoh utama Epiktetos (50-130 M) dan Marcus Aurelius (121-180 M).¹ Namun, pembagian ini memiliki kelemahan karena seolah-olah setiap tahap memiliki ajarannya sendiri, padahal tidak ada ahli yang sepakat bahwa tiap periode memiliki doktrin yang khas. Selain itu, ajaran para filsuf Stoik sulit diidentifikasi secara jelas, sehingga pembagian tiga tahap ini kurang membantu untuk memahami Stoikisme secara keseluruhan.

¹ Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. vii.

David Sedley dalam bukunya "The Cambridge Companion to the Stoics" (2003:7-32) menawarkan cara lain untuk memahami pengelompokan pemikir Stoik. Pertama, Zeno dari Citium mendirikan ajaran baru, dan beberapa murid mengikutinya. Kedua, setelah Zeno meninggal, murid-muridnya, terutama Chrysippos, memperkuat ajarannya. Chrysippos dianggap sebagai orang yang menyusun atau merumuskan ajaran Stoikisme secara sistematis. Namun, ajaran Chrysippos sebenarnya memiliki perbedaan dari ajaran yang diajarkan oleh pendirinya, Zeno. Pada tahap ini, tokoh-tokoh Stoikisme seperti Cleanthes² dari Assos dan Chrysippos³ dari Soloi menjadi pemimpin di Athena.

² Meninggal 232 atau 230 SM.
³ Meninggal 208 atau 206 SM.

Pada tahap ketiga, sekitar pertengahan abad ke-2 Sebelum Masehi, Stoikisme mulai mendekati ajaran Platon dan Aristoteles. Penting diingat bahwa ajaran Platon dan Sokrates adalah latar budaya bagi munculnya Stoikisme. Zeno dari Citium, pendiri Stoikisme, dulu adalah murid Platon di Akademia sebelum mendirikan sekolahnya sendiri. Ketika Stoikisme mendapat kritik tajam dari Carneades, pemimpin Akademia, para pemimpin Stoikisme seperti Antipater dari Tarsus⁴ berargumen bahwa ajaran mereka dan Akademia sama-sama berakar pada Platon. Murid-murid Antipater, seperti Panetius dari Rhodes dan Posidonius dari Apamea, mencoba menyelaraskan ajaran Platon tentang pembagian jiwa dengan keyakinan mereka bahwa jiwa itu tunggal. Mereka mencari cara agar ajaran Platon bisa cocok dengan pandangan mereka yang berbeda. Selain itu, dua tokoh Stoik terakhir juga mulai mengadopsi metode ilmiah dari Aristoteles.⁵

⁴ (210-129 SM).
⁵ Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. viii-ix.

Tahap keempat terjadi ketika Athena dihancurkan oleh jenderal Romawi Sylla pada 86 SM. Perpustakaan dan sekolah-sekolah filsafat di Athena dihancurkan, sehingga harus dipindahkan ke tempat lain seperti Aleksandria, Roma, dan Rhodes. Semua sekolah hancur, gedung-gedungnya hilang, dan dananya juga lenyap. Posidonius mendirikan sekolahnya di Rhodes, tapi tidak bertahan lama. Tahap keempat ini adalah saat munculnya para komentator⁶ yang mengumpulkan naskah-naskah dari pendiri Stoikisme dan mencoba menafsirkannya. Dalam periode ini, ajaran Stoikisme tidak lagi terpusat di satu tempat, seperti Athena, tetapi menyebar ke berbagai lokasi. Sekolah-sekolah Stoikisme tidak hanya ada di satu kota, dan beberapa sekolah Stoikisme yang paling berpengaruh dan bertahan lama berada di Roma.

⁶ Para komentator yang dimaksud adalah orang-orang yang memberikan penjelasan, interpretasi, atau ulasan atas karya-karya atau ajaran-ajaran yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks filsafat atau teks kuno, para komentator biasanya adalah cendekiawan atau pemikir yang mengkaji, menjelaskan, dan menafsirkan teks-teks yang ditulis oleh tokoh-tokoh besar terdahulu. Mereka sering menulis ulasan atau komentar untuk membantu orang lain memahami ajaran-ajaran tersebut dengan lebih baik.

Tahap terakhir, tahap kelima, adalah ketika Sekolah Stoikisme di Roma mencapai puncak kejayaannya, di mana tokoh-tokoh terkenal seperti Seneca dan Epiktetos memberikan interpretasi bebas terhadap ajaran para pendiri Stoikisme, terutama doktrin Chrysippos. Lalu, Kaisar Marcus Aurelius, pemikir besar terakhir Stoikisme, menggabungkan ajaran Epiktetos dan Platon.⁷

⁷ Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. ix.

Awalnya, Stoikisme muncul untuk menentang ajaran Platon dan Aristoteles. Namun, karena menghadapi berbagai kritik, Stoikisme perlahan mulai mengadopsi pemikiran dari kedua tokoh besar tersebut ke dalam ajarannya.


Ajaran Stoikisme

Dalam filsafat Stoikisme, sejak masa Chrysippos, ajaran Stoik mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus membedakan tiga hal: yang baik, yang buruk, dan indifferent⁸ (tidak baik dan tidak buruk). Tujuan⁹ hidup manusia adalah mendekat pada kebaikan. Untuk mencapainya, kita harus menghindari perbuatan buruk dan fokus pada hal-hal yang baik. Selain itu, kita bisa mencapai kebaikan dengan menggunakan hal-hal yang indifferent sebagai alat bantu.

⁸ "Indifferent" adalah sesuatu yang tidak baik dan tidak buruk—yaitu, hal-hal yang tidak mempengaruhi kebahagiaan atau moralitas kita secara langsung. Hal-hal ini dianggap netral dan tidak memiliki nilai moral atau etika, seperti kekayaan atau kesehatan.
⁹ Télos.

Para Stoik setelah Chrysippos berusaha menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip-prinsip yang telah diajukan oleh Chrysippos. Diogenes dari Babilonia menegaskan bahwa: a) kebaikan harus selalu dipilih karena itu adalah tujuan utama hidup manusia, dan b) hal-hal yang indifferent (yang tidak baik dan tidak buruk) perlu dipilih dengan hati-hati dan dipilah untuk menentukan bagaimana mereka mempengaruhi kehidupan kita.¹⁰

¹⁰ Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. x.

Ariston dari Khios (260 SM), murid Zeno, menolak konsep hal-hal indifferent. Menurutnya, orang yang benar-benar bijak selalu tahu mana yang baik untuk dilakukan, sehingga kategori indifferent tidak diperlukan. Namun, Ariston lupa bahwa tidak semua orang mencapai tingkat kebijaksanaan seperti itu. Kategori indifferent tetap berguna untuk membantu orang memilah peristiwa dan tetap fokus pada kebaikan.¹¹

¹¹ Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. xi.

Filsafat Yunani, baik dari Platon, Aristoteles, maupun Stoikisme, menyatakan bahwa tujuan utama manusia adalah kebahagiaan. Semua filsuf setuju bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus hidup dengan baik. Jadi, untuk bahagia, kita perlu memilih yang baik. Masalahnya adalah, jika kita bisa dengan mudah membedakan antara baik dan buruk, bagaimana kita menghadapi hal-hal yang tidak jelas baik atau buruknya (hal-hal indifferent)?

Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu hidup. Artinya hidup adalah syarat dasar untuk bisa merasakan kebahagiaan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, hidup seperti apa yang membawa kebahagiaan? Apakah hidup sehat lebih mendukung kebahagiaan dibandingkan hidup yang sering sakit? Apakah memiliki nama baik lebih mendukung kebahagiaan dibandingkan reputasi buruk? Dari penjelasan di atas, jelas bahwa awalnya, hidup atau mati, sakit atau sehat merupakan hal-hal yang sifatnya "perlu dipilah" saja, dan tidak ada kewajiban untuk selalu memilih atau menghindari salah satu pilihan tertentu.

Kita semua tahu bahwa untuk bahagia, idealnya kita hidup sehat, punya cukup kekayaan, dan memiliki reputasi yang baik. Namun, apakah kesehatan, kekayaan, dan reputasi harus ada agar kita bahagia? Dalam situasi tertentu seseorang mungkin harus menghadapi permusuhan, pengkhianatan, bahkan ancaman kematian—seperti apa yang telah dialami Cicero (106-43 SM). Apakah penderitaan ini harus dihindari demi kebahagiaan? Jika memungkinkan, penderitaan atau hal-hal buruk sebaiknya dihindari, tetapi tidak selalu harus dihindari. Dengan kata lain, menghindari hal-hal buruk bukanlah suatu keharusan. Mengapa? Karena mencapai kebaikan itu sulit. Kadang, dalam upaya mencari kebahagiaan dengan hidup baik dan jujur, kita harus menghadapi hal-hal negatif seperti pengkhianatan, fitnah, dan ancaman kematian.¹² Itulah sebabnya, bagi kaum Stoik, hidup atau mati, sehat atau sakit, adalah hal-hal yang indifferent. Artinya, hal-hal tersebut tidak harus dipilih atau dihindari, tetapi perlu dipilah sesuai situasi. Hal-hal indifferent hanyalah sarana untuk mencapai kebaikan¹³, menjadi orang baik. Jadi, penderitaan dan ancaman kematian bisa dipilih, bukan karena hal itu baik, tetapi karena itu adalah konsekuensi dari upaya kita untuk hidup menuju kebaikan.

¹² Yohanes Theo, "Filosofi untuk Hidup yang Layak ala Stoa", (Yogyakarta: Cantrik Pustaka: 2023), Cetakan Pertama, hlm. xii.
¹³ Tujuan (telos).


Daftar Isi:

Komentar