Imam Al Ghazali - Tentang Menyukai dan Tidak Menyukai Pernikahan Part 1: Anjuran Menikah

Tidak ada komentar

Imam Al Ghazali - Tentang Menyukai dan Tidak Menyukai Pernikahan

Para ulama berbeda pendapat tentang keutamaan pernikahan. Ada ulama yang berpendapat bahwa menikah sangat dianjurkan, bahkan dianggap lebih utama daripada fokus pada ibadah kepada Allah. Ada juga ulama yang setuju tentang keutamaan pernikahan, namun lebih mengutamakan ibadah daripada menikah, terutama jika seseorang merasa tidak perlu menikah untuk menjaga dirinya dari godaan atau perbuatan dosa. Ada pula yang berpendapat bahwa di zaman sekarang, lebih baik untuk tidak menikah karena keadaan yang berbeda dari masa lalu, di mana moralitas dan perilaku wanita dianggap lebih baik¹. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas hadits dan atsar (riwayat) yang mendorong atau memperingatkan tentang pernikahan, serta menjelaskan manfaat dan bahaya pernikahan. Tujuannya adalah untuk membantu individu memahami apakah menikah atau tidak menikah lebih baik bagi mereka, tergantung pada kemampuan mereka untuk menghindari godaan atau tidak.

¹ Maksud kalimat tersebut adalah bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa di zaman sekarang, lebih baik untuk tidak menikah. Alasannya, keadaan zaman sekarang berbeda dengan masa lalu, di mana moralitas dan perilaku wanita dulu dianggap lebih baik dan lebih terpuji dibandingkan sekarang. Ini berarti, menurut pendapat tersebut, perubahan dalam perilaku sosial dan moralitas membuat pernikahan di zaman sekarang dianggap kurang utama atau kurang bermanfaat dibandingkan dulu.


Anjuran untuk Menikah

Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:

    وَانْكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُم - النور ٣٢
    (Wa ankihul-ayaa maa minkum).
    Artinya: "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (janda) di antara kamu!" (Surah An-Nur, ayat 32). Ini adalah perintah dari Allah.

Firman Allah Ta'ala:

    فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ - البقرة ٢٣٢
    (Fala ta'dluluuhunna an yankihna azwaajahunna).
    Artinya: "Maka janganlah kamu menghalangi mereka (perempuan) untuk menikah dengan suami mereka yang dahulu." (Surah Al-Baqarah, ayat 232). Ini adalah larangan untuk menghalangi perempuan dari menikah lagi dengan suami lamanya.²

² Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali (Nama asli: Ihya'-'Ulumiddin)", (Prof. Tk. H. Ismail Jakub S.H., M.A., Terjemahan), Cetakan Keenam (Jakarta Selatan: C.V. Faizan, 1989), hlm. 357.

Allah Ta'ala berfirman untuk menggambarkan dan memuji para rasul:

    وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً - الرعد ٣٨
    (Wa laqad arsalnaa rusulan min qablika wa ja'alnaa lahum azwaajan wa dzurriyyah).
    Artinya: "Dan sungguh, sebelum engkau (Muhammad), Kami telah mengutus beberapa rasul, dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan anak-anak." (Surah Ar-Ra'd, ayat 38). Lalu Allah Ta'ala menyebutkan hal ini sebagai bentuk nikmat, menunjukkan kelebihan, dan memuji wali-wali-Nya dalam doa. Firman-Nya:
    وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ - الفرقان ٧٤
    (Walla dziina yaquuluuna rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a'yun).
    Artinya: "Dan mereka berkata: Wahai Tuhan kami! Kurniakanlah kepada kami istri dan keturunan yang menjadi penyejuk mata." (Surah Al-Furqan, ayat 74).

Ada yang berpendapat bahwa Allah Ta'ala hanya menyebutkan nabi-nabi dalam kitab-Nya yang berkeluarga. Mereka juga mengatakan bahwa Nabi Yahya a.s. menikah tetapi tidak bersetubuh. Sebagian mengatakan bahwa beliau melakukan itu untuk mendapatkan keutamaan dan menegakkan sunnah, sementara yang lain mengatakan itu dilakukan untuk menghindari pandangan terhadap wanita. Adapun Nabi Isa a.s. akan menikah dan memiliki anak setelah turun ke bumi.

Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:

    النِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَقَدْ رَغِبَ عَنِى
    (An-nikaahu sunnatii fa man raghiba 'an sunnatii, fa qad raghila annii).
    Artinya: "Pernikahan adalah sunnahku. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, berarti ia tidak suka kepadaku."³

³ Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 358.

Nabi s.a.w. juga bersabda:

    النِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ أَحَبَّ فِطْرَى فَلْيَسْتَنَّ بِسُنَّتِي
    (An-nikaahu sunnatii fa man ahabba fithratii fal-yastanna bi sunnatii).
    Artinya: "Pernikahan adalah sunnahku (jalan hidupku). Siapa yang mencintai agamaku, hendaklah menikah sesuai dengan sunnahku."⁴

⁴ Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dari Ibnu Abbas dengan sanad yang baik.

    Nabi s.a.w. juga bersabda:
    تَنَاكُحُوا تَكْثُوا فَإِنِّي أَبَا هِيَ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى بالسقط
    (Tanaakuhuu tak-tsuruu fa innii ubaahii bikumul-umama yaumal-qiyaa- mah, hatta bis-saqthi).
    Artinya: "Nikahlah, agar jumlah kalian bertambah. Sesungguhnya aku akan berbangga dengan kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat, bahkan dengan anak yang keguguran sekalipun."⁵

⁵ Diriwayatkan oleh Abubakar bin Mardawaih dari Ibnu Umar dengan isnad yang lemah.

Nabi s.a.w. juga bersabda: "Barangsiapa tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan dari golonganku. Sebagian dari sunnahku adalah menikah. Jadi, siapa yang mencintaiku, hendaklah ia mengikuti sunnahku."⁶

⁶ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas.

Nabi s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang meninggalkan pernikahan karena takut miskin, maka dia bukan dari golongan kami."⁷ Ini adalah peringatan bagi mereka yang tidak mau menikah, bukan hanya karena tidak menikah. Nabi s.a.w. juga bersabda: "Barangsiapa yang mampu menafkahi, maka hendaklah menikah!"

⁷ Diriwayatkan oleh Abu Mansur Ad-Dailami dari Abu Sa'id dengan sanad yang lemah.

Beliau bersabda lagi: "Barangsiapa di antara kalian yang mampu menyediakan tempat tinggal, maka hendaklah menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga mata dari melihat wanita lain dan lebih menjaga kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat melemahkan syahwat (wija)."⁸

Hadis ini menunjukkan bahwa alasan utama dianjurkannya pernikahan adalah untuk mencegah kerusakan pandangan dan menjaga kehormatan.

⁸ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.

Melemahkan nafsu syahwat (yang disebut dalam hadis tadi sebagai "wija") maksudnya adalah melemahkan dorongan seksual, seolah-olah seseorang kehilangan kejantanan. Ini adalah ungkapan kiasan untuk menunjukkan bahwa puasa dapat mengurangi hasrat seksual. Nabi s.a.w. juga bersabda: "Jika ada seseorang yang agamanya dan kepercayaannya kamu terima, maka nikahkanlah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah (kekacauan) dan kerusuhan besar di bumi."⁹

⁹ Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 359.

Hadis ini menunjukkan bahwa dorongan untuk menikah disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kerusakan. Nabi s.a.w. bersabda: "Barangsiapa menikah karena Allah dan menikahkan orang lain karena Allah, maka dia berhak mendapatkan kedekatan kepada Allah." Beliau juga bersabda: "Barangsiapa menikah, maka dia telah menjaga setengah agamanya. Maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah pada setengah yang lainnya!"

Hadis ini menegaskan bahwa keutamaan menikah adalah untuk mencegah perselisihan dan menjaga diri dari kerusakan. Umumnya, yang merusak agama seseorang adalah nafsu syahwat dan perutnya. Salah satu di antaranya bisa dijaga dengan pernikahan. Dan Nabi s.a.w. bersabda:

    كُلِّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يَنْقَطِعُ الْأَثَلَاثُ : وَلَدٌ صَالِحُ يَدْعُولَهُ.
    (Kullu 'amali'bni aadama yanqathi'u illaa taslaatsun: waladun shaalihun yad'uu lah).
    Artinya: "Setiap amal anak Adam terputus kecuali tiga: anak yang saleh yang mendoakannya."¹⁰

Hadis ini menunjukkan bahwa amal seseorang akan terputus kecuali tiga hal, dan salah satunya adalah memiliki anak saleh yang mendoakannya.

¹⁰ Hadis lengkapnya adalah: "Ketika seorang anak Adam meninggal, semua amalannya terputus kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.

Pernikahan adalah cara untuk memiliki anak saleh. Umar r.a. mengatakan bahwa pernikahan tidak dilarang kecuali bagi orang yang lemah (impoten) atau yang melakukan kemaksiatan.

Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa ibadah haji tidak akan sempurna tanpa pernikahan. Ini mungkin berarti pernikahan adalah bagian dari penyempurnaan ibadah haji, atau setidaknya membantu dalam mengatasi kerinduan syahwat yang mengganggu hati.

Oleh karena itu, beliau mengumpulkan budak-budaknya dan berkata: "Jika kalian ingin menikah, aku akan menikahkan kalian. Karena jika seorang hamba berzina, imannya akan dicabut dari hatinya."¹¹

¹¹ Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali..., hlm. 360.


Daftar Isi:

Imam Al Ghazali, "Ihya' Al Ghazali"

Imam Al Ghazali - Tentang Menyukai dan Tidak Menyukai Pernikahan

Komentar